Rabu, 26 April 2017

Ketika Musik Tersesat - Yosepin Megasari




Kicauan burung telah sirna
Mentari terang menyengat.
Kini, dingin menyelimuti
Rembulan menemani.
.
Hampa terasa menusuk dalam ruangan
Di ruangan ini, telah tersesat sebuah kesepian
Adakah yang ingin menemani diri ini?
Selain bintang dan rembulan.
.
Mungkin, kesepian telah melarikan diri;
Ketika musik itu tersesat di sini.
Kepada siapakah aku berterimakasih?   

Cikarang Utara, Bekasi, 30-12-16


Biodata:
Penulis yang bernama Yosepin Megasari kelahiran di Bekasi tepatnya di kecamatan Cikarang Utara. Baru saja memahami dunia literasi. Jadi, mohon maaf jika puisi atau karya-karya aku kurang menarik di mata kalian 😂. Jika ingin berkenalan denganku, add fb: Yosephin Megasari atau email: megapakpahan12@gmail.com

Selasa, 25 April 2017

Gundah Dalam Munajat - Misnoto


Tiada rasa menerkam jiwaku
:selain duka dan nestapa

Senandung asmara telah melukai sanubariku
Bergoncang dengan tatapan mata
Di depan, terlihat sepasang burung berjalan mesra
Seperti sedang menggodaku, sepanjang mata tetap menatap.
Karena wajahku tertunduk lesu, tak mampu kembali pada sedia kala.
Mestinya ia tak menggodaku, atau pun menghiburku.
Barangkali doa mampu menghiburku
Dalam setiap cerita baru untuk berlalu
Mungkin saja aku tak mungkin berlalu
Biarkan asmara tetap bertalu
Untuk sekedar membingkai hati dan cerita masa lalu

Sepanjang itu, aku menyaksikan
Wajah-wajah lesu, terkadang ceria.
Bertemu cahaya asmara dalam mimpi
Walau berpisah dalam janji yang mengundang luka
Barangkali sesuatu itu telah terlampaui
Hingga doa sesekali terhenti,
Pada sunyi. gundah itu telah membunuhku
Dalam silam yang berpihak pada dirinya
Aku pun tak mengerti.

Seutuhnya kupanjatkan doa
Dalam harapan yang telah berlalu
Ketika semua hajat telah menjadi gundah
Kan tenggelam dalam segala ayat-ayat doa
Untuk bermunajat. penuh ampun
Terjulur dalam setiap penyesalan raga
Tiba-tiba tenggelam dalam setiap
Membawakan cerita masa lalu itu.

Malang,2017

Baca Juga: Cucu Sholeh Untuk Ibu - Mahmudiah

Biodata Penulis:
Misnoto, Mahasiswa jurusan Matematika di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malanga, berasal dari pulau Giliraja Kabupaten Sumenep Madura. Penulis biasa menulis puisinya di blog pribadinya sajak-sajakmisnoto.blogspot.com.

Senin, 24 April 2017

Kau Seperti Bunga - Miftahul Jannah



Kau seperti bunga ...
Yang kadang mekar dan layu
Terkadang juga wangi tapi sering juga berbau busuk

Kau seperti bunga...
Yang kadang berdiri kokoh
Tapi terkadang berserakan ditiup angin

Kau seperti bunga..
Yang harus ku jaga
Ku rawat agar tak rusak
Tetap utuh mempesona

Tetap lah indah pada waktu nya
Agar aku tetap bisa menatap dan tepana
Dan aku akan menjaga agar kau tak rapuh dan terluka.
Tetap lah di sana walau kaun hanya lah setangkai bunga
Duri disekeliling mu akan menjaga mu dari jahil nya tangan anak manusia

Baca Juga: Sajak Kelaparan - Inot


Jumat, 21 April 2017

Terbakar (2) - Andreas Agil Munarwidya




Maura bergidik, tidak menyangka akan terlempar ke tatar[1] lain ketika baru beberapa detik melepaskan pegangan dari Julian. Basement yang tiba-tiba pengap dan senyap membuat jantungnya serasa merosot sampai ke kaki.

“Oke, Maura, tenangin diri lo,” Maura mengatur nafasnya yang mulai terasa berat. Ia tidak lagi bersama Julian.

Menyorotkan senter lurus ke depan, Maura melangkah seringan mungkin agar sepatunya tidak berbunyi. Di pikirannya sekarang, ia harus meninggalkan basement secepat mungkin dan pergi ke halaman.

“Jangan panik Maura, tenang,ia menyemangati dirinya sendiri.

Basement masih lengang. Sesekali ia melihat bayangan seperti orang yang hendak keluar dari balik tiang. Namun, saat senter menyinari tiang tersebut, bayangan itu berpindah ke tiang sebelahnya. Terus seperti itu.

“Abaikan, Maura! Itu cuma bayang-bayang,” batinnya.

Maura terus berjalan keluar menuju halaman apartemen. Jalur yang dilaluinya juga sudah gelap, menandakan di luar sudah malam.

“Kak Maura…”

Nafas Maura tersentak. Kepalanya berjengit. Maura bertemu lagi dengan petugas kebersihan itu.

“Saya Bram, Kak. Masih ingat kan?”

Maura mengangguk tanpa menoleh. Ia enggan menoleh karena masih ngeri menatap bekas-bekas luka bakar di sekujur tubuh Bram.

“Aku pinjam uang pada rentenir bernama Sukoco,” ujar Bram dari belakang Maura. “Bunga pinjamannya enggak kira-kira. Nagihnya juga pakai cara preman, sampai teman-teman kosku takut dan aku diusir ibu kos. Padahal uang itu bukan buat senang-senang, tapi biaya operasi ibuku.”

Maura berhasil maju. Dua langkah, tapi kakinya terasa berat sekali dan tak mau bergerak untuk langkah ketiga.

Orang-orang manajemen gedung ini enggak mau meminjamkan uang,” ia mendesis,peraturan katanya. Aku putus asa, jadi aku bertindak bodoh.”

Suasana hening sejenak.

“Ada enggak orang yang ingat aku?” lanjut Bram. “Enggak usahlah orang-orang manajemen yang brengsek itu. Minimal satpam yang sering ngobrol denganku. Petugas lain. Siapa sajalah!”

“Aku!” kata Maura spontan sambil perlahan menoleh ke arah Bram. “Ya, aku yang akan selalu ingat Mas... Bram, ya!

Suasana kembali hening. Bram tidak menyahut. Seraya menahan nafas, dengan langkah mundur, Maura mengambil langkah ketiga, keempat, kelima. Tiba-tiba…

“Betul? Kak Maura enggak akan lupa denganku?”, ucap Bram yang sudah berada di samping Maura.

“Ya! Ya.. He’eh..” jawab Maura cepat, yang sebenarnya lebih disebabkan karena keterkejutannya yang sangat.

Sedetik kemudian Bram menghilang. Basement sepi. Kini, Maura bisa melangkah dengan lebih lancar, sambil mendesah lega.
<><><> 

“Mana rentenir busuk yang bernama Sukoco!” bentak seseorang sambil membawa sebilah golok.
Preman-preman yang sedari tadi asyik bermain judi kaget bukan kepalang melihat remaja tanggung berteriak di hadapan mereka.

“Eh, siapa lo? Berani bener masuk daerah orang sambil bawa golok segala?” ucap Karman dengan mata melotot, seperti singa yang hendak menerkam mangsanya. “Cari mati lo!”

“Hahaha, sendirian lagi. Asli muke gile nih bocah,” tukas preman-preman yang lainnya.

“Tunggu!” Seseorang dari balik pintu perlahan mendekat. Gayanya perlente. Sepatunya mengilap, berkelas. Dengan setelan jas putih dipadu dengan kemeja serta celana kain hitam, orang itu berjalan ke arah sofa kemudian duduk bersila angkat. “Maaf, siapa gerangan Anda, anak muda? Mengapa tiba-tiba masuk dan memanggil nama saya keras-keras? Adakah yang bisa saya bantu?” sapanya ramah.

Wajah remaja tanggung itu memerah, kesal. Emosinya terbakar sudah. Golok di genggamannya terasa panas, siap untuk menebas.
<><selesai><>

*terinspirasi dari novel LOST karya Eve Shi
tentunya dengan beberapa perubahan




[1] Tingkat; tingkatan; dimensi







Biodata Penulis:


Bernama lengkap Andreas Agil Munarwidya, pria ini biasa dipanggil Agil sedari kecil. Dilahirkan di Cilacap, 13 November 1990, Agil adalah seorang bungsu dari dua bersaudara. Sekarang tinggal di asrama SMK Islam Terpadu Ihsanul Fikri Magelang sekaligus menjadi pengajar di sana. Mempunyai akun facebook dengan nama Akh Andre Al-Agiel. Adapun nomor handphone yang dapat dihubungi, yaitu: 08995042240. 





Cinta dan Darah - Fresty Herawati


Cintaku merah seperti darah. Jika kau memang mencintaiku, keluarkan darah segar itu dari tubuhmu. Aku akan sangat menyukainya. Bahkan, darahmu akan kuabadikan nanti.

"Apa kau sudah gila?"

Kamu memberiku pertanyaan konyol. Kau pernah bilang jika cinta butuh pengorbanan. Lantas, aku ingin mengujimu. Silet. Aku menemukannya di nakas ruangan ini. Kujulurkan silet itu padamu.

"Makanlah silet ini, jika kau mencintaiku!"

Tanpa ragu kau mengambil silet itu dari tanganku. Kau masukkan ke dalam mulutmu. Merobek halus mulut indahmu yang kini menjadi mengerikan. Lidahmu seperti sampah yang tercecer di dalam mulutmu. Aroma darahmu menjadi penyedap alami kunyahanmu. Kau hancurkan silet itu dari mulutmu. Hingga darah berhasil membanjiri dagumu. Kau telan mentah-mentah silet itu. Hingga tak tersisa sedikit pun.

Kulihat tubuhnya belum lunglai. Lalu, aku memasukkan lagi silet yang tersisa di nakas ke dalam mulut berdarah itu. Kau kunyah lagi, dan lagi, hingga mulutmu sudah hancur dan tidak berbentuk. Merasa kurang puas, aku segera mengambil jarum di laci. Kutancapkan berkali-kali di kedua matamu. Hingga matamu berhasil mengeluarkan air mata darah. Entah mengapa, aku belum puas. Tatapan ku tertuju pada gunting yang terletak di atas meja. Kugunting kedua telingamu hingga lubangnya penuh dengan cairan darah merah yang terus berderaian. Aku menyukainya. Sangat. Sesuai ucapanku tadi. Kuambil darah itu, dan ku goreskan ke dalam buku diary ku. Cinta dan darah. Akan abadi seiring hancurnya dunia ini. Ketika cinta di atas perjuangan tinta merah.


 Baca Juga: Waktu - Emka

Tentang Penulis :



Fresty Herawati, dilahirkan di Blitar, 12 September 2001. Ia masih duduk di bangku kelas X. Ia bersekolah di MAN 3 Blitar. Lebih dekat dengan dia bisa di hubungi lewat akun facebook; Fresty Herawati, instagram; frestyhr_

Salam Literasi!

Kamis, 20 April 2017

Terbakar - Andreas Agil Munarwidya



Maura memang terbiasa pulang malam. Kantor di mana ia bekerja selalu memberikan tugas lembur yang kadang kurang manusiawi. Tapi mau bagaimana lagi? Harga kebutuhan sehari-hari yang mulai merangkak naik, mengharuskan Maura menambah pundi-pundi pemasukannya lebih banyak lagi, terlebih di kota metropolitan seperti Jakarta ini.

“Mau ke lantai berapa, Kak?” sapa seseorang ramah. 

Maura terkesiap karena lift sudah kembali terbuka dengan petugas kebersihan yang sudah berdiri di dalamnya. “Eh.. la..lantai enam.” Maura tergagap. “Aduh, Mas ini, bikin kaget saja. Aku tadi enggak lihat Mas lho.”

Petugas kebersihan itu tersenyum. “Maaf, Kak.”

“Enggak apa-apa,” tukas Maura sambil kembali masuk ke dalam lift yang pintunya langsung menutup.

Lift mulai berjalan lambat.

“Saya baru saja turun dari tangga. Tadi liftnya macet, tapi ini sekarang sudah betul lagi,” ucap petugas kebersihan itu meredakan ketegangan.

Maura tampak heran. Saya baru saja turun dari tangga? Sebelum petugas kebersihan itu datang, Maura sama sekali tidak mendengar bunyi pintu tangga atau lift terbuka. Ia tidak merasakan kehadiran orang sampai melihat petugas kebersihan itu di dalam lift.

“Kenapa, Kak?” tanya petugas kebersihan itu tanpa memalingkan muka. Suaranya riang tetapi terdengar sedikit parau.

Dari tempat Maura berdiri tampak sebagian bayangan wajah petugas kebersihan itu di cermin. Bayangan itu agak buram karena terdistorsi, tapi tetap masih tampak di mata Maura. Terlihat beberapa bercak hitam padahal tadi tidak ada. Maura yakin itu. Tiba-tiba lift berguncang keras seperti hendak macet lagi. Maura nyaris terjerembab dan petugas kebersihan itu sedikit oleng.

“Ah, memang kapan-kapan perlu perbaikan total, bukan setengah-setengah,” keluh petugas kebersihan itu. “Iya, enggak, Kak?” lanjutnya dengan suara yang semakin parau.

Maura diam. Ia semakin sukar bernapas. Pasalnya, sewaktu petugas kebersihan itu oleng, Maura sempat melihat wajahnya. Bukan lewat cermin, tetapi langsung melihat wajahnya. Wajah itu, dari pelipis sampai dagu tertutup bercak gelap yang sebagian kehitaman: gosong bekas terbakar.

<><><> 

Sumirat terperanjat mendapati kabar bahwa anak sulungnya yang bekerja di Jakarta meninggal dunia dua hari yang lalu karena bunuh diri dengan cara membakar dirinya sendiri. Selama ini, Sumirat mengenal Bram sebagai anak yang berbakti, religius, dan tidak mudah putus asa. Memang terjadi perubahan yang cukup signifikan ketika Bram pulang sebentar ke kampung halaman dari kerjanya di Jakarta. Namun, Sumirat tidak khawatir karena yakin bahwa Bram pasti akan bisa melaluinya. Sayangnya salah. Bram malah meninggal dengan cara yang jauh dari kata mulia.

Pernah suatu hari Bram kedapatan merenung lama sekali. Raut wajahnya ruwet, seperti banyak sekali yang dipikirkan. Sumirat sebagai satu-satunya orang tua Bram cepat tanggap menanyakan kondisi yang sesungguhnya. Tapi nihil. Bram malah bungkam. Seperti enggan menceritakan bebannya.

Bram berlaku seperti itu sebenarnya bermaksud agar Sumirat, ibunya itu, tidak terlalu memikirkan nasibnya. Bram tidak tega manakala ibunya yang sudah renta itu harus berkutat pada kemiskinan dan kondisi tubuh yang sering sakit-sakitan. Menceritakan permasalahannya pada ibunya tentu malah akan menambah beban pikirannya. Jadi, wajar bila Bram memutuskan untuk diam di hadapan ibu yang sangat disayanginya itu –dan ini yang akhirnya menjadi bumerang bagi Bram sendiri.

“Tidak punya uang, heh? Alasan macam apa itu!” bentak Tompul dengan logat Bataknya yang khas.

“Sekarang saya memang belum punya uang, Bang ....

Alah! Stop tipu-tipu e! Belum tahu kitorang marah ya?” Obet ikut-ikutan.

Sejurus kemudian, bogem dan sepakan keras bertubi-tubi mendarat ke perut dan wajah Bram yang sudah terlihat kuyu. Teman-teman kos Bram yang ada di situ pun tidak bisa apa-apa melihat Bram dihajar begitu sampai muntah darah.

“Kukasih kau waktu tiga hari. Kalau tidak, keek! Lo bakal mampus. Hahaha.”

Tompul bergegas pergi diikuti Obet yang gemas kemudian menendang Bram sekali lagi.


