Oleh: Alif Febriyantoro
Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya,
mereka selalu bertemu di sisi tua jembatan itu. Tepat di sebelah pohon rindang
yang menjulur tinggi dari bawah jembatan. Di tempat itu, mereka selalu bertukar
sajak. Semua berawal dari sajak, ketika Arila meminta laki-laki itu (laki-laki
yang tak ingin disebutkan namanya) untuk menuliskan sajak untuknya. Sampai pada
akhirnya mereka berdua saling bertemu dan saling bertukar pendapat. Satu
purnama. Dua purnama. Tiga purnama, mereka selalu bertemu. Dan pada sebuah malam,
laki-laki itu bermimpi. Dalam mimpinya, ia sedang menggendong anak gadis kecil
yang sedang ia angkat ke pundak agar rambutnya menyentuh sulur beringin. Dan di
seberang, di sebuah bangku beranda, laki-laki itu melihat wajah Arila dengan
bibir yang tersenyum dan menatap ke arahnya. Barangkali itu hanyalah mimpi
angan-angan, atau barangkali mimpi baik? Ah bisa jadi itu adalah juga mimpi
yang dibantu oleh setan, yang tergolong ke dalam mimpi buruk. Tapi benar kata
laki-laki itu, tak ada yang akan tahu perihal hari esok.
Pada
akhirnya mereka pun menikah. Dan mereka tinggal di sebuah rumah yang memiliki
pohon beringin di halaman depan. Dan setahun setelahnya, mereka memiliki anak
perempuan. Entahlah, mengapa mimpi laki-laki itu benar-benar menjadi sebuah kenyataan.
“Aku
ingin berumah di bawah teduh pohon beringin. Karena aku adalah bagian dari
mimpimu, maka aku ingin mimpi itu mencapai titik sempurna,” pinta Arila ketika
mereka berdua sedang duduk di tempat duduk pengantin, “Oh iya, anak kita juga
harus perempuan.”
Barangkali
Arila memang berlebihan dalam hal meminta. Tapi pada kenyataannya, mimpi itu
benar-benar terjadi. Tapi ada satu hal
yang tidak diketahui oleh Arila. Pada waktu usai acara pernikahan, ketika mereka
turun dari panggung megah itu, suami Arila mengikuti dari belakang. Mereka
hendak memasuki kamar untuk sejenak merebahkan diri karena seharian berpura-pura
kuat duduk di kursi pelaminan itu. Arila masuk terlebih dahulu. Tapi seketika suaminya
berhenti tepat di ambang pintu kamar. Ia mendengar suara dari belakang.
Terdangar suara perlahan, namun begitu jelas.
“Ini
adalah sebagian dari takdirmu. Tapi mimpi itu belum selesai!”
Sontak
ia menoleh ke belakang. Ia terperangah. Di hadapannya terlihat jelas sepasang
sayap membentang di punggung seorang pria. Dan tiba-tiba saja terpancar cahaya
yang begitu menyilaukan. Seperkian detik kemudian, pria itu sudah menghilang.
Dan suami Arila tidak pernah bercerita tentang pertemuannya dengan seorang pria
yang memiliki sayap itu. Walaupun ia sedikit memahami, apa maksud dari semua
kejadian yang telah ia alami.
Sudah
dua hari Arila tak sadarkan diri. Raina tetap berada di samping ibunya dengan
mata yang sedikit mengantuk. Bunga-bunga di meja sudah hampir layu. Bau
obat-obatan menyebar di seluruh ruangan. Orang-orang berlalu begitu saja,
terlihat jelas dari kaca jendela yang sedikit tertutup oleh gorden. Lalu,
sedang berada di mana suami Arila? Mungkin di balik pintu. Mungkin di kamar
mandi. Mungkin sedang berdiskusi dengan dokter. Atau mungkin ia sedang menangis,
entah di mana. Ya. Sebab Raina belum mengetahui, bahwa ibunya sedang bergelut
dengan maut.
“Ayah
....” Raina mengigau.
“Ayah
....” Raina mengigau lagi.
Lengang.
“Ibu
....” Raina terbangun. Ia melihat sebuah tangan yang menggepuk-gepuk bahunya.
“Ibumu
harus dipindah ke ruang sebelah. Ayahmu sedang menunggumu di luar.”
“Ibu
...,” teriak Raina yang seketika berdiri dan memegang kasur ibunya yang sedang
didorong oleh dua orang perawat.
Raina
keluar dan menghampiri ayahnya yang sedang duduk.
“Ibu
mau dibawa ke mana, Yah?”
Lengang.
“Mengapa
Ayah mengangis?”
Lengang.
Dokter
itu telah berbohong kepada Raina. Satu jam yang lalu, ketika Raina masih
tertidur, suami Arila sedang duduk di samping Arila dan Raina, ia menatap wajah
keduanya yang sama-sama terpejam. Ia memengang tangan keduanya. Dalam benaknya
ia berpikir, bahwa meraka berdua adalah sebuah karya dari Tuhan. Bahwa mereka
adalah seseorang yang hadir di dalam mimpinya. Dan dalam keadaan seperti ini,
ia masih saja belum percaya dengan semua yang telah terjadi saat ini.
Tangan
Arila tiba-tiba bergerak. Kelopak matanya sedikit terbuka. Dengan napas
tersengal, Arila berkata pelan.
“Mengapa
kita menikah, 20 tahun yang lalu?”
Suaminya
hanya menatap Arila dengan wajah yang begitu murung. Ia mempererat
genggamannya. Ia memperjelas tatapannya. Dan seperkian detik kemudian, Arila
sudah menutup matanya kembali, ia mengembuskan napas terakhirnya. Dan suaminya
pun meneteskan air mata. Namun ia, sempat menjawab pelan.
“Seharusnya
... 20 tahun yang lalu, kita tak pernah menikah.”
Tapi
dalam hatinya, ia berkata sebaliknya. (*)
Jember, 04 Juli 2017
BIODATA:
No. Telepon : 089625454446
No. Rekening : 6531-01-000244-50-8
Email :
aliffebri23@gmail.com
0 Response to "Tentang Perempuan yang Bertanya dan Laki-Laki yang Menjawab (2) - Alif Febriyantoro"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.