Selasa, 29 Agustus 2017

MAKSIMALKAN WAKTU LATIHAN YANG SEBENTAR, PANGKALAN INI RAIH HASIL MEMBANGGAKAN

Juara 1 (pa) dan juara 2 (pi) beserta Pembina 

Seputar Pramuka Gresik - Lomba PBB Bertongkat seKwartir Cabang Gresik dalam rangka memperingati Hari Pramuka yang ke 56 memberikan kesan tersendiri bagi pangkalan SMA Raden Fatah Driyorejo. Pasalnya, dalam perlombaan kemarin, penegak dari pangkalan ini berhasil membawa pulang dua piala sekaligus. Memutuskan untuk mengikuti ajang bergengsi bagi Anggota Pramuka Gresik tentu saja memiliki konsekuensi tersendiri bagi mereka. Untuk meraih juara pertama sangga putera dan juara kedua sangga puteri, mereka perlu merelakan jam istirahatnya terabaikan. "Tidak ada waktu untuk bersantai jika ingin meraih hasil yang memuaskan. Apalagi waktu kita hanya tinggal dua hari sebelum acara." Ujar Sugeng Harianto, S.Pd. Pembina pangkalan yang biasa disebut SMARAFA itu.

Menurut penjelasannya, surat pemberitahuan adanya perlombaan baru sampai ke lembaga sekolah hari Selasa pagi pukul tujuh. Sedangkan acara tersebut berlangsung pada hari Kamisnya. Melihat potensi penegak di pangkalannya, sangat disayangkan jika mereka harus absen dari lomba hanya karena waktu berlatih yang sebentar. Akhirnya, setelah sepakat untuk berusaha bersama, mereka memulai latihan pada pukul delapan hari itu juga.

Jika dipikir lagi, dua hari tidak akan cukup untuk tampil di acara besar ini. Namun penegak putera dan puteri ini sudah membulatkan tekad untuk memaksimalkan latihan mereka di waktu yang tersisa. "Mereka berlatih dari mulai pukul delapan pagi sampai pukul enam petang pada hari Selasa dan Rabunya, hari Kamis kita sudah berangkat bertanding. Karena mereka mau bersungguh-sungguh dalam memaksimalkan waktu, tidak mengeluh meski kelelahan, dan mau mendengarkan setiap arahan yang diberikan jadilah mereka mampu meraih juara yang sebelumnya banyak diragukan orang." Imbuh Sugeng.

Kemarin (28/08/2017) bersamaan dengan Apel Besar peringatan Hari Pramuka ke 56 yang diadakan di halaman Pemda Gresik, juara lomba diumumkan. Piala diserahkan oleh Ka.Mabicab dan Ka.Kwarcab Gresik. Tentu pengalaman yang tidak akan dilupakan oleh penegak putera dan puteri ini. Selain itu, mereka juga mengakui bahwa dari lomba ini, mereka semakin yakin bahwa waktu bukanlah hambatan yang berarti jika kita mau memaksakan diri kita sendiri untuk berprestasi, seperti yang selalu pembina mereka tekankan kepada mereka "Waktu dan apapun itu yang kalian anggap sebagai penghambat berhasilnya diri kalian meraih suatu hal hanyalah alasan yang kalian ciptakan sendiri. Jika kalian mau berusaha semaksimal mungkin dan meyakinkan diri kalian sendiri untuk berhasil. Tidak akan pernah ada sesuatu yang cukup kuat untuk mengalahkan kalian kecuali keyakinan kalian sendiri dan takdir Tuhan." [E.A.R.]

Beberapa potret sang juara, serta saat berlatih :








