Ironi-Ironi Urban Dalam Kosmopolitan
Deni Dwi Eriyana
Buku : Aku Melahirkan Suamiku
Penulis : Ferry Fansuri
Penerbit : Leutikaprio
Cetakan : Pertama, Juni 2017
Hal : 104 hal
Harga : Rp.33.500
ISBN : 978-601-371-420-9
Membaca buku kumpulan cerpen “Aku
Melahirkan Suamiku” milik Ferry Fansuri ini membawa kita ke dunia lain yang
tidak terduga. Layaknya memasuki labirin kehidupan yang berbeda dan kita
memilih peran didalamnya. Terdapat 12 chapter cerpen yang tersaji disini,
didalamnya berbagai genre mulai dari suspense thriller, horor, komedi cinta,
absurd dan surealisme tapi menuju satu pintu kehidupan manusia dan masalah
didalamnya. Bahkan yang sensitif sekalipun, macam hubungan sejenis atau lebih
dikenal LGBT yang begitu tabu jika bicarakan secara terbuka. Penulis mantan
jurnalis ini jeli membedah hal tersebut dalam sisi yang lain dan terselip pesan
moral didalamnya.
“Tubuh
dan pikiran tak menyatu, kau umbar keinginanmu untuk melampiaskan napsu yang
tak berujung. Terus dan menerus untuk memuaskan jiwamu yang hilang itu”
(Aku Melahirkan Suamiku)
Di dalam cerpen “Aku Melahirkan
Suamiku” sang penulis tidak menghakimi sosok penyuka sesama wanita atau
mengeksplorenya tapi berusaha mengerubah pandangan itu dari negatif menjadi
positif. Karena tiap kehidupan akan menemukan jawabannya sendiri di kemudian
hari. Diceritakan seorang perempuan lesbian bernama Nayala resah akan surat
bersegel lilin merah yang ditinggalkan suaminya di malam pertama pernikahan
rekayasa. Surat itu adalah jawaban dari semua pertanyaan Nayala tapi ia ragu
untuk membukanya
Tiap penulis pasti terinspirasi oleh
penulis lainnya, begitu juga Ferry Fansuri. Ini bisa terlihat pada cerpen “Bangkai
Pesawat Yang Menimpa Kami”, terlihat sepintas mirip cerpen Robohnya Surau Kami
milik AA Navis. Tapi penulis tidak melakukan plagiat tapi menrekonstruksi
cerita didalamnya dalam versinya sendiri.
“Hidupmu
bukan untuk kamu saja tapi buat orang lain, kamu diciptakan bukan dalam
kesia-sia saja” (Bangkai Pesawat
Yang Menimpa Kami)
Sebuah percakapan manusia taat
bernama Kamidi dengan malaikat dalam surga bahwa tidak hanya ibadah saja yang dilakukan
manusia didunia demi memuja Tuhannya tapi hidup untuk sekitar dan sesama,
itulah fitrah manusia sesungguhnya. Ada nasehat rohani yang dicatut dari
ayat-ayat suci Al Quran, penulis berusaha memasukan makna-makna tak tersirat
didalam cerpen ini.
Cukilan-cukilan ayat-ayat suci itu
berlanjut dalam cerpen “Pria Yang Bersekutu Dengan Malaikat”
“Sesungguhnya
kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah kamu kehilangan kepercayaan
padaNya” (Pria Yang Bersekutu Dengan
Malaikat)
Sebuah
kisah dalam surat Al Baqarah yang menceritakan dua malaikat Harut dan Marut
dihukum penciptanya karena dosanya dengan digantung terbalik dalam perut bumi
yang paling dalam. Penulis mengolah cerita itu dalam versinya sendiri tentang perjuangan
manusia bernama Penta untuk memaknai kata-kata Harta,Wanita dan Anak adalah perhiasan dunia.
Setelah
bermain-main dengan surelisme dan absurd, sang pemulis membanting setir ke
genre komedi satir agar otak lebih refresh. Kita dibawa ke dunia kaum urban
yang bergelut dengan kerasnya hidup di kosmopolitan berbagai keruwetan didalamnya.
Ada dua cerpen “Pria Dengan Rasa Jeruk” dan “Mesin Mimpi Sarbot”
“Kupandangi ujung botol plastik itu, tak
sanggup jika harus memasukan ujung kemaluanku disana. Apalagi kondisi seperti
ini, didalam keramaian bis ini”
(Pria Dengan Rasa Jeruk)
“Aku harus memiliki kamu biarpun sampai
kukejar ke ruang mimpi sekalipun. Kau harus jadi milikku bukan pria lain”
(Mesin Mimpi Sarbot)
Kisah-kisah
muram tentang pendatang urban, dalam Pria Dengan Rasa Jeruk mengisahkan
pendatang musiman yang tiap tahun selalu masuk ke ibukota untuk mengadu nasib.
Perjalanan dalam bis, Sarwo harus berkutat untuk menahan kencing dan dilema
hanya botol aqua plastik yang bisa menyelamatkanya. Lain sisi dalam cerpen
Mesin Mimpi Sarbot, seorang jongos bernama Sarbot begitu menggilai Mikela
sampai kebawa mimpi maka mesin mimpi solusinya.
Sepertinya penulis tidak mau
terjebak dalam genre tertentu, bidang horor thriller juga digarap. Setidaknya
terlihat ada 3 cerpen berbau “menyeramkan” tapi bukan horor kacangan antara
lain Kecoa-kecoa di Rongga Dadaku, Lang Pa Cha dan Perempuan jadi-jadian yang
mati dibawah kasur.
Penulis juga menyentil penyakit
sosial yang bukan rahasia umum di masyarakat mulai korupsi, human trafficking, phedofilia dan lainnya. Cerita-cerita ada dalam Anak kecil yang
menggenggam revolver, Semua kucing itu di penjara dan Bocah penyihir dan
perempuan bertatokan kesedihan. Ketiga cerpen menceritakan pergolakan dan
pergelutan manusia di jalanan, ada seorang anak yang harus berkeliling
nusantara untuk mencari seorang anak perempuan bernama Kantil atau kisah
koruptor yang berubah menjadi kucing dan dipenjara.
Dilihat dari buku ini, penulis
cenderung melihat arus bawah dan diangkat dalam semua temanya. Bukan tutur yang
cengeng tapi kekekuatan manusia untuk tidak menyerah akan keadaan dan melihat
hari esok yang tidak tahu nasibnya. Tetap berjuang dan percaya.
“Mereka
tampak menikmati pekerjaannya, hujan tidak membuat mereka mengeluh karena
mereka itu anak kecil yang sedang bermain dan jalanan adalah tempat bermain
mereka” (Anak Kecil Yang Menggenggam
Revolver)
Begitu juga kita tetap melangkah
biarpun beban dipundak berat, mungkin sejenak kita letakkan baru kita berjalan
kembali. Membaca-membaca kumpulan cerpen milik Ferry Fansuri terasa menemukan
tujuan hidup yang lebih tangguh dan menyegarkan.
Penulis: