Minggu, 14 Mei 2017

Rantang Tentara - Hesti Nur Intansari



“Ima, ngapain kamu?! Siang-siang gini enak-enakan main di rumah, nggak liat Emak baru pulang kerja, hah! Sana pergi ke depan Asrama Tentara!” teriakan marah Emak menghentikan aktivitasku yang sedang bermain dengan boneka yang terbuat dari sehelai kain. Segera kusimpan boneka itu, bergegas pergi ke Asrama Tentara yang berjarak beberapa meter dari Rumahku.

Oh ... iya, perkenalkan namaku Imawati. Aku anak ke Lima dari tujuh bersaudara. Kakak pertamaku bernama Esih bekerja di Bandung, dan Kakak keduaku bernama Noni bekerja di salah satu pabrik teh milik pemerintah. Kami tinggal di sebuah Rumah berukuran 5x4 m yang beratap injuk dan berdindingkan bilik [1]

Setiap pagi Bapakku selalu pergi ke gunung mencari Kayu Bakar untuk di jual pada warga, beliau juga membuat gula aren, dan mengambil Rumput di ladang untuk memberi makan Sapi-sapi yang di titipkan pada Bapak.

Emak pun bekerja di ladang atau sawah milik tetangga membantu Bapak memenuhi kebutuhan sehari-hari, mengingat penghasilan Bapak yang tak seberapa. Di tambah lagi dengan anak laki-laki yang Bapak bawa, membuat jatah makanan kami semakin sedikit.

Akhir-akhir ini pun Emak sering mengomel dan marah tanpa sebab. Membuat-ku ingin segera dewasa agar dapat menghasilkan uang, dan Emak tak perlu lagi bekerja. Bahkan aku pernah berkeliling di ladang-ladang milik tetangga untuk mencari kerja, tapi tak ada satu pun dari mereka yang mau mempekerjakanku. Mereka bilang usiaku masih 6 tahun, belum cukup umur untuk bekerja.
Jujur, aku iri pada teman-temanku yang setiap hari makan enak, dan selalu berganti-ganti pakaian mengikuti mode. Sedangkan aku, untuk makan enak pun harus menunggu Idul Adha tiba.

Tanpa terasa, aku sudah sampai di  depan Asrama Tentara, entah untuk apa Emak menyuruhku ke mari. Satu jam ... dua jam ... tiga jam ... tak ada yang kulakukan hanya berdiri tanpa tujuan. Beberapa saat kemudian Hujan turun begitu deras, sebagian rok yang kugunakan basah terkena air hujan. Aku bejongkok dan memeluk tubuhku sendiri menghalau dinginnya hujan sore hari.

Beberapa saat kemudian pria berpayung biru datang menghampiriku, dia menatapku kaget. “Ade ... ngapain duduk di situ? Hujannya gede ayo masuk!” ajak pria itu berjongkok menyamakan tingginya dengan tinggi tubuhku.

Aku menggelengkan kepalaku beberapa kali.

“Eh ... ntar sakit lho. Ayo ... ayo masuk!”

Lagi. Aku menggeleng.

“Ade rumahnya di mana?”

Aku menunjuk Rumahku dengan jari telunjuk.

“Oh ... anaknya Bapak Kosim, sama Ibu Ina ya. Masuk yuk Dek, makan di dalem.”

Aku tak menjawab, hanya menggelengkan kepalaku beberapa kali. Pria itu kemudian masuk kembali ke dalam Asrama, beberapa saat kemudian dia datang membawa sebuah Rantang besar. “Ntar di Rumah makan ya bareng-bareng.” Pria itu memberikanku Rantang besar.
Aku tersenyum, kemudian mengganguk.

Hujan agak sedikit reda sekarang, aku memutuskan untuk pulang ke Rumah. Sesampainya di Rumah Bapak menatap tubuhku yang basah. “Dari mana? Itu apa?” tanya Bapak tegas.

“Di kasih dari Asrama Pak.” ucapku memberikan Rantang itu pada Bapak.

“Ganti baju, setelah itu kita makan.” Aku mengangguk.

~~oOo~~

Setelah ganti baju, aku kembali ke ruang depan. Kulihat Bapak, Emak, Kakak, dan Adikku sudah berkumpul membentuk lingkaran di atas karpet plastik. Aku berjalan menghampiri mereka. Kulihat Emak tersenyum. “Makan enak Ima, tiap hari aja atuh kamu teh cinukduk[2] di sana. Biar kita makan enak.” ucap Emak tertawa diikuti oleh Bapak dan Kakak-Kakakku.