Sabtu, 26 Agustus 2017

Phobia Cinta - Ulfah Mawatul Khoiriyah



Phobia Cinta
Oleh: Ulfah Mawatul Khoiriyah

Selepas pergimu tak banyak yang bisa kuingat
Kecuali nadi yang memaksa untuk berhenti.
Bagaimana?
Setelah mencabik-cabik, merobek, lalu menikam dengan tajam
Apa kau sudah puas? Melihat aku begitu banyak kehilangan separuh atasiaku.
Bagaimana?
Dengan duri yang kau tusukan kepadaku lewat mawar itu, indah?
Meringis kesakitan pun tiada pernah kau peduli, berkali-kali.
Aku pernah ..
Mengiramu seperti senja, membuatmu sebagai tempat berpulangku
Menjadikanmu layaknya tuan budak-budak yang diperjualbelikan, dengan menyanjungimu, mengagungkanmu, lalu menunduk padamu.
Dan ternyata aku kau injak seperti semut kecil yang tak terlihat,
Aku kau buang bak sampah yang tidak diperlukan lagi,
Apa kau sedang tak sehat sayang?
Hampir saja aku terbunuh.
Sekarang, sudah tak kutemukan lagi seperti dulu
Dulu kau seakan purnama yang kutunggu
Dulu kau sesempurna dahlia hiasi taman,
Sekarang?
Kau syetan yang kelaparan, mencari mangsa yang lain.
Kau anjing hutan yang ganas, mencabik dengan seenaknya.
Menampar logikaku
Menghapus ingatanku
-Ulfah Khoi, 07 Juli 2017 09:52-



BIODATA:



Penulis puisi ini bernama Ulfah Mawalatul Khoiriyah, dia biasa dipanggil Ulfah atau Koi . Pemilik pena yang bernama Ulfah Khoi . Sedang mengenyam pendidikannya di SMAN 1 Surade tepatnya di daerah Sukabumi selatan . Sesuatu yang ia sukai yaitu hujan, kopi manis dingin dan kucing . Pemilik hobby menulis, ia menulis sejak SMP kelas IX lalu menekuninya sampai sekarang.

Jumat, 25 Agustus 2017

Kisah di Balik Tanah - Ulfah Mawatul Khoiriyah




Kisah Di Balik Tanah
Oleh: Ulfah Mawatul Khoiriyah

Aku sedang membahas pusara                          
Di mana tempat yang menggelitikku sampai tak berdaya
Memelukku dengan mesra, hingga berluka-luka.

Dengarkan aku, sebentar saja
Ini lebih sakit dari senja yang ditelan malam
Walau kucoba untuk mengatupkan kelopak mata, namun raga tersiksa seluas Semenanjung Malaka.
Jangan pernah berandai mengikutiku!

Kemarin, ternyata telah berlalu
Satu tahun,
Dua,
Tiga,
Empat,
Lebih dari lima tahun.
Dan aku bersemayam di balik tanah pemanah siksa itu,

Terpaku di dinding usang
Menahan diam dengan perasaan berulang, tertikam siksa Illahi
Gelap, seusai badan berbau alami dari siksa Illahi ini
Membusuk lebih dari bau busuk sampah satu windu
Oh, kisahku di balik tanah

-Ulfah Khoi, 12 Juli 2017 21:11-







BIODATA:


Penulis puisi ini bernama Ulfah Mawalatul Khoiriyah, dia biasa dipanggil Ulfah atau Koi . Pemilik pena yang bernama Ulfah Khoi . Sedang mengenyam pendidikannya di SMAN 1 Surade tepatnya di daerah Sukabumi selatan . Sesuatu yang ia sukai yaitu hujan, kopi manis dingin dan kucing . Pemilik hobby menulis, ia menulis sejak SMP kelas IX lalu menekuninya sampai sekarang. Ia pun telah bergabung bersama penerbit WAKARSAS (Warung Karya Sastra Indonesi) semenjak satu tahun yang lalu dan sampai sekarang.



Kamis, 24 Agustus 2017

Datanglah yang Datang - Rakhmad Andhika Dwinandra



Datanglah yang Datang
Oleh: Rakhmad Andhika Dwinandra

Selamat datang malam
Purnama jelita melambaikan tangan
kepada manusia-manusia kerdil
Selamat datang kabut
Tirai-tirai hari telah ditutup
Bersiap menjemput si esok tiba
Menulis di buku harian
Tiap-tiap manusia kerdil
Selamat datang kebobrokan
Muncullah dunia asli di pandangan mata
Mengalahkan surga, mengalahkan neraka
Tikus-tikus berbaju keluar
dari got yang berbau busuk
Menggigit tiang lapuk kepercayaan
Rubuh menimpa para manusia kerdil tak berdosa
Perawan-perawan kesepian
memamerkan paha mulus, menggaet hidung belang
seraya menghamburkan logam berkilauan
Tunas-tunas tumbuh tidak karuan
Terlalu dini dilahirkan ke dunia
Menghalangi cahaya sang surya
buat para manusia kerdil
Pendusta senang bersandiwara
tapi panik terbuka kedoknya
Lari dari kejaran kebenaran
Bersembunyi di balik permainan
Manusia-manusia kerdil termangu
menyadari telah kehilangan tempat tinggal
Mereka kebingungan bakal dimana jua
badan ini menetap kelak

