Senin, 13 Maret 2017

Sastra Pesantren dan Kaitannya dengan Dakwah Media - Andreas Agil Munarwidya




Pada tahun 2000-an, sastra pesantren di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Perkembangan ini ditandai dengan meningkatnya proses maupun hasil karya sastra yang berhubungan dengan pesantren. Tidak hanya itu, di sisi lain, mulai banyak karya sastra berupa cerpen, novel, puisi, dan naskah drama yang merefleksikan bahkan menggugat lingkungan dan pemikiran dunia pesantren yang selama ini dianggap eksklusif dan jauh dari kesan terbuka. Hingga puncaknya, pada tahun 2007, The Wahid Institute mengonfirmasi bahwa beberapa karya sastra pesantren dibeli oleh productin house untuk diangkat menjadi sinetron televisi.
Perkembangan karya sastra pesantren yang semarak tersebut ternyata banyak disebabkan oleh sikap pengasuh pondok pesantren terhadap sastra. Respon baik oleh kiai maupun para pengasuh pondok pesantren terhadap karya sastra diduga kuat mendongkrak kreativitas para penulis sastra pesantren, yang dalam hal ini adalah santri, sehingga berujung pada semangat kebebasan mereka menulis karya sastra, yang akhirnya membuat sastra pesantren semakin dikenal di kalangan luas sebagai semacam “genre” baru dalam karya sastra yang berhubungan dengan ruh atau tema dari karya sastra itu sendiri.
Lalu Apa Itu Sastra Pesantren?
Menurut Jamal D. Rahman, ada tiga pengertian dari sastra pesantren itu. Pertama, sastra pesantren adalah sastra yang hidup di pesantren. Kedua, sastra pesantren adalah sastra yang dalam proses penciptaan karya sastranya dilakukan oleh orang-orang pesantren, seperti kiai, ustaz/ustazah, santri, bahkan alumni dari pesantren tersebut. Dan ketiga, sastra pesantren adalah sastra yang bertema pesantren dengan segala macam hal yang ada di dalamnya.
Ketiga pengertian di atas sebenarnya saling berhubungan. Mengapa? Karena pada dasarnya, sastra pesantren lahir dari rahim pesantren. Dengan kata lain, bila tidak ada pesantren dengan segala aktivitas dan pernak-pernik yang ada di dalamnya, mana mungkin istilah sastra pesantren itu dapat tercipta. Maka berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, disimpulkan bahwa sastra pesantren yang dimaksud penulis di sini adalah tentu sastra yang menitikberatkan pada spirit pesantren sebagai landasannya, baik secara tema maupun kepenulisannya.
Spirit Kebaikan, ‘Amar Ma’ruf Nahi Munkar!
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pesantren diartikan sebagai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sejalan dengan pengertian di atas, Soegarda Poerbakatwatja yang dikutip oleh Haidar Putra Daulay mengatakan bahwa pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunyai arti yaitu tempat orang-orang berkumpul untuk belajar dan mengajarkan agama Islam.
Berdasarkan dua pengertian pesantren di atas, bila ditarik benang merah antara pengertian pesantren dengan sastra pesantren yang berisi ruh pesantren sebagai landasannya, dapat dikatakan bahwa sastra pesantren berarti sastra yang memiliki ruh yang berkaitan dengan tempat di mana orang belajar agama Islam. Ini berarti, sastra pesantren tentu tidak akan jauh dari nilai-nilai kebaikan, moral, spiritual yang ada di dalam agama Islam.
Perkembangan Sastra Pesantren
Dalam perkembangannya, sastra pesantren mengalami fluktuasi eksistensi karena pengejawantahan sastra pesantren dalam bentuk karya nyata masih jauh dari kata terpenuhi. Hal ini dikarenakan belum adanya satu sistem yang menjadikan sastra pesantren itu dapat dinikmati menjadi sebuah komoditas sekaligus artefak sosial keagamaan yang diminati oleh khalayak ramai. Memang benar, sudah cukup banyak karya sastra yang mengambil tema pesantren, bercerita seputar pesantren, atau penulis merupakan alumni pesantren, seperti Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi, Ayat-Ayat Cinta 1 dan 2 karya Habiburahman El-Shirazy, dan yang sudah difilmkan, novel karya Asma Nadia berjudul Pesantren Impian. Akan tetapi, karya-karya sastra yang disebutkan tadi belum cukup mendukung eksistensi sastra pesantren diranah yang lebih luas lagi. Padahal, sastra pesantren sangat potensial dijadikan sebagai salah satu corong dakwah media bil qolam atau dengan tulisan. Oleh karena itu, menjadi sebuah keharusan bagi sastra pesantren memiliki apa yang disebut sebagai pengayom sastra pesantren. Mengapa? Dengan hadirnya pengayom atau maecenas, sastra pesantren sebagai bagian dari dakwah lewat media (i’lamy) dapat tumbuh dan berkembang sejajar dengan genre sastra lainnya.