“Nanti kalo sudah selesai makan, kembalikan Rantangnya ya. Jangan lupa terima kasih sama Bapak-Bapak Tentara.” sahut Bapak.

Komo we atu Pak[3], siapa tahu di kasih lagi Rantang.” Tanggap Emak membuat kami tertawa.

~~oOo~~

Setelah selesai makan, aku kembali ke Asrama Tentara. Di depan gerbang kulihat Pria yang memberiku Rantang tadi sedang mengobrol dengan seseorang. Kudekati Pria itu. “Pak .... ” Panggilku pelan.

Pria itu tersenyum, mengambil Rantang dari tanganku. “Makannya udah?”

Aku mengangguk. Pria itu menggandeng tanganku, membawaku ke sebuah Ruangan berisi makanan, kemudian ia mendudukanku di  kursi. “Mau susu Dek?”

Aku mengangguk. Pria itu memberikanku segelas susu yang masih hangat, dan kue-kue kering.

“Sering-sering main ke sini ya. Bapak juga di kampung punya anak cewek seusia kamu. Jadi kalo liat kamu berasa liat anak Bapak sendiri.”

Aku tersenyum, kemudian mengangguk.

“Ayo ... kuenya di makan.” Aku melahap kue-kue enak itu semangat.
Beberapa saat kemudian, beberapa orang berseragam Tentara datang. “Anak siapa ini?” tanya salah satu dari mereka.

“Itu anaknya Pak Kosim Dan.” jawab Pria yang memberiku Rantang.

“Oh ... udah di kasih makan Jo?”

“Udah tadi Dan.”

“Lah kok tadi, kasih makan lagi lah sekarang.”

Pria itu mengangguk, kemudian memberikanku lagi makan. Sesudah makan, dan lelah bermain aku pun berpamitan pulang. Pria yang memberikanku Rantang kembali memberikanku Makanan untuk di bawa pulang.

~~oOo~~

Dari luar kudengar suara ribut-ribut, aku pun segera masuk. Kulihat Emak sedang bertengkar dengar Bapak. “Mak .... ” panggilku pelan.

“Udah pulang Ima.”

Aku mengangguk, memberikan Rantang yang ada di tanganku pada Emak. Aku memasuki kamar, kulihat Kakakku sedang memeluk Adik-Adikku. “Kenapa teh?” tanyaku penasaran.

“Emak ... marah besar, gara-gara Bapak bawa si Jonas. Emak mikir si Jonas itu anak selingkuhan Bapak.” jawab Teh Oni kakak ketigaku.

“Terus A Jonasnya dimana sekarang?”

“Dia mah main sama anak-anak kampung, kalo udah laper baru pulang.”

~~oOo~~

Keesokan harinya, sebuah mobil berhenti di depan Rumahku. Wanita cantik bergincu merah turun dari mobil itu, kemudian mengetuk pintu Rumah kami. “Maaf Kang Kosimnya ada?” tanya wanita itu padaku.

“Siapa Ima?” teriak Emak dari dalam.

“Nggak tahu Mak.” jawabku.

Beberapa saat kemudian Emak datang. “Siapa kamu, nyari suami saya?”

“Saya Nince teh, ada urusan sama Kang Kosim.”

“Kang Kosimnya gak ada, masih di Ladang.” jawab Emak Ketus.

“Oh ... gitu, ya sudah gapapa saya tunggu sampe Kang Kosim pulang.” ucapnya melenggang memasuki Rumah kami, tanpa seizin Emak.

Emak menatap wanita itu kesal. “Ima jaga Rumah dulu ya?! Emak mau nyusul Bapak.” Aku mengangguk.

Sepuluh menit kemudian ... Emak datang bersama Bapak. Mereka segera masuk ke dalam rumah menemui wanita bernama Nince.

“Ada Iceu ... ternyata. Mau datang kenapa tidak bilang-bilang?” tanya Bapak.

“Nince kang, bukan Iceu.”

“Nama asli kamu kan Nince.”

“Ah ... sudahlah, terserah akang saja. Nince ke sini mau ngambil Jonas kang.”
Emak menatap Bapak dengan marah. “Mak ... sabar atuh Mak. Ini teh si Iceu adik Bapak yang nikah sama orang Belanda ... Belokan Cisandaan. Masa Emak lupa? Si Jonas itu anaknya, bukan anak Bapak.”