Selamat datang, fana juga ilusi
Lebarkan matamu yang mengantuk
Wahai manusia-manusia kerdil
Selamat tertawa sepuas-puasnya
Melihat dunia glamormu
di kaca buram



BIOGRAFI: 



Rakhmad Andhika Dwinandra. Pria kelahiran Kendari, 27 tahun yang silam, merupakan lulusan Sastra Indonesia di sebuah universitas swasta di Bogor. Mempunyai hobi yang tidak jauh-jauh dari kesenian dan kebudayaan ini memiliki impian bisa keliling dunia sambil memperkenalkan budaya dari tanah airnya. Kegiatan sehari-harinya bisa diintip di FB Rakhmad Andhika Dwinandra atau bila ingin mengenal lebih dekat dengannya bisa menghubungi di nomor 085210919202

Rabu, 23 Agustus 2017

Kereta Api Jam 07:00 Pagi - Ulfah Mawatul Khoiriyah



Kereta Api Jam 07:00 Pagi

Oleh: Ulfah Mawatul Khoiriyah

Jam 07:00 pagi..
Nyanyian merdu burung-burung kecil keluar dari mulut keringnya
Kerap menunggu kelengking bunyi klakson kereta,
Dibawah ujung mentari itu
Ada
Sosok tua yang menjadi penikmat lonceng khas klakson kereta
Setia—berlama-lama dalam penantiannya.

Matahari bersinar
Berlagak menertawakan
Dengan menebar cahayanya di atas punggung sosok tua itu, berkali-kali.

Satu menit lagi
Bunyi peluit penanda kereta berangkat berbunyi,
Mata, telinga, mengincar bunyi suara kereta
Sederhana saja
Meski begitu, senyum tawa berlinangan di setiap jengkal ujung sukma
Untung tidak tumpah-ruah ke mana-mana,

Oh, sosok tua penikmat khas klakson kereta
Bahagiamu ternyata sangat sederhana
Tinggal menunggu jam 07:00 pagi
Sempurna lah hidupmu.

-Ulfah Khoi, 21 Juli 2017 07:49-



BIODATA:


Penulis puisi ini bernama Ulfah Mawalatul Khoiriyah, dia biasa di panggil Ulfah atau khoi . Pemilik pena yang bernama Ulfah Khoi . Sedang mengenyam pendidikannya di SAMN 1 Surade tepatnya di daerah sukabumi bagian selatan . Sesuatu yang ia sukai yaitu, al-quran, hujan, kopi manis dingin dan kucing peliharaannya yang bernama angle . Membuat akun social media diantaranya faebook (Ulfah Khoi), instagram (Ulfah_Khoi), line (@Ulfahmakhoii), twitter (Ulfahmawalatul1) dan e-mail (Ulfahmawalatulkhoi@gmail.com).

Selasa, 22 Agustus 2017

Tentang Perempuan yang Bertanya dan Laki-Laki yang Menjawab (2) - Alif Febriyantoro



Tentang Perempuan yang Bertanya dan Laki-Laki yang Menjawab (2) 

Oleh: Alif Febriyantoro


Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, mereka selalu bertemu di sisi tua jembatan itu. Tepat di sebelah pohon rindang yang menjulur tinggi dari bawah jembatan. Di tempat itu, mereka selalu bertukar sajak. Semua berawal dari sajak, ketika Arila meminta laki-laki itu (laki-laki yang tak ingin disebutkan namanya) untuk menuliskan sajak untuknya. Sampai pada akhirnya mereka berdua saling bertemu dan saling bertukar pendapat. Satu purnama. Dua purnama. Tiga purnama, mereka selalu bertemu. Dan pada sebuah malam, laki-laki itu bermimpi. Dalam mimpinya, ia sedang menggendong anak gadis kecil yang sedang ia angkat ke pundak agar rambutnya menyentuh sulur beringin. Dan di seberang, di sebuah bangku beranda, laki-laki itu melihat wajah Arila dengan bibir yang tersenyum dan menatap ke arahnya. Barangkali itu hanyalah mimpi angan-angan, atau barangkali mimpi baik? Ah bisa jadi itu adalah juga mimpi yang dibantu oleh setan, yang tergolong ke dalam mimpi buruk. Tapi benar kata laki-laki itu, tak ada yang akan tahu perihal hari esok.

