Wajahnya
berkaca-kaca, matanya curam, dalam sedalam samudera yang pernah kulalui saat
aku masih berstatus anak buah kapal Kelud.
“Satu
tahun lagi,” janjiku padanya.
“Itu
serasa seribu tahun bagiku.” Balasnya sendu. Wanita di hadapanku mulai
sesenggukan. Aku mulai merasa tak enak. Kurogoh kantungku untuk sekedar
mengeluarkan kenang-kenangan yang akan ia ingat di hari-hari tanpaku, entah itu
sapu tangan atau sisa-sisa karcis bioskop langganan yang tak sengaja masih
tertinggal di celana. Nihil. Aku merelakan jam tangan yang baru kubeli
berpindah ke genggamannya.
“Jika kau
merindukanku, lihatlah jam itu, jarumnya akan berputar selalu ke kanan, selalu
kembali pada angka yang kau pilih, asal kau mau sabar menunggu. Ya, sama
sepertiku, yang akan selalu kembali padamu.”
Senyumnya
sedikit mengembang, walau air mata membasahi sebagian bibirnya. “Tak usah,” ujarnya lagi. “Di laut tak ada
orang jual jam, kau bawa saja ini, biarkan aku mengelus cincin ini selagi
merindukanmu.”
**
Tiga bulan
berlalu sejak kejadian itu. Aku yang kini menjadi awak kapal pengangkut
batubara menuju dataran Afrika sudah semakin kurus. Dengan upah yang konon
lebih besar berkali lipat, aku meninggalkan kota, orangtua, dan Syarida. Aku
hanya berharap cincin di jarinya takkan lepas (kecuali saat ia mandi), agar
semua orang tahu bahwa aku, Marno, yang telah meminang gadis manis kembang desa
pujaan masyarakat itu. Agak sulit sebenarnya, karena ia adalah biduan utama
Musika Kolong Bong, grup orjen penguasa hajatan di kota kecil kami.
Lamunanku
padanya malam itu terusik oleh sebuah suara yang sangat keras. Pintu-pintu
bergetar. Ledakan membubung, mengeluarkan lidah api menyambar-nyambar. Dari
dek, aku memperkirakan jaraknya hanya sekitar satu kilometer dari anjungan kapal
kami. Dekat sekali. Namun gulita malam mengaburkan pandangan. Kapten Petr
Groussen berbicara dengan nada khawatir pada Sunu, tangan kanannya yang
mengerti bahasa Afrika, Denmark dan Indonesia. Sunu lalu memberitahu kami, para
cecunguk anak buah Indonesia yang terbengong-bengong.
“Perompak.”
Desahnya. “Siaga plan 22, sekarang!”
Desahnya berubah menjadi teriakan. Kami tergopoh-gopoh. Sepuluh orang mengecek
perapian kapal, tiga puluhan orang berjaga di buritan. Setengah dari mereka
adalah seksi keamanan. Aku yang hanya tukang bersih-bersih ini memegang sapu
kuat-kuat di celah antara ruang kebersihan dan kamar mandi. Aku baru ingat,
tadi sore kami sudah memasuki wilayah perairan Afrika. Lautan adalah
sebenar-benarnya sarang kekelaman. Dan manusia bahkan hanya pernah melihat
secuil dari keseluruhannya.
Lampu-lampu
mulai dipadamkan. Aku merasakan angin kian kencang, kapal kami memompa diri
melaju lebih cepat membelah air. Dalam ketegangan, gelap, dan tiupan kuat angin
Selatan yang dingin minta ampun, tembakan pertama terdengar. Disusul tembakan
kedua, ketiga, sampai berbelas-belas. Kiryo dan Sulaiman menggotong Polet
melewatiku. Dada Polet berlubang, darah membasuh kaus bertuliskan Jogja yang ia
pakai. Sampai akhir hayatnya, aku tak tahu nama asli temanku Polet. Kiryo
kembali dan melihatku.
“Masuk
No! Biar kami yang lawan!” serunya. Ia berlalu, diiringi suara letusan dan
erangan dari Kiryo. Langkah-langkah kaki kian mendekat. Bayang-bayang dari
geladak kian nyata membentuk sosok tinggi dan gelap. Perompak di dunia nyata
ternyata seribu kali lebih seram daripada yang tersaji di film-film yang ku
tonton dari kaset bajakan.
Pria
tinggi gelap itu menunjukku, sepertinya memerintahkan temannya untuk segera
mencucuk hidungku agar dijadikan sate bersama ikan hiu.
“Aaahh! Syarida!
Syarida!” Teriakku spontan. Sapu yang kupegang sudah terpelanting entah kemana.
Anehnya mereka tertawa-tawa dan tak jadi mencelakaiku. Salah seorang dari
mereka berbicara bahasa Inggris, namun aku sama sekali tak mengerti. Logatnya
begitu lain. Selagi mereka menertawaiku –menertawai celanaku yang terkena ompol
lebih tepatnya, satu sapuan ombak yang sangat besar datang, memiringkan kapal
beberapa derajat. Salah seorang dari mereka berteriak-teriak menunjuk lautan,
menunjuk arah datang. Dengan menggerutu,
mereka segera berbalik. Tak lupa satu kenang-kenangan manis berupa tembakan
mereka lesakkan padaku.
**
Beberapa
saat kemudian, kepolisian entah dari negara apa datang. Mereka menanyai kapten
Petr yang masih sanggup berbicara walau darah mengucur dari dahinya. Sunu
termasuk korban luka parah. Polisi juga menanyaiku namun aku tak bisa berkata
apa-apa selain menunjukkan arlojiku yang hancur berantakan, beserta tanganku
yang bengkak. Jam tangan yang memang sebesar jengkol itu menyelamatkanku sehingga
aku tak pulang tinggal nama. Dua minggu lagi aku akan dipulangkan ke Indonesia
dengan pesawat melalui Afrika Selatan setelah KBRI dan berupa-rupa televisi
internasional mewawancaraiku di rumah sakit. Aku merincikan peristiwa tersebut
dan mereka mengangguk-angguk saja.
Setelah
aku menceritakan kejadian di depan kamar mandi itu pada Sunu yang dirawat di
sebelahku, ia tersenyum.
“Syarida?
Mirip. Dalam Somalia Saxarooda artinya
buang air,” ujarnya.
**
Biodata Penulis:
Sastrawady
adalah nama pena dari pemuda Medan berdarah Jawa. Aktif berpuisi melalui akun
Instagram: @sastrawady. Pada April 2017 menelurkan sebuah buku berjudul: Kereta
dan Cerita-Cerita Lainnya, yang diterbitkan melalui AE Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.