“Ia Teh, si Jonas itu anak saya sama kang Abud. Bukannya anak Kang Kosim, ah masa saya nikah sama Kakak sendiri. Nggak lucu atuh.”

“Sekarang si Iceu udah kaya Mak, udah jadi juragan jengkol.”
Wanita bernama Iceu tersenyum malu-malu. “Ah ... si Akang mah, bisa sajah. Oh ... iya teteh ipar Nince punya oleh-oleh buat Teteh.” Ia menyatukan ibu jari, dan jari telunjukanya membentuk lingkaran, kemudian memasukannya ke dalam mulut dan ....

Switt ... Switt ... seorang pria datang, membawa beberapa kantong besar ke dalam Rumah. “Ini oleh-oleh buat Teteh, ada lipstik dari Prancis, baju dari Swiss, sepatu dari Rusia, dan masih banyak lah ... ada juga jengkol dari Belanda alis belokan Cisandaan.”

Emak tersenyum, wajah kesalnya tak lagi terlihat. “Terima kasih atuh ya Neng Nince, Teteh teh senang pisan punya Adek Ipar seperti kamu. Baik pisan euy.” Emak mencium pipi kiri dan kanan Nince.

“Iya, sama-sama ... terima kasih juga, Teteh sudah mau merawat si Jonas.”
Senyum Emak semakin lebar, seskali ia tertawa. “Tidak apa atuh, sering-sering aja titip si Jonas. Biar oleh-olehnya tambah banyak.”
Bapak mencolek bahu Emak. “Husss ...  alah-alah si Emak.”

Biodata Penulis:


Hesti Nur Intansari lahir di indonesia 17 tahun yang lalu. Seorang penulis amatir yang sangat menyukai segala hal berbau Korea. Mulai gemar menulis sejak berada di tingkat 2 Sekolah Menengah Pertama. Dapat di hubungi melalui akun fb : , atau   E-mail : Ryuzhang43@gmail.com




[1] Dinding yang terbuat dari anyaman bambu.
[2] Berjongkok
[3] Tentu saja Pak.

Sabtu, 13 Mei 2017

Serangkai Rasa - April Bee



Dialah sepenggal kisah, terasah dalam gelisah
Terbang dan terkekang

Entah salah siapa
Rasa ini mengendap, merayap dan menyergap sisi-sisi senyap
Bagai dahan dalam hutan, akupun kian bertahan
Hanya enggan untuk dikorbankan

Dialah sebait cerita, mengajakku merangkai rasa
Meski ia tahu waktuku nyaris tak tersisa

Dan akupun masih dahan hutan yang bertahan
Dan dialah sayap-sayap dalam hujan
Sejenak bersandar menyisa harapan
Untuk membunuh waktu di masa depan
Sekedar ingin tetap bertahan

Dialah sepengggal kisah yang menjadi cerita
Secara tak disangka merangkulku merajut asa
Aku berharap untuk kita
Bukan untukku saja

Wringinanom, 04032017

BIODATA:

Eka Aprilia Rohmawati lahir pada tanggal 08 April 1996 di kota pudhak, Gresik. Gadis ini memiliki hobi membaca buku dan mendengarkan music. Dia adalah seorang pluviophile yang juga menggilai coklat. Dia memiliki nama pena April Bee. Social media yang dia miliki antara lain ; whatsapp 082236586762 facebook April Bee blog aprilbee96.blogspot.com instagram, line, wattpad, storial.co aprilbee96.

Jumat, 12 Mei 2017

Mereka bukan Aku - Misnoto




Tinggal dalam waktu yang sementara
Sesaat sempat tersipu jiwa ini
Mendapati segerombolan hanya berpandangan
Aneh, mungkin saja lantaran mereka bukan aku

Malang, 2017

Baca Juga: Kau Seperti Bunga

Biodata Penulis:


Misnoto, Mahasiswa jurusan Matematika di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malanga, berasal dari pulau Giliraja Kabupaten Sumenep Madura. Penulis biasa menulis puisinya di blog pribadinya sajak-sajakmisnoto.blogspot.com.

Kamis, 11 Mei 2017

Perompak! - Sastrawady



Wajahnya berkaca-kaca, matanya curam, dalam sedalam samudera yang pernah kulalui saat aku masih berstatus anak buah kapal Kelud.

“Satu tahun lagi,” janjiku padanya.