Pada akhirnya mereka pun menikah. Dan mereka tinggal di sebuah rumah yang memiliki pohon beringin di halaman depan. Dan setahun setelahnya, mereka memiliki anak perempuan. Entahlah, mengapa mimpi laki-laki itu benar-benar menjadi sebuah kenyataan.

“Aku ingin berumah di bawah teduh pohon beringin. Karena aku adalah bagian dari mimpimu, maka aku ingin mimpi itu mencapai titik sempurna,” pinta Arila ketika mereka berdua sedang duduk di tempat duduk pengantin, “Oh iya, anak kita juga harus perempuan.”

Barangkali Arila memang berlebihan dalam hal meminta. Tapi pada kenyataannya, mimpi itu benar-benar terjadi. Tapi ada satu hal yang tidak diketahui oleh Arila. Pada waktu usai acara pernikahan, ketika mereka turun dari panggung megah itu, suami Arila mengikuti dari belakang. Mereka hendak memasuki kamar untuk sejenak merebahkan diri karena seharian berpura-pura kuat duduk di kursi pelaminan itu. Arila masuk terlebih dahulu. Tapi seketika suaminya berhenti tepat di ambang pintu kamar. Ia mendengar suara dari belakang. Terdangar suara perlahan, namun begitu jelas.

“Ini adalah sebagian dari takdirmu. Tapi mimpi itu belum selesai!”

Sontak ia menoleh ke belakang. Ia terperangah. Di hadapannya terlihat jelas sepasang sayap membentang di punggung seorang pria. Dan tiba-tiba saja terpancar cahaya yang begitu menyilaukan. Seperkian detik kemudian, pria itu sudah menghilang. Dan suami Arila tidak pernah bercerita tentang pertemuannya dengan seorang pria yang memiliki sayap itu. Walaupun ia sedikit memahami, apa maksud dari semua kejadian yang telah ia alami.

Sudah dua hari Arila tak sadarkan diri. Raina tetap berada di samping ibunya dengan mata yang sedikit mengantuk. Bunga-bunga di meja sudah hampir layu. Bau obat-obatan menyebar di seluruh ruangan. Orang-orang berlalu begitu saja, terlihat jelas dari kaca jendela yang sedikit tertutup oleh gorden. Lalu, sedang berada di mana suami Arila? Mungkin di balik pintu. Mungkin di kamar mandi. Mungkin sedang berdiskusi dengan dokter. Atau mungkin ia sedang menangis, entah di mana. Ya. Sebab Raina belum mengetahui, bahwa ibunya sedang bergelut dengan maut.

“Ayah ....” Raina mengigau.

“Ayah ....” Raina mengigau lagi.

Lengang.

“Ibu ....” Raina terbangun. Ia melihat sebuah tangan yang menggepuk-gepuk bahunya.

“Ibumu harus dipindah ke ruang sebelah. Ayahmu sedang menunggumu di luar.”

“Ibu ...,” teriak Raina yang seketika berdiri dan memegang kasur ibunya yang sedang didorong oleh dua orang perawat.

Raina keluar dan menghampiri ayahnya yang sedang duduk.

“Ibu mau dibawa ke mana, Yah?”

Lengang.

“Mengapa Ayah mengangis?”

Lengang.

Dokter itu telah berbohong kepada Raina. Satu jam yang lalu, ketika Raina masih tertidur, suami Arila sedang duduk di samping Arila dan Raina, ia menatap wajah keduanya yang sama-sama terpejam. Ia memengang tangan keduanya. Dalam benaknya ia berpikir, bahwa meraka berdua adalah sebuah karya dari Tuhan. Bahwa mereka adalah seseorang yang hadir di dalam mimpinya. Dan dalam keadaan seperti ini, ia masih saja belum percaya dengan semua yang telah terjadi saat ini.

