Oleh: Alif Febriyantoro
Mengapa kita menikah, 20 tahun yang lalu?
Suamiku,
apakah kau masih ingat? Katamu dahulu, sajak adalah kawan kita. Dengan menulis
sajak, kita seperti hidup kembali, seperti dilahirkan kembali. Di sisi tua
jembatan itu, dahulu aku pernah merengek memintamu untuk menuliskan sepotong
sajak. Aku masih ingat betul, ketika kau dengan senyummu itu memberikan
selembar kertas yang bertuliskan “Sebungkus Kado untuk Arila”. Oh, aku merasa
sangat berbahagia, sajak-sajakmu dapat membuatku terbubuh, dan tentu saja aku
seperti dilahirkan kembali.
Aku
ingin menulis tentangmu, tentang sajak-sajak kita. Tentang semua cerita yang telah
kita bangun bersama-sama. Sampai saat ini aku masih belum sepenuhnya percaya,
bahwa mimpimu itu benar-benar menjadi kenyataan. Bahwa mimpi itu adalah juga seperti
mewakili sebuah takdir. Sebagai seorang perempuan, aku hanya dapat mengikuti
apa yang kau katakan. Dari sebuah mimpi kita bisa bersama sampai detik ini.
Dari sebuah mimpi pula, kau meyakinkanku tentang keberadaan sebuah karya Tuhan
yang disebut takdir. Bahwa mimpi dapat kita kejar. Bahwa takdir dapat kita
tentukan. Selama tangan kita saling menggenggam, tak perlu khawatir akan hari
esok, begitu katamu.
Tapi
siapa yang akan tahu perihal hari esok? Tak ada, begitu katamu lagi. Pertanyaan
ini sebenarnya hampir berhasil membuatku ragu tentang semua pernyataanmu
sebelumnya. Bagaimana tidak. Dalam hati seorang perempuan, keraguan kepada
sosok laki-laki yang mungkin kelak akan menjadi pendampingnya, itu pasti ada.
Sebab hati perempuan adalah perasa, yang mungkin akan selalu menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan lain tentang sebuah keyakinan. Tapi aku juga tidak begitu
paham, mengapa aku terbawa dengan semua yang telah kau katakan. Aku terhanyut
dengan semua sajak-sajak yang telah kau tuliskan. Oh, barangkali itulah yang
disebut kekuatan imajinasi, yang dapat membuat hati semakin terbuka setiap kali
membacanya. Sekali lagi, sampai saat ini, sampai detik ini, aku masih belum
begitu paham. Mungkin hatiku tergolong ke dalam hati yang begitu rumit. Mimpi?
Sajak? Ah, mengapa hal-hal yang di luar kenyataan dapat begitu mudah
mengantarkanku sampai pada kursi pelaminan? Dan sekali lagi, aku kutip kata-katamu,
siapa yang akan tahu perihal hari esok? Tak ada.
Sebenarnya
aku tak pandai dalam menuliskan sesuatu. Aku ragu dalam memilih kata dan
menyesuaikannya dengan keadaan saat ini. Bagaimana pendapatmu tentang pemilihan
tema yang cocok dengan keadaan yang berbahagia dan sekaligus menyakitkan? Aku
tahu, barangkali kau tak bisa menjawab kali ini. Di sampingku, aku melihat
wajah anak gadis kita, Raina. Ia sedang menatapku dengan kedua mata yang sangat
mirip denganmu. Di atas matanya, terpampang jelas kedua alis tebal yang
benar-benar seperti milikmu. Oh, dia benar-benar anakmu. Coba lihat juga
hidungnya, di usianya yang sudah menginjak 19 tahun, dia terlihat begitu cantik
dengan hidung yang sedikit mancung. Tidak sama seperti milikku. Aku masih
mengingat, dahulu kau sering mengejek hidungku. Tapi sekarang lihat anak kita,
aku benar dalam pernyataan bahwa akan memperbaiki keturunanku. Dia tetap duduk
untuk memandangku, menggenggam tanganku, dan melihatku seakan-akan aku sedang
menahan sakit. Kau salah anakku. Ibu
tidak sedang menahan sakit. Ibu sangat berbahagia. Cukup sederhana memang, karena
Ibu telah berhasil menjadi perempuan yang sesungguhnya. Karena Ibu telah
berhasil melahirkanmu sebagai seorang perempuan.
Oh,
hari ini aku begitu banyak mengingat sesuatu.
Ibu
mana yang akan memberitahukan kepada anaknya, tentang keadaan yang sebenarnya,
yang saat ini sedang ia rasakan? Di ranjang itu, Arila sedang mengenakan baju
putih yang dipinjamkan oleh Rumah Sakit
Elizabeth. Ia terdidur pulas dengan raut wajah yang begitu pucat. Stadium 4
kanker payudara, yang kata dokter sudah tidak dapat ditolong lagi. Tapi siapa
yang tahu perihal hari esok? Begitu kata suaminya. Terlihat seorang gadis,
Raina, sedang berada di sampingnya dengan wajah yang terlihat begitu murung.
Sebuah pemandangan yang–mungkin–benar-benar begitu menyedihkan.
Di
rumah sakit ini, semua tengkuk dan telapak tangan menjadi begitu dingin.
Masing-masing dari keluarga lain barangkali sedang menanti kepastian anggota
keluarganya, yang mungkin dapat tertolong atau tidak sama sekali. Entahlah.
Kematian bisa datang kapan saja. Dan kematian adalah kepulangan yang selalu
tertunda. Lorong-lorong rumah sakit yang lengang itu seperti menjepit kereta jenazah
yang tiba-tiba lewat. Dan barangkali, di ranjang sebelah yang bersebelahan
dengan kamar Arila, seorang pasien sedang bergelut untuk memperebutkan nyawanya
dengan malaikat Izrail. Atau barangkali ada yang telah lolos dari kematian.
Tapi Arila, ia masih terpejam dengan embusan napas yang tersengal.
Mengapa kita menikah, 20 tahun yang lalu?
Kalimat
itu terus saja keluar dari mulut Arila, walau ia sedang terpejam dengan oksigen
yang–mungkin–membantu pernapasannnya. 23 tahun yang lalu, Arila pernah menanyakan
sesuatu kepada seorang laki-laki yang saat ini telah menjadi suaminya.
“Mengapa
kau bisa yakin, bahwa mimpi adalah juga seperti mewakili sebuah takdir?”
“Entahlah.
Aku tak menemukan kata yang tepat untuk menjawab.”
“Lalu,
mengapa kau menarik perasaanku sampai sejauh ini?”
“Entahlah.
Aku tak menemukan kata yang tepat untuk menjawab.”
“Dan
mengapa kita selalu bertemu, di sisi tua jembatan ini?
“Arila,
sekali lagi, aku tak menemukan kata yang tepat untuk menjawab.”
Dan
pada akhirnya, kata tanya yang sulit adalah “mengapa”. Dan mereka kembali
menatap genangan air sungai. Dan sepasang angsa itu kembali menepi di bibir
sungai. Dan senja yang ramah berlalu begitu saja. Dan mereka harus kembali
melepas, untuk kesekian kalinya.
(Bersambung)
BIODATA:
No. Telepon : 089625454446
No. Rekening : 6531-01-000244-50-8
Email : aliffebri23@gmail.com
0 Response to "Tentang Perempuan yang Bertanya dan Laki-Laki yang Menjawab - Alif Febriyantoro"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.