<><><> 

(Bersambung)


Biodata Penulis:



Bernama lengkap Andreas Agil Munarwidya, pria ini biasa dipanggil Agil sedari kecil. Dilahirkan di Cilacap, 13 November 1990, Agil adalah seorang bungsu dari dua bersaudara. Sekarang tinggal di asrama SMK Islam Terpadu Ihsanul Fikri Magelang sekaligus menjadi pengajar di sana. Mempunyai akun facebook dengan nama Akh Andre Al-Agiel. Adapun nomor handphone yang dapat dihubungi, yaitu: 08995042240. 


Rabu, 19 April 2017

Pelukanmu - Ainia Praba & Wnt_Tyas




Pelukanmu

Adalah cakrawala
Antara rindu selangit
Dan lara nan samudra

Pelukanmu

Menepis gigil jelma
Liuk api menyala
Menyebar hangat dada

Pelukanmu

Pereda segala lelah
Resah pun terjamah
Lerai gundah kian merajah

Pada sebidang dadamu
Ku bertandang tanpa berlalu
Memeluk hangat rindu
Memadu kasih melebur sendu

Depok-GunungKidul, 010417

Baca Juga: Namida - Andreas Agil Munarwidya

Tentang Penulis:



Widjayanti Ning Tyas, lahir di Gunungkidul, 8 Januari 1994. Tinggal di Gunungkidul, Jogja.Saya harap ini adalah langkah awal dalam menyalurkan bakat terpendam saya. Terimakasih.
Facebook Rhierhie Tarhie
Email: wnt_tyas@yahoo.com




Ainia Praba (nama pena), lahir di kota Jepara Bumi Kartini, 18 November. Penyuka cappuccino dan cokelat. Hobi nomor satu menonton film. Karyanya dimuat di majalah Story tahun 2011 dan di beberapa buku antologi.
Akun FB Ainia Praba
Email haibara_ai20@yahoo.co.id

Selasa, 18 April 2017

Terjebak Pesona Cinta - Fresty Herawati




Kala itu ...
Aku sedang merasakan betapa sejuknya tatapan indahmu
Membuat aku terjebak dalam penjara cintamu
Hatiku serasa remuk, seketika kau menatapku
Jantungku berpacu demi cinta
Duniaku terasa terhenti
Kau menatapku begitu indah
Membuatku terpesona
Sungguh, dalam diam aku sangat mengagumimu
Dan aku ... menikmati akan hal itu
Atas nama cinta
Aku pertaruhkan segala jiwa dan raga demi melindungimu

Dalam ikatan suci, ku menanti.

Baca Juga: Satu Tahun - Asyifa Stina

Biodata Penulis:


Fresty Herawati, dilahirkan di Blitar, Jawa Timur tepatnya pada tanggal 12 September 2001. Gadis yang kerap disapa dengan panggilan Hera ini adalah salah satu siswi di MA Negeri 3 Kota Blitar. Cita-citanya yang ingin menjadi seorang penulis mulai ia bangun sekarang. Kritik dan saran dapat disampaikan melalui akun Facebook Fresty Herawati, atau bisa juga melalui Instagram @frestyhr_ . Kalau ketemu saya jangan lupa sapaannya. Salam Literasi! Terima Kasih.


Senin, 17 April 2017

Sisa Hujan Kemarin Malam - Misnoto



Kusebut hujan yang telah membasahi
Pada sepanjang kegelapan malam
Ketika bayang-bayang telah meyisakan letih
Di setiap sinar-sinar lampu

Seketika cahaya itu membaur dalam kegelapan itu
Temaram kehidupan telah terlihat:
Di sepanjang jalam yang telah terbasahi hujan
Di atas malam,

Hujan itu menyisakan selembar kenangan
Dalam daun-daun yang telah gugur
Ketika cahaya sinar menyambar
Pada sebidang jalan kehidupan itu


Malang, 2017


Biodata Penulis:


Misnoto, Asal Sumenep Madura yang saat ini sedang merantau untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, setelah menyelesaikan pendidikan menengah pertamanya di MTs. Darul Ulum Giliraja dan pendidikan menengah atasnya di MA. Nurul Islam Karangcempaka. Untuk membaca karya penulis silahkan kunjungi http://misnotoberkarya.blogspot.co.id.