“Itu serasa seribu tahun bagiku.” Balasnya sendu. Wanita di hadapanku mulai sesenggukan. Aku mulai merasa tak enak. Kurogoh kantungku untuk sekedar mengeluarkan kenang-kenangan yang akan ia ingat di hari-hari tanpaku, entah itu sapu tangan atau sisa-sisa karcis bioskop langganan yang tak sengaja masih tertinggal di celana. Nihil. Aku merelakan jam tangan yang baru kubeli berpindah ke genggamannya.
“Jika kau merindukanku, lihatlah jam itu, jarumnya akan berputar selalu ke kanan, selalu kembali pada angka yang kau pilih, asal kau mau sabar menunggu. Ya, sama sepertiku, yang akan selalu kembali padamu.”

Senyumnya sedikit mengembang, walau air mata membasahi sebagian bibirnya.  “Tak usah,” ujarnya lagi. “Di laut tak ada orang jual jam, kau bawa saja ini, biarkan aku mengelus cincin ini selagi merindukanmu.”

**

Tiga bulan berlalu sejak kejadian itu. Aku yang kini menjadi awak kapal pengangkut batubara menuju dataran Afrika sudah semakin kurus. Dengan upah yang konon lebih besar berkali lipat, aku meninggalkan kota, orangtua, dan Syarida. Aku hanya berharap cincin di jarinya takkan lepas (kecuali saat ia mandi), agar semua orang tahu bahwa aku, Marno, yang telah meminang gadis manis kembang desa pujaan masyarakat itu. Agak sulit sebenarnya, karena ia adalah biduan utama Musika Kolong Bong, grup orjen penguasa hajatan di kota kecil kami.

Lamunanku padanya malam itu terusik oleh sebuah suara yang sangat keras. Pintu-pintu bergetar. Ledakan membubung, mengeluarkan lidah api menyambar-nyambar. Dari dek, aku memperkirakan jaraknya hanya sekitar satu kilometer dari anjungan kapal kami. Dekat sekali. Namun gulita malam mengaburkan pandangan. Kapten Petr Groussen berbicara dengan nada khawatir pada Sunu, tangan kanannya yang mengerti bahasa Afrika, Denmark dan Indonesia. Sunu lalu memberitahu kami, para cecunguk anak buah Indonesia yang terbengong-bengong.

“Perompak.” Desahnya. “Siaga plan 22, sekarang!” Desahnya berubah menjadi teriakan. Kami tergopoh-gopoh. Sepuluh orang mengecek perapian kapal, tiga puluhan orang berjaga di buritan. Setengah dari mereka adalah seksi keamanan. Aku yang hanya tukang bersih-bersih ini memegang sapu kuat-kuat di celah antara ruang kebersihan dan kamar mandi. Aku baru ingat, tadi sore kami sudah memasuki wilayah perairan Afrika. Lautan adalah sebenar-benarnya sarang kekelaman. Dan manusia bahkan hanya pernah melihat secuil dari keseluruhannya.

Lampu-lampu mulai dipadamkan. Aku merasakan angin kian kencang, kapal kami memompa diri melaju lebih cepat membelah air. Dalam ketegangan, gelap, dan tiupan kuat angin Selatan yang dingin minta ampun, tembakan pertama terdengar. Disusul tembakan kedua, ketiga, sampai berbelas-belas. Kiryo dan Sulaiman menggotong Polet melewatiku. Dada Polet berlubang, darah membasuh kaus bertuliskan Jogja yang ia pakai. Sampai akhir hayatnya, aku tak tahu nama asli temanku Polet. Kiryo kembali dan melihatku.

“Masuk No! Biar kami yang lawan!” serunya. Ia berlalu, diiringi suara letusan dan erangan dari Kiryo. Langkah-langkah kaki kian mendekat. Bayang-bayang dari geladak kian nyata membentuk sosok tinggi dan gelap. Perompak di dunia nyata ternyata seribu kali lebih seram daripada yang tersaji di film-film yang ku tonton dari kaset bajakan.

Baca Juga: Waktu - Emka

Pria tinggi gelap itu menunjukku, sepertinya memerintahkan temannya untuk segera mencucuk hidungku agar dijadikan sate bersama ikan hiu.

“Aaahh! Syarida! Syarida!” Teriakku spontan. Sapu yang kupegang sudah terpelanting entah kemana. Anehnya mereka tertawa-tawa dan tak jadi mencelakaiku. Salah seorang dari mereka berbicara bahasa Inggris, namun aku sama sekali tak mengerti. Logatnya begitu lain. Selagi mereka menertawaiku –menertawai celanaku yang terkena ompol lebih tepatnya, satu sapuan ombak yang sangat besar datang, memiringkan kapal beberapa derajat. Salah seorang dari mereka berteriak-teriak menunjuk lautan, menunjuk arah datang.  Dengan menggerutu, mereka segera berbalik. Tak lupa satu kenang-kenangan manis berupa tembakan mereka lesakkan padaku.