Urgensi Pengayom
Pengayom atau kepengayoman adalah suatu lembaga atau perorangan yang berada di lingkungan sistem makro sastra yang memiliki fungsi khusus, yaitu mendukung, membantu, atau menyokong kehadiran karya seni, termasuk dalam kehidupan sastra, memberi kemudahan dalam proses kehadirannya (Machsum, 2013).
Kepengayoman sastra pesantren setidaknya terbagi menjadi dua macam, yaitu yang datang dari dalam pesantren dan yang ada di luar pesantren. Pengayom yang datang dari dalam pesantren tentu ia-ia yang bertanggung jawab terhadap sirkulasi karya sastra yang ada di dalam pesantren itu sendiri. Kepengayoman terhadap sastra pesantren yang datang dari dalam pesantren dapat dilakukan oleh majalah-majalah atau jurnal terbitan pesantren yang tentunya bersifat kultural dengan tujuan menumbuhkan dan mengembangkan kreativitas masyarakat pesantren terutama santri terhadap sastra itu sendiri. Kepengayoman ini dapat dibantu oleh lembaga penerbitan lain (biasanya Forum Lingkar Pena atau FLP) agar kreativitas penulis semakin berkembang. Adapun bentuk kepengayoman yang ada di luar pesantren adalah pemberian penghargaan, pendiskusian dan pembinaan, serta penerbitan buku, baik berupa antologi puisi, cerpen, novel maupun berupa drama oleh lembaga pemerintah maupun nonpemerintah yang dapat berupa lomba atau sayembara kepenulisan.
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya pengayom atau kepengayoman, sastra pesantren akan mudah berkembang sebagai salah satu genre sastra yang berbeda karena sastra pesantren membawa ruh perbaikan yang bersumber dari ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamiin. Hal ini menjadi sangat penting untuk dijaga betul mengingat sastra pesantren memang cenderung dibatasi lahirnya oleh oknum-oknum yang tidak menyukai ajaran Islam berkembang pesat di masyarakat. Tidak dapat dimungkiri bahwa sastra pesantren sebenarnya bentuk lain dari dakwah para dai dan ulama. Karena di dalam karyanya terdapat nilai-nilai yang bersumber dari agama Islam, tentu musuh-musuh Islam akan terus menghalang-halanginya. Dengan adanya pengayom, sastra pesantren tidak perlu lagi khawatir kehilangan pasar atau bahkan pengaruhnya di masyarakat luas.
Penutupnya ...
Adanya sastra pesantren benar-benar mempunyai tujuan yang jelas, yaitu sastra pesantren –yang tentunya direpresentasikan dalam karya-karya yang ada–merupakan salah satu solusi atas permasalahan moral bangsa yang kian rumit ini. Hal ini bukanlah omong kosong semata. Pasalnya, nasihat yang disampaikan lewat karya sastra diyakini lebih mudah meresap dan membekas dalam ingatan masyarakat pada umumnya, terkhusus remaja-remaja masa kini yang mulai mengarah pada tren hedonis dan sekuler. Kata-kata yang indah dalam karya sastra mampu membius khalayak ramai untuk terus dan terus hanyut dalam alur ceritanya. Bayangkan saja bila cerita yang dihadirkan dalam karya sastra tersebut syarat akan makna tauhidullah, maka perubahan menuju perbaikan tentu merupakan sebuah keniscayaan. Mengapa? Karena dakwah yang dibalut dengan sastra itu akan mudah masuk dan membentuk kepribadian serta alam bawah sadar pembaca, yang pada akhirnya berujung pada perubahan mental bangsa yang semakin baik dari hari ke hari. Dan, inilah sebenarnya tujuan awal terciptanya sastra pesantren. Jadi, bila kemungkaran tidak bisa dicegah lewat mimbar-mimbar masjid, ada sastra pesantren yang akan mengatasinya. Kalau begitu, “Ayo, sama-sama bangkitkan!” Wallahu a’lam bish showab.



[i] Thoha Macsum, Kepengayoman terhadap Sastra Pesantren di Jawa Timur, 31 Mei, halaman 91.



Biodata:


Bernama lengkap Andreas Agil Munarwidya, pria ini biasa dipanggil Agil sedari kecil. Dilahirkan di Cilacap, 13 November 1990. Sekarang tinggal di asrama SMK Islam Terpadu Ihsanul Fikri Magelang sekaligus menjadi pengajar di sana. Mempunyai akun facebook dengan nama Akh Andre Al-Agiel. Adapun nomor handphone yang dapat dihubungi, yaitu: 08995042240.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.