Maura bergidik, tidak menyangka akan terlempar ke tatar lain ketika
baru beberapa detik melepaskan pegangan dari Julian. Basement yang tiba-tiba pengap dan senyap membuat jantungnya serasa
merosot sampai ke kaki.
“Oke, Maura, tenangin diri
lo,” Maura mengatur nafasnya yang
mulai terasa berat. Ia tidak lagi bersama Julian.
Menyorotkan senter lurus ke depan, Maura melangkah seringan
mungkin agar sepatunya tidak berbunyi. Di pikirannya sekarang, ia harus meninggalkan
basement secepat mungkin dan pergi ke
halaman.
“Jangan panik Maura, tenang,” ia
menyemangati dirinya sendiri.
Basement masih lengang. Sesekali ia melihat bayangan seperti orang
yang hendak keluar dari balik tiang. Namun, saat senter menyinari tiang
tersebut, bayangan itu berpindah ke tiang sebelahnya. Terus seperti itu.
“Abaikan, Maura! Itu cuma bayang-bayang,” batinnya.
Maura terus berjalan keluar menuju halaman apartemen. Jalur
yang dilaluinya juga sudah gelap, menandakan di luar sudah malam.
“Kak Maura…”
Nafas Maura tersentak. Kepalanya berjengit. Maura bertemu lagi
dengan petugas kebersihan itu.
“Saya Bram, Kak. Masih ingat kan?”
Maura mengangguk tanpa menoleh. Ia enggan menoleh karena
masih ngeri menatap bekas-bekas luka bakar di sekujur tubuh Bram.
“Aku pinjam uang pada rentenir bernama Sukoco,” ujar Bram dari belakang Maura. “Bunga pinjamannya enggak
kira-kira. Nagihnya juga pakai cara
preman, sampai teman-teman kosku takut dan aku diusir ibu kos. Padahal uang itu
bukan buat senang-senang, tapi biaya operasi ibuku.”
Maura berhasil maju. Dua langkah, tapi kakinya terasa berat
sekali dan tak mau bergerak untuk langkah ketiga.
“Orang-orang manajemen gedung ini enggak mau meminjamkan uang,”
ia mendesis, “peraturan katanya. Aku putus asa, jadi aku
bertindak bodoh.”
Suasana hening sejenak.
“Ada enggak orang yang ingat aku?” lanjut Bram. “Enggak
usahlah orang-orang manajemen yang brengsek itu. Minimal satpam yang sering
ngobrol denganku. Petugas lain. Siapa sajalah!”
“Aku!” kata Maura spontan sambil perlahan menoleh ke arah Bram. “Ya, aku
yang akan selalu ingat Mas... Bram, ya!”
Suasana kembali hening. Bram tidak menyahut. Seraya menahan
nafas, dengan langkah mundur, Maura mengambil langkah ketiga, keempat, kelima.
Tiba-tiba…
“Betul? Kak Maura enggak akan
lupa denganku?”, ucap Bram yang sudah berada di samping Maura.
“Ya! Ya.. He’eh..” jawab Maura cepat, yang sebenarnya lebih disebabkan karena
keterkejutannya
yang sangat.
Sedetik kemudian Bram menghilang. Basement sepi. Kini, Maura bisa melangkah dengan lebih lancar,
sambil mendesah lega.
<><><>
“Mana rentenir busuk yang bernama Sukoco!” bentak seseorang sambil membawa sebilah golok.
Preman-preman yang sedari tadi asyik bermain judi kaget bukan
kepalang melihat remaja tanggung berteriak di hadapan mereka.
“Eh, siapa lo?
Berani bener masuk daerah orang
sambil bawa golok segala?” ucap Karman dengan mata melotot, seperti singa yang
hendak menerkam mangsanya. “Cari mati lo!”
“Hahaha, sendirian lagi. Asli muke gile nih bocah,”
tukas preman-preman yang lainnya.
“Tunggu!” Seseorang dari balik pintu perlahan mendekat.
Gayanya perlente. Sepatunya mengilap, berkelas. Dengan setelan jas putih dipadu
dengan kemeja serta celana kain hitam, orang itu berjalan ke arah sofa kemudian
duduk bersila angkat. “Maaf, siapa gerangan Anda, anak muda? Mengapa tiba-tiba
masuk dan memanggil nama saya keras-keras? Adakah yang bisa saya bantu?”
sapanya ramah.
Wajah remaja tanggung itu memerah, kesal.
Emosinya terbakar sudah. Golok di genggamannya terasa panas, siap untuk
menebas.
<><selesai><>
*terinspirasi dari
novel LOST karya Eve Shi
tentunya dengan
beberapa perubahan
Biodata Penulis:
Bernama lengkap Andreas Agil
Munarwidya, pria ini biasa dipanggil Agil sedari kecil. Dilahirkan di Cilacap,
13 November 1990, Agil adalah seorang bungsu dari dua bersaudara. Sekarang
tinggal di asrama SMK Islam Terpadu Ihsanul Fikri Magelang sekaligus menjadi
pengajar di sana. Mempunyai akun facebook dengan nama Akh Andre
Al-Agiel. Adapun nomor handphone yang dapat dihubungi, yaitu:
08995042240.