“Ima, ngapain kamu?! Siang-siang gini enak-enakan main di rumah, nggak liat Emak baru pulang kerja, hah! Sana pergi ke depan Asrama Tentara!” teriakan marah Emak menghentikan aktivitasku yang sedang bermain dengan boneka yang terbuat dari sehelai kain. Segera kusimpan boneka itu, bergegas pergi ke Asrama Tentara yang berjarak beberapa meter dari Rumahku.
Oh
... iya, perkenalkan namaku Imawati. Aku anak ke Lima dari tujuh bersaudara.
Kakak pertamaku bernama Esih bekerja di Bandung, dan Kakak keduaku bernama Noni
bekerja di salah satu pabrik teh milik pemerintah. Kami tinggal di sebuah Rumah
berukuran 5x4 m yang beratap injuk dan berdindingkan bilik [1]
Setiap
pagi Bapakku selalu pergi ke gunung mencari Kayu Bakar untuk di jual pada
warga, beliau juga membuat gula aren, dan mengambil Rumput di ladang untuk
memberi makan Sapi-sapi yang di titipkan pada Bapak.
Emak
pun bekerja di ladang atau sawah milik tetangga membantu Bapak memenuhi
kebutuhan sehari-hari, mengingat penghasilan Bapak yang tak seberapa. Di tambah
lagi dengan anak laki-laki yang Bapak bawa, membuat jatah makanan kami semakin
sedikit.
Akhir-akhir ini pun Emak sering mengomel dan marah
tanpa sebab. Membuat-ku ingin segera dewasa agar dapat menghasilkan uang, dan
Emak tak perlu lagi bekerja. Bahkan aku pernah berkeliling di ladang-ladang
milik tetangga untuk mencari kerja, tapi tak ada satu pun dari mereka yang mau
mempekerjakanku. Mereka bilang usiaku masih 6 tahun, belum cukup umur untuk
bekerja.
Jujur, aku iri pada teman-temanku yang
setiap hari makan enak, dan selalu berganti-ganti pakaian mengikuti mode.
Sedangkan aku, untuk makan enak pun harus menunggu Idul Adha tiba.
Tanpa terasa, aku sudah sampai di depan Asrama Tentara, entah untuk apa Emak
menyuruhku ke mari. Satu jam ... dua jam ... tiga jam ... tak ada yang
kulakukan hanya berdiri tanpa tujuan. Beberapa saat kemudian Hujan turun begitu
deras, sebagian rok yang kugunakan basah terkena air hujan. Aku bejongkok dan
memeluk tubuhku sendiri menghalau dinginnya hujan sore hari.
Beberapa saat kemudian pria berpayung
biru datang menghampiriku, dia menatapku kaget. “Ade ... ngapain duduk di situ?
Hujannya gede ayo masuk!” ajak pria itu berjongkok menyamakan tingginya dengan
tinggi tubuhku.
Aku menggelengkan kepalaku beberapa
kali.
“Eh ... ntar sakit lho. Ayo ... ayo
masuk!”
Lagi. Aku menggeleng.
“Ade rumahnya di mana?”
Aku menunjuk Rumahku dengan jari
telunjuk.
“Oh ... anaknya Bapak Kosim, sama Ibu
Ina ya. Masuk yuk Dek, makan di dalem.”
Aku tak menjawab, hanya menggelengkan
kepalaku beberapa kali. Pria itu kemudian masuk kembali ke dalam Asrama,
beberapa saat kemudian dia datang membawa sebuah Rantang besar. “Ntar di Rumah
makan ya bareng-bareng.” Pria itu memberikanku Rantang besar.
Aku tersenyum, kemudian mengganguk.
Hujan agak sedikit reda sekarang, aku
memutuskan untuk pulang ke Rumah. Sesampainya di Rumah Bapak menatap tubuhku
yang basah. “Dari mana? Itu apa?” tanya Bapak tegas.
“Di kasih dari Asrama Pak.” ucapku
memberikan Rantang itu pada Bapak.
“Ganti baju, setelah itu kita makan.”
Aku mengangguk.
~~oOo~~
Setelah ganti baju, aku kembali ke ruang
depan. Kulihat Bapak, Emak, Kakak, dan Adikku sudah berkumpul membentuk
lingkaran di atas karpet plastik. Aku berjalan menghampiri mereka. Kulihat Emak
tersenyum. “Makan enak Ima, tiap hari aja atuh kamu teh cinukduk[2]
di sana. Biar kita makan enak.” ucap Emak tertawa diikuti oleh Bapak dan
Kakak-Kakakku.
“Nanti kalo sudah selesai makan,
kembalikan Rantangnya ya. Jangan lupa terima kasih sama Bapak-Bapak Tentara.” sahut
Bapak.
“Komo
we atu Pak[3], siapa tahu di kasih lagi Rantang.”
Tanggap Emak membuat kami tertawa.
~~oOo~~
Setelah selesai makan, aku kembali ke
Asrama Tentara. Di depan gerbang kulihat Pria yang memberiku Rantang tadi
sedang mengobrol dengan seseorang. Kudekati Pria itu. “Pak .... ” Panggilku
pelan.
Pria itu tersenyum, mengambil Rantang
dari tanganku. “Makannya udah?”
Aku mengangguk. Pria itu menggandeng
tanganku, membawaku ke sebuah Ruangan berisi makanan, kemudian ia mendudukanku
di kursi. “Mau susu Dek?”
Aku mengangguk. Pria itu memberikanku
segelas susu yang masih hangat, dan kue-kue kering.