**

Beberapa saat kemudian, kepolisian entah dari negara apa datang. Mereka menanyai kapten Petr yang masih sanggup berbicara walau darah mengucur dari dahinya. Sunu termasuk korban luka parah. Polisi juga menanyaiku namun aku tak bisa berkata apa-apa selain menunjukkan arlojiku yang hancur berantakan, beserta tanganku yang bengkak. Jam tangan yang memang sebesar jengkol itu menyelamatkanku sehingga aku tak pulang tinggal nama. Dua minggu lagi aku akan dipulangkan ke Indonesia dengan pesawat melalui Afrika Selatan setelah KBRI dan berupa-rupa televisi internasional mewawancaraiku di rumah sakit. Aku merincikan peristiwa tersebut dan mereka mengangguk-angguk saja.

Setelah aku menceritakan kejadian di depan kamar mandi itu pada Sunu yang dirawat di sebelahku, ia tersenyum.

“Syarida? Mirip. Dalam Somalia Saxarooda artinya buang air,” ujarnya.

**

Biodata Penulis:

Sastrawady adalah nama pena dari pemuda Medan berdarah Jawa. Aktif berpuisi melalui akun Instagram: @sastrawady. Pada April 2017 menelurkan sebuah buku berjudul: Kereta dan Cerita-Cerita Lainnya, yang diterbitkan melalui AE Publishing.

Senin, 01 Mei 2017

Sepucuk Surat Untuk Mantan Kekasih - Emka




“Maaf, aku sungguh tidak bisa denganmu lagi”

Kata-kata itu kembali terngiang di telingaku. Ya, memang saat itu aku yang memutuskan hubunganku dengannya. Setelah 2 tahun berlalu tiba-tiba saja aku ingin mengirim sepucuk surat sederhana untuk dia. Mantan kekasih yang pernah kucintai sangat dalam. Bahkan hingga saaat kami tak saling mempedulikan.

06 April 2012, 23: 36

Selamat malam.

Kuharap kabarmu baik-baik saja. Bahkan lebih baik dari harapanku.

Maaf jika tiap kali tanpa sengaja bertemu, aku seringkali menghindarimu. Seringkali mempersingkat waktu mengobrol.

Aku bukan membencimu. Sama sekali bukan.

Aku hanya benci, tiap kali tanpa sengaja berpapasan denganmu, aku masih merasakan sesuatu yang bergemuruh di dalam dada. Seakan-akan kau masih tersimpan rapi disana.

Aku hanya lelah, tiap kali bertemu tatap aku masih belum bisa menatapmu sebagai orang lain. 

Seakan-akan kau masih 'bagian dari diriku'.

Aku hanya bosan, tiap kali terpaksa bertegur sapa, aku masih belum bisa berbicara dengan nada biasa. Seakan-akan kau adalah kekasihku yang harus ku perlakukan dengan baik.

Barangkali aku sudah tertinggal jauh dibelakangmu. Setelah tidak denganku, kau bahkan sudah berkali-kali berpindah hati. Sedang aku, masih saja jalan ditempat, masih saja merasa bahwa hatimu adalah tempatku pulang. Ah! Bagiku perkara melupa memang tidaklah mudah.

Sekali waktu, aku ingin bertemu denganmu. Menghabiskan beberapa menit bersamamu. Membicarakan apa-apa yang masih masih tersimpan di dada. Menyelesaikan perihal rasa yang tak pernah diizinkan semesta. Tenang saja, aku tidak akan memintamu kembali. Aku hanya ingin meluruskan apa saja yang ada di pikiranku dan pikiranmu.

Agar apa? Agar sesegera mungkin aku bisa berdamai dengan masa lalu. Bisa benar-benar melepaskan dan mengikhlaskan. Agar nanti, ketika aku ingin membuka hati kepada orang baru, tidak ada hal yang mengganjal tanpa penjelasan. Sebab bagaimana pun, aku tidak pernah bisa membencimu.


Selamat menjalani hari-harimu.

Biodata :

Menyukai dunia menulis sejak SMA. Penggemar novel romance, dan buku bacaan religi. Seorang Graphic Designer  di sebuah perusahaan Advertising & Digital printing.