Pada tahun 2000-an, sastra
pesantren di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Perkembangan
ini ditandai dengan meningkatnya proses maupun hasil karya sastra yang
berhubungan dengan pesantren. Tidak hanya itu, di sisi lain, mulai banyak karya
sastra berupa cerpen, novel, puisi, dan naskah drama yang merefleksikan bahkan menggugat
lingkungan dan pemikiran dunia pesantren yang selama ini dianggap eksklusif dan
jauh dari kesan terbuka. Hingga puncaknya, pada tahun 2007, The Wahid Institute mengonfirmasi bahwa beberapa
karya sastra pesantren dibeli oleh productin house untuk diangkat
menjadi sinetron televisi.
Perkembangan karya sastra pesantren
yang semarak tersebut ternyata banyak disebabkan oleh sikap pengasuh pondok
pesantren terhadap sastra. Respon baik oleh kiai maupun para pengasuh pondok
pesantren terhadap karya sastra diduga kuat mendongkrak kreativitas para
penulis sastra pesantren, yang dalam hal ini adalah santri, sehingga berujung
pada semangat kebebasan mereka menulis karya sastra, yang akhirnya membuat
sastra pesantren semakin dikenal di kalangan luas sebagai semacam “genre” baru
dalam karya sastra yang berhubungan dengan ruh atau tema dari karya sastra itu
sendiri.
Lalu Apa Itu Sastra Pesantren?
Menurut Jamal D. Rahman, ada tiga
pengertian dari sastra pesantren itu. Pertama, sastra pesantren adalah sastra
yang hidup di pesantren. Kedua, sastra pesantren adalah sastra yang dalam
proses penciptaan karya sastranya dilakukan oleh orang-orang pesantren, seperti
kiai, ustaz/ustazah, santri, bahkan alumni dari pesantren tersebut. Dan ketiga,
sastra pesantren adalah sastra yang bertema pesantren dengan segala macam hal yang
ada di dalamnya.
Ketiga pengertian di atas sebenarnya
saling berhubungan. Mengapa? Karena pada dasarnya, sastra pesantren lahir dari
rahim pesantren. Dengan kata lain, bila tidak ada pesantren dengan segala aktivitas
dan pernak-pernik yang ada di dalamnya, mana mungkin istilah sastra pesantren
itu dapat tercipta. Maka berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, disimpulkan
bahwa sastra pesantren yang dimaksud penulis di sini adalah tentu sastra yang
menitikberatkan pada spirit pesantren sebagai landasannya, baik secara tema
maupun kepenulisannya.
Spirit Kebaikan, ‘Amar
Ma’ruf Nahi Munkar!
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), pesantren diartikan sebagai asrama tempat santri atau tempat
murid-murid belajar mengaji. Sejalan dengan pengertian di atas, Soegarda
Poerbakatwatja yang dikutip oleh Haidar Putra Daulay mengatakan bahwa pesantren
berasal dari kata santri yaitu seseorang yang belajar agama Islam, sehingga
dengan demikian pesantren mempunyai arti yaitu tempat orang-orang berkumpul
untuk belajar dan mengajarkan agama Islam.
Berdasarkan dua pengertian
pesantren di atas, bila ditarik benang merah antara pengertian pesantren dengan
sastra pesantren yang berisi ruh pesantren sebagai landasannya, dapat dikatakan
bahwa sastra pesantren berarti sastra yang memiliki ruh yang berkaitan dengan
tempat di mana orang belajar agama Islam. Ini berarti, sastra pesantren tentu tidak
akan jauh dari nilai-nilai kebaikan, moral, spiritual yang ada di dalam agama
Islam.
Perkembangan Sastra Pesantren
Dalam perkembangannya, sastra
pesantren mengalami fluktuasi eksistensi karena pengejawantahan sastra
pesantren dalam bentuk karya nyata masih jauh dari kata terpenuhi. Hal ini
dikarenakan belum adanya satu sistem yang menjadikan sastra pesantren itu dapat
dinikmati menjadi sebuah komoditas sekaligus artefak sosial keagamaan yang
diminati oleh khalayak ramai. Memang benar, sudah cukup banyak karya sastra yang
mengambil tema pesantren, bercerita seputar pesantren, atau penulis merupakan
alumni pesantren, seperti Negeri Lima
Menara karya Ahmad Fuadi, Ayat-Ayat Cinta
1 dan 2 karya Habiburahman El-Shirazy, dan yang sudah difilmkan, novel karya
Asma Nadia berjudul Pesantren Impian.
