"Kau sudah makan?" Isi pesan singkatmu di Handphone ku.
"Hem.. apa kau masih perlu
bertanya?" balasku
singkat.
"Keluarlah, buka pintu rumahmu," balasmu setelah15 menit mengabaikan
pesanku.
Oh astaga! Di depan rumahku sudah
berdiri seorang lelaki dengan sekotak pizza di tangannya. Ya, aku
memang suka makan pizza ketika malam minggu.
"Selamat pagi, Gadis.
Kau sedang apa?" sapamu di telepon pagi itu.
"Pagi kembali, aku sedang
bosan," jawabku singkat.
"Oh ya sudah. Aku matikan teleponnya."
Eh, aku heran, aku katakan bahwa
aku sedang bosan. Tapi kau
justru mematikan telepon. Lelaki terkadang susah dimengerti.
Ting tong ….
"Ah! Siapa pagi-pagi begini
bertamu," gerutuku dalam hati.
"Selamat pagi Nona. Ada
sepaket bunga dari seorang lelaki jauh untuk seorang gadis yang sedang
bosan."
". . . . . ."
"Katanya dia bisa mati berdiri
kalau gadisnya memberengut terus menerus dan manis di wajahnya ikut
luntur."
". . . . ."
"Nona?"
"Oh iya, terima kasih."
Dan begitulah hari kulalui dengan
seribu satu kejutan selama empat tahun. Hingga tiba waktunya Kau kembali ke
kota ini.
"Aku kembali, study-ku
sudah selesai,"
ucapmu sebgai pembuka
pertemuan di sore itu.
"Iya, aku sangat senang
mendengarnya. Empat
tahun berlalu, Kau selalu bisa membuatku tersenyum walaupun dengan hal
sederhana. Aku sudah menutup luka lama. Aku membuka hati. Aku merindukanmu!" kukatakan sesuatu sesuai
apa yang ku rasa sambil menatap jernih matanya.
"Aku lega, setidaknya
optimismeku tidak berujung sia-sia. Aku menyerahkan seluruh hatiku padamu. Aku
benar-benar menyukaimu, bersedia menunggu sembari menyembuhkan luka di masa
silammu. Disana, aku selalu mengabaikan setiap cinta yang berusaha mendekat.
Karna apa? Karena aku yakin kau akan menungguku."
". . . . ."
“ Aku percaya bahwa kau hanya butuh
waktu. Waktu untuk melupakan, waktu untuk menyembuhkan luka, waktu untuk
membuka hati. Benar
saja waktu bekerja sebagaimana mestinya. Ketahuilah, meskipun kecil aku sudah
memiliki usaha sendiri. Usaha yang ku rintis pelan-pelan sembari merindukanmu
setiap waktu.”
“Terima kasih telah mempercayakan
hatimu pada ….”
Kau menghentikan kata-kataku dengan meletakkan jari telunjuk di depan bibirku.
"Jadi ... menikahlah denganku!”
Baca Juga: Barbie, Keju, dan Singkong - Ferry Fansuri
Biodata :
Menyukai dunia menulis sejak SMA.
Penggemar novel romance, dan buku bacaan religi. Seorang Graphic Designer di sebuah perusahaan Advertising &
Digital printing.
0 Response to "Waktu (2) - Emka"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.