Tangan Arila tiba-tiba bergerak. Kelopak matanya sedikit terbuka. Dengan napas tersengal, Arila berkata pelan.

“Mengapa kita menikah, 20 tahun yang lalu?”

Suaminya hanya menatap Arila dengan wajah yang begitu murung. Ia mempererat genggamannya. Ia memperjelas tatapannya. Dan seperkian detik kemudian, Arila sudah menutup matanya kembali, ia mengembuskan napas terakhirnya. Dan suaminya pun meneteskan air mata. Namun ia, sempat menjawab pelan.

“Seharusnya ... 20 tahun yang lalu, kita tak pernah menikah.”

Tapi dalam hatinya, ia berkata sebaliknya. (*)

Jember, 04 Juli 2017


BIODATA:


ALIF FEBRIYANTORO, kelahiran 23 Februari 1996. Asal Situbondo. Menulis cerpen dan puisi. Kini berdomisili sementara di Jember, sebagai mahasiswa.
No. Telepon    : 089625454446
No. Rekening  : 6531-01-000244-50-8

Email               : aliffebri23@gmail.com

Senin, 21 Agustus 2017

Elegi Bulan Januari - Ulfah Mawatul Khoiriyah



Elegi Bulan Januari

Oleh: Ulfah Mawatul Khoiriyah


Kepada mentari yang meringis tiada henti
Yang mati dikoyak sepi
Yang merintih keras-beringas
Tertunduklah dengan sebuah peraduan,
Mesti jiwa mengobak-ngabik, membabi buta
Melantur dengan racauan gila
Menyambar dengan sukma bergelimang dosa
Tetap saja sesalmu lebih luas dari semenanjung malaka .
Maafmu kini mungkin telah habis
Terlalu sering kubeli dengan salahku
Sekali lagi!
Maaf sebab aku telah diperbudak oleh kegilaanku
Sebab aku telah terhanyut dengan januariku,
Sebuah elegi mungkin tak berhasil
Membuatmu menjual maafmu kembali,
Namun aku yakini dengan pasti
Kematianku bisa membeli maafmu lagi
Kematianku bisa meneriakan bahagiamu lagi.
Bila tidak cukup untuk itu
Pandanglah keluar!
Lempari tanah merah yang masih hangat itu!
Dengan dendam membaramu
Agar penyesalanku seutuhnya kau maafkan.

-Ulfah Khoi, 3 Juli 2017-



BIODATA:



Penulis puisi ini bernama Ulfah Mawalatul Khoiriyah, dia biasa dipanggil Ulfah atau Koi . Pemilik pena yang bernama Ulfah Khoi . Sedang mengenyam pendidikannya di SMAN 1 Surade tepatnya di daerah Sukabumi selatan . Sesuatu yang ia sukai yaitu hujan, kopi manis dingin dan kucing . Pemilik hobby menulis, ia menulis sejak SMP kelas IX lalu menekuninya sampai sekarang.

Minggu, 20 Agustus 2017

Tentang Perempuan yang Bertanya dan Laki-Laki yang Menjawab - Alif Febriyantoro



Tentang Perempuan yang Bertanya dan Laki-Laki yang Menjawab

Oleh: Alif Febriyantoro


Mengapa kita menikah, 20 tahun yang lalu?

Suamiku, apakah kau masih ingat? Katamu dahulu, sajak adalah kawan kita. Dengan menulis sajak, kita seperti hidup kembali, seperti dilahirkan kembali. Di sisi tua jembatan itu, dahulu aku pernah merengek memintamu untuk menuliskan sepotong sajak. Aku masih ingat betul, ketika kau dengan senyummu itu memberikan selembar kertas yang bertuliskan “Sebungkus Kado untuk Arila”. Oh, aku merasa sangat berbahagia, sajak-sajakmu dapat membuatku terbubuh, dan tentu saja aku seperti dilahirkan kembali.