“Sering-sering main ke sini ya. Bapak
juga di kampung punya anak cewek seusia kamu. Jadi kalo liat kamu berasa liat
anak Bapak sendiri.”
Aku tersenyum, kemudian mengangguk.
“Ayo ... kuenya di makan.” Aku melahap
kue-kue enak itu semangat.
Beberapa saat kemudian, beberapa orang
berseragam Tentara datang. “Anak siapa ini?” tanya salah satu dari mereka.
“Itu anaknya Pak Kosim Dan.” jawab Pria
yang memberiku Rantang.
“Oh ... udah di kasih makan Jo?”
“Udah tadi Dan.”
“Lah kok tadi, kasih makan lagi lah
sekarang.”
Pria itu mengangguk, kemudian
memberikanku lagi makan. Sesudah makan, dan lelah bermain aku pun berpamitan
pulang. Pria yang memberikanku Rantang kembali memberikanku Makanan untuk di
bawa pulang.
~~oOo~~
Dari luar kudengar suara ribut-ribut,
aku pun segera masuk. Kulihat Emak sedang bertengkar dengar Bapak. “Mak .... ”
panggilku pelan.
“Udah pulang Ima.”
Aku mengangguk, memberikan Rantang yang
ada di tanganku pada Emak. Aku memasuki kamar, kulihat Kakakku sedang memeluk
Adik-Adikku. “Kenapa teh?” tanyaku penasaran.
“Emak ... marah besar, gara-gara Bapak
bawa si Jonas. Emak mikir si Jonas itu anak selingkuhan Bapak.” jawab Teh Oni
kakak ketigaku.
“Terus A Jonasnya dimana sekarang?”
“Dia mah main sama anak-anak kampung,
kalo udah laper baru pulang.”
~~oOo~~
Keesokan harinya, sebuah mobil berhenti
di depan Rumahku. Wanita cantik bergincu merah turun dari mobil itu, kemudian
mengetuk pintu Rumah kami. “Maaf Kang Kosimnya ada?” tanya wanita itu padaku.
“Siapa Ima?” teriak Emak dari dalam.
“Nggak tahu Mak.” jawabku.
Beberapa saat kemudian Emak datang.
“Siapa kamu, nyari suami saya?”
“Saya Nince teh, ada urusan sama Kang
Kosim.”
“Kang Kosimnya gak ada, masih di
Ladang.” jawab Emak Ketus.
“Oh
... gitu, ya sudah gapapa saya tunggu sampe Kang Kosim pulang.” ucapnya
melenggang memasuki Rumah kami, tanpa seizin Emak.
Emak menatap wanita itu kesal. “Ima jaga
Rumah dulu ya?! Emak mau nyusul Bapak.” Aku mengangguk.
Sepuluh menit kemudian ... Emak datang
bersama Bapak. Mereka segera masuk ke dalam rumah menemui wanita bernama Nince.
“Ada Iceu ... ternyata. Mau datang
kenapa tidak bilang-bilang?” tanya Bapak.
“Nince kang, bukan Iceu.”
“Nama asli kamu kan Nince.”
“Ah ... sudahlah, terserah akang saja.
Nince ke sini mau ngambil Jonas kang.”
Emak menatap Bapak dengan marah. “Mak
... sabar atuh Mak. Ini teh si Iceu adik Bapak yang nikah sama orang Belanda
... Belokan Cisandaan. Masa Emak lupa? Si Jonas itu anaknya, bukan anak Bapak.”
“Ia Teh, si Jonas itu anak saya sama
kang Abud. Bukannya anak Kang Kosim, ah masa saya nikah sama Kakak sendiri.
Nggak lucu atuh.”
“Sekarang si Iceu udah kaya Mak, udah
jadi juragan jengkol.”
Wanita bernama Iceu tersenyum malu-malu.
“Ah ... si Akang mah, bisa sajah. Oh ... iya teteh ipar Nince punya oleh-oleh
buat Teteh.” Ia menyatukan ibu jari, dan jari telunjukanya membentuk lingkaran,
kemudian memasukannya ke dalam mulut dan ....
Switt ... Switt ... seorang pria datang,
membawa beberapa kantong besar ke dalam Rumah. “Ini oleh-oleh buat Teteh, ada
lipstik dari Prancis, baju dari Swiss, sepatu dari Rusia, dan masih banyak lah
... ada juga jengkol dari Belanda alis belokan Cisandaan.”
Emak tersenyum, wajah kesalnya tak lagi
terlihat. “Terima kasih atuh ya Neng Nince, Teteh teh senang pisan punya Adek
Ipar seperti kamu. Baik pisan euy.” Emak mencium pipi kiri dan kanan Nince.
“Iya, sama-sama ... terima kasih juga,
Teteh sudah mau merawat si Jonas.”
Senyum Emak semakin lebar, seskali ia
tertawa. “Tidak apa atuh, sering-sering aja titip si Jonas. Biar oleh-olehnya
tambah banyak.”
Bapak mencolek bahu Emak. “Husss ... alah-alah si Emak.”
Biodata Penulis:
Biodata Penulis:
Hesti Nur Intansari lahir di indonesia
17 tahun yang lalu. Seorang penulis amatir yang sangat menyukai segala hal berbau
Korea. Mulai gemar menulis sejak berada di tingkat 2 Sekolah Menengah Pertama.
Dapat di hubungi melalui akun fb : 해나,
atau E-mail : Ryuzhang43@gmail.com
[1] Dinding yang terbuat dari anyaman bambu.
[2] Berjongkok
[3] Tentu saja Pak.