Akan tetapi, karya-karya sastra yang disebutkan tadi belum cukup mendukung
eksistensi sastra pesantren diranah yang lebih luas lagi. Padahal, sastra
pesantren sangat potensial dijadikan sebagai salah satu corong dakwah media bil qolam atau dengan tulisan. Oleh
karena itu, menjadi sebuah keharusan bagi sastra pesantren memiliki apa yang
disebut sebagai pengayom sastra pesantren. Mengapa? Dengan hadirnya pengayom
atau maecenas, sastra pesantren
sebagai bagian dari dakwah lewat media (i’lamy)
dapat tumbuh dan berkembang sejajar dengan genre sastra lainnya.
Urgensi Pengayom
Pengayom atau kepengayoman adalah
suatu lembaga atau perorangan yang berada di lingkungan sistem makro sastra
yang memiliki fungsi khusus, yaitu mendukung, membantu, atau menyokong
kehadiran karya seni, termasuk dalam kehidupan sastra, memberi kemudahan dalam
proses kehadirannya (Machsum, 2013).
Kepengayoman sastra pesantren
setidaknya terbagi menjadi dua macam, yaitu yang datang dari dalam pesantren
dan yang ada di luar pesantren. Pengayom yang datang dari dalam pesantren tentu
ia-ia yang bertanggung jawab terhadap sirkulasi karya sastra yang ada di dalam
pesantren itu sendiri. Kepengayoman terhadap sastra pesantren yang datang dari
dalam pesantren dapat dilakukan oleh majalah-majalah atau jurnal terbitan
pesantren yang tentunya bersifat kultural dengan tujuan menumbuhkan dan
mengembangkan kreativitas masyarakat pesantren terutama santri terhadap sastra
itu sendiri. Kepengayoman ini dapat dibantu oleh lembaga penerbitan lain
(biasanya Forum Lingkar Pena atau FLP) agar kreativitas penulis semakin
berkembang. Adapun bentuk kepengayoman yang ada di luar pesantren adalah pemberian
penghargaan, pendiskusian dan pembinaan, serta penerbitan buku, baik berupa
antologi puisi, cerpen, novel maupun berupa drama oleh lembaga pemerintah maupun
nonpemerintah yang dapat berupa lomba atau sayembara kepenulisan.
Berdasarkan penjelasan singkat di
atas, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya pengayom atau kepengayoman, sastra
pesantren akan mudah berkembang sebagai salah satu genre sastra yang berbeda
karena sastra pesantren membawa ruh perbaikan yang bersumber dari ajaran Islam
yang rahmatan lil ‘alamiin. Hal ini
menjadi sangat penting untuk dijaga betul mengingat sastra pesantren memang
cenderung dibatasi lahirnya oleh oknum-oknum yang tidak menyukai ajaran Islam
berkembang pesat di masyarakat. Tidak dapat dimungkiri bahwa sastra pesantren
sebenarnya bentuk lain dari dakwah para dai dan ulama. Karena di dalam karyanya
terdapat nilai-nilai yang bersumber dari agama Islam, tentu musuh-musuh Islam
akan terus menghalang-halanginya. Dengan adanya pengayom, sastra pesantren
tidak perlu lagi khawatir kehilangan pasar atau bahkan pengaruhnya di
masyarakat luas.
Penutupnya ...
Adanya sastra pesantren benar-benar
mempunyai tujuan yang jelas, yaitu sastra pesantren –yang tentunya
direpresentasikan dalam karya-karya yang ada–merupakan salah satu solusi atas permasalahan
moral bangsa yang kian rumit ini. Hal ini bukanlah omong kosong semata.
Pasalnya, nasihat yang disampaikan lewat karya sastra diyakini lebih mudah
meresap dan membekas dalam ingatan masyarakat pada