Jumat, 17 November 2017

HIJAB - Anas Regandhi





HIJAB

Namaku Alda. Mahasiswa semester empat. Usiaku menginjak dua puluh tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk berpacaran. Begitu pandangan sebagian besar teman kuliahku.
Banyak dari mereka sering menggodaku. Katanya, pacaran memang sebelum menikah agar setelah menikah tidak selingkuh. Katanya, kalau tidak pacaran, mau cerita apa sama anak-cucu. Lucu, bahkan kadang tidak masuk akal perkataan mereka.
Selain itu, ada pula yang menyindir. Katanya, aku tidak laku-laku. Katanya aku munafik. Katanya, katanya, katanya. Aku hanya merespon dengan senyuman yang terbungkus istigfar.
Caraku menghadapi godaan dari luar, seperti itu. Akan tetapi, godaan dari dalam diriku berkekuatan mahadahsyat. Memang munafik, mulutku berkata tidak, sementara hatiku berkata lain. Banyak lelaki berani mengatakan cinta, tetapi mulutku selalu menolak. Meskipun hatiku ada sesal. Hal seperti ini kulakukan karena sebuah alasan, jilbabku besar.
Jilbabku besar sejak SMA. Hal ini kulakukan karena ada dorongan kuat dari dalam. Sehingga aku tak kuasa menolak. Orangtuaku pun mendukung. Mereka hanya mengingatkan resiko jilbab besar. Menutup aurat hanya dasarnya saja. Hakikat sebenarnya adalah menutup diri dari dosa.
Karena jilbab, tingkah lakuku tidak bebas seperti perempuan lain. Karena jilbab pula, aku berusaha melawan kata hati. Teman-temanku mestinya tahu beratnya hal itu. Melawan kata hati bukan perkara mudah. Seperti berusaha meludahi wajah presiden.
Berat. Pacaran dilarang agama, tapi hatiku terlalu rapuh menghadapinya. Hatiku tak berdaya saat sebuah cinta menghampiri. Cinta itu menggoyahkan prinsipku. Bagaimana tidak, orang yang sejak lama kukagumi datang dengan cintanya. Namanya Ulil Amri. Aku biasa memanggilnnya kak Ulil.
Kak ulil mengatakan cintanya lewat telepon. Katanya lewat telepon lebih efektif. Aku tidak persoalkan hal itu. Yang jelas, Kak Ulil berhasil membuatku senyum-senyum sendiri seperti orang gila.
Akhir pembicaraan Kak Ulil meminta jawaban. Aku meminta waktu. Bukan untuk berpikir, melainkan malu bila langsung mengiyakan. Jurus pamungkas para wanita. Aku geli sendiri bila mengingatnya.
Tiga hari waktu yang kuminta berlalu. Aku belum siap mengatakan iya. Hijabku masih terlalu kuat untuk tunduk pada kata hati. Mengatakan tidak aku juga tidak rela. Alasannya, tidak mau dia sakit. Lagi pula, aku juga mencintainya.
Peluang terakhirku adalah berharap Kak Ulil lupa. Bila dia ingat, matilah aku.
Peluang terakhir itu sepertinya akan terwujud. Kak Ulil hanya senyum saat bertemu di kampus tadi. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Di hatiku ada rasa lega. Berbanding sempurna dengan rasa kecewa.
Tiba-tiba layar Hpku menyala. Nama Kak Ulil nampak. Aku tidak siap menghadapinya. Suara berat berwibawa menyapaku. Akan tetapi, dia hanya menyapa. Tidak kurang tidak lebih.
Perasaanku kacau. Aku sendiri tidak bisa mengontrolnya. Kak Ulil maunya apa? menelepon hanya sekedar menyapa. Apa dia tidak tahu beratnya disiksa perasaan? Ataukah dia kecewa kepadaku? Atau????
Lama aku bergulat perasaanku. Sambil berharap Kak Ulil telepon lagi. Hampir setengah jam berlalu, harapanku tidak terkabul. Entah dorongan dari mana, tanganku mengetik sesuatu di HP. Lalu menekan tombol kirim ke nomor Kak Ulil. Tidak cukup satu menit, Kak Ulil menelpon. Dia berterima kasih. Rasa yang kami rasa melebur jadi satu. Maafkan aku Tuhan. Maafkan aku hijabku.
Hari-hari berikutnya aku resmi berhubungan dengan Kak Ulil. Ke mana-mana hampir selalu berdua. Semenit tak bersama terasa sangat lama. Namanya selalu kusebut dalam hati. Bila dibandingkan, nama Kak Ulil lebih banyak kusebut daripada nama Tuhan.
Apakah ini dosa? Kalau yah, maafkan aku Tuhan. Aku begitu mencintai makhluk-Mu.
Kak Ulil lelaki yang menghargai wanita. Selama pacaran, semilli pun dia tidak pernah menyentuhku. Menggandeng tanganku saja dia tidak pernah. Aku merasa terlindungi dari sikapnya itu.
Semakin cinta pada Kak Ulil semakin lalai aku mengingat Tuhan. Sebelum jatuh cinta, aktivitasku tak pernah lepas dari basmalah dan hamdalah. Setelah jatuh cinta, basmalah dan hamdalah hanya nomor dua. Nomor satu Kak Ulil. Innalillah...
Kondisi itu mengganjal hatiku. Cinta pada Kak Ulil menyebabkan aku lalai mengingat Tuhan. Aku resah. Keresahan itu kusandarkan pada Kak Ulil. Aku bertanya padanya bahwa apakah yang kita lakukan ini berada di jalan benar?
Kak Ulil tidak menjawab. Dia hanya diam. Menatapku lama. Lalu pergi tanpa pamit. Ada apa lagi Kak Ulil? Aku kan hanya bertanya. Kenapa kamu pergi dengan tingkah aneh? Apa semua laki-laki seperti ini?
Aku mengejarnya, tetapi dia tidak peduli. Air mataku jatuh. Tangisan pertamaku atas nama laki-laki. Berhari-hari aku minta penjelasan pada Kak Ulil, berhari-hari pula dia pergi tak peduli. Sampai aku dengar dia punya pacar baru. Hancur hatiku, tetapi aku tidak dendam. Aku tetap cinta padanya.
“Ummi, kopi!” Suara berat berwibawa mengagetkanku. Dia menangkap wajah kagetku. Aku senyum kepadanya sambil berlalu.
Segelas kopi kubawa keluar. Kopi kesukaan Abi, Suamiku. Perkenalkan namaku masih Alda. Tetapi bukan lagi mahasiswa semester empat. Aku kini seorang ibu rumah tangga.
“Duduk sini, Ummi!” Aku menurut.
“Ummi jangan ingat-ingat lagi kejadian itu. Aku melakukannya bukan tanpa alasan. Aku tak ingin kamu berdosa. Aku menjaga ini.” Abi menunjuk jilbabku. Lalu meletakkan tangannya di perutku.
“Pacaran itu dosa, Ummi. Makanya sikapku seperti itu.” Abi mengelus perutku yang besar. Calon anak pertama kami.
“Terima kasih, Abi.” kataku dalam hati. Abi? Panggilan sayangku pada Kak Ulil.



Biodata Penulis





Nama : Anas Regandhi
Tempat, tanggal lahir : Sidrap, 2 Mei 1987
Karya : Lupa Sila 2014 (Kumpulan Cerpen)
: Kontrol Z 2016 (Novel)
Pekerjaan : Guru SMP Tunas Bangsa
: Tentor Bahasa Indonesia JILC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.