Aku ingin menulis tentangmu, tentang sajak-sajak kita. Tentang semua cerita yang telah kita bangun bersama-sama. Sampai saat ini aku masih belum sepenuhnya percaya, bahwa mimpimu itu benar-benar menjadi kenyataan. Bahwa mimpi itu adalah juga seperti mewakili sebuah takdir. Sebagai seorang perempuan, aku hanya dapat mengikuti apa yang kau katakan. Dari sebuah mimpi kita bisa bersama sampai detik ini. Dari sebuah mimpi pula, kau meyakinkanku tentang keberadaan sebuah karya Tuhan yang disebut takdir. Bahwa mimpi dapat kita kejar. Bahwa takdir dapat kita tentukan. Selama tangan kita saling menggenggam, tak perlu khawatir akan hari esok, begitu katamu.

Tapi siapa yang akan tahu perihal hari esok? Tak ada, begitu katamu lagi. Pertanyaan ini sebenarnya hampir berhasil membuatku ragu tentang semua pernyataanmu sebelumnya. Bagaimana tidak. Dalam hati seorang perempuan, keraguan kepada sosok laki-laki yang mungkin kelak akan menjadi pendampingnya, itu pasti ada. Sebab hati perempuan adalah perasa, yang mungkin akan selalu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain tentang sebuah keyakinan. Tapi aku juga tidak begitu paham, mengapa aku terbawa dengan semua yang telah kau katakan. Aku terhanyut dengan semua sajak-sajak yang telah kau tuliskan. Oh, barangkali itulah yang disebut kekuatan imajinasi, yang dapat membuat hati semakin terbuka setiap kali membacanya. Sekali lagi, sampai saat ini, sampai detik ini, aku masih belum begitu paham. Mungkin hatiku tergolong ke dalam hati yang begitu rumit. Mimpi? Sajak? Ah, mengapa hal-hal yang di luar kenyataan dapat begitu mudah mengantarkanku sampai pada kursi pelaminan? Dan sekali lagi, aku kutip kata-katamu, siapa yang akan tahu perihal hari esok? Tak ada.

Sebenarnya aku tak pandai dalam menuliskan sesuatu. Aku ragu dalam memilih kata dan menyesuaikannya dengan keadaan saat ini. Bagaimana pendapatmu tentang pemilihan tema yang cocok dengan keadaan yang berbahagia dan sekaligus menyakitkan? Aku tahu, barangkali kau tak bisa menjawab kali ini. Di sampingku, aku melihat wajah anak gadis kita, Raina. Ia sedang menatapku dengan kedua mata yang sangat mirip denganmu. Di atas matanya, terpampang jelas kedua alis tebal yang benar-benar seperti milikmu. Oh, dia benar-benar anakmu. Coba lihat juga hidungnya, di usianya yang sudah menginjak 19 tahun, dia terlihat begitu cantik dengan hidung yang sedikit mancung. Tidak sama seperti milikku. Aku masih mengingat, dahulu kau sering mengejek hidungku. Tapi sekarang lihat anak kita, aku benar dalam pernyataan bahwa akan memperbaiki keturunanku. Dia tetap duduk untuk memandangku, menggenggam tanganku, dan melihatku seakan-akan aku sedang menahan sakit. Kau salah anakku. Ibu tidak sedang menahan sakit. Ibu sangat berbahagia. Cukup sederhana memang, karena Ibu telah berhasil menjadi perempuan yang sesungguhnya. Karena Ibu telah berhasil melahirkanmu sebagai seorang perempuan.

Oh, hari ini aku begitu banyak mengingat sesuatu.

Ibu mana yang akan memberitahukan kepada anaknya, tentang keadaan yang sebenarnya, yang saat ini sedang ia rasakan? Di ranjang itu, Arila sedang mengenakan baju putih yang dipinjamkan oleh Rumah Sakit Elizabeth. Ia terdidur pulas dengan raut wajah yang begitu pucat. Stadium 4 kanker payudara, yang kata dokter sudah tidak dapat ditolong lagi. Tapi siapa yang tahu perihal hari esok? Begitu kata suaminya. Terlihat seorang gadis, Raina, sedang berada di sampingnya dengan wajah yang terlihat begitu murung. Sebuah pemandangan yang–mungkin–benar-benar begitu menyedihkan.

Di rumah sakit ini, semua tengkuk dan telapak tangan menjadi begitu dingin. Masing-masing dari keluarga lain barangkali sedang menanti kepastian anggota keluarganya, yang mungkin dapat tertolong atau tidak sama sekali. Entahlah. Kematian bisa datang kapan saja. Dan kematian adalah kepulangan yang selalu tertunda. Lorong-lorong rumah sakit yang lengang itu seperti menjepit kereta jenazah yang tiba-tiba lewat. Dan barangkali, di ranjang sebelah yang bersebelahan dengan kamar Arila, seorang pasien sedang bergelut untuk memperebutkan nyawanya dengan malaikat Izrail. Atau barangkali ada yang telah lolos dari kematian. Tapi Arila, ia masih terpejam dengan embusan napas yang tersengal.

Mengapa kita menikah, 20 tahun yang lalu?

Kalimat itu terus saja keluar dari mulut Arila, walau ia sedang terpejam dengan oksigen yang–mungkin–membantu pernapasannnya. 23 tahun yang lalu, Arila pernah menanyakan sesuatu kepada seorang laki-laki yang saat ini telah menjadi suaminya.

“Mengapa kau bisa yakin, bahwa mimpi adalah juga seperti mewakili sebuah takdir?”

“Entahlah. Aku tak menemukan kata yang tepat untuk menjawab.”

“Lalu, mengapa kau menarik perasaanku sampai sejauh ini?”

“Entahlah. Aku tak menemukan kata yang tepat untuk menjawab.”

“Dan mengapa kita selalu bertemu, di sisi tua jembatan ini?

“Arila, sekali lagi, aku tak menemukan kata yang tepat untuk menjawab.”


Dan pada akhirnya, kata tanya yang sulit adalah “mengapa”. Dan mereka kembali menatap genangan air sungai. Dan sepasang angsa itu kembali menepi di bibir sungai. Dan senja yang ramah berlalu begitu saja. Dan mereka harus kembali melepas, untuk kesekian kalinya.

(Bersambung)


BIODATA:


ALIF FEBRIYANTORO, kelahiran 23 Februari 1996. Asal Situbondo. Menulis cerpen dan puisi. Kini berdomisili sementara di Jember, sebagai mahasiswa.
No. Telepon    : 089625454446
No. Rekening  : 6531-01-000244-50-8

Email               : aliffebri23@gmail.com

Sabtu, 19 Agustus 2017

Di Antara Jilbab Merah - Ulfah Mawatul Khoiriyah



Di antara Jilbab Merah
Oleh: Ulfah Mawatul Khoiriyah


Dengarkan aku
Kemarin hujan rabuku datang, menyapa seakan ingin membasahi jiwa yang tertutup jilbab, menjuntai sampai telapak kaki.
Dibalik sela-sela jilbab merah baruku
Rintik hujan berbisik : “Aku suka jilbab merah barumu, seakan memanggilku untuk terus menemanimu, lalu meneriakanku seakan menyuruh untuk buru-buru menciumi harum jilbab barumu”.
Namun..
Ada hal yang tak bisa dieja
Meski dibilang
Jilbabku tetap sesederhana tinta di dalam pena.
Nuraniku berkata
Menjabar fakta
Mengejar syurga
Oh jilbab merah baruku kesukaanku.
Matahari akan terbit kembali
Disana.
Aku melukiskannya hanya mampu lewat kata, dari beberapa aksara sederhana
Tidak dengan analogi senja.
Ini jilbab panjang sederhana
Namun sekarang hanya ada paham-paham yang memecah
Seolah menuduh bagai terorisme di akhir zaman, gila.
Inilah pembodohan yang sebenar-benarnya orang bodoh.

-Ulfah Khoi, 08 Juli 2017 08:52-


BIODATA:


Penulis puisi ini bernama Ulfah Mawalatul Khoiriyah, dia biasa dipanggil ulfah . Pemilik pena yang bernama Ulfah khoi .Dia sedang mengenyam pendidikannya di SMAN 1 Surade tepatnya di daerah sukabumi bagian selatan . Sesuatu yang ia sukai yaitu hujan, kopi manis dan kucing . Akhir-akhir ini dia sering disebut “Si Penakut rasa” Mungkin karena trauma akan cinta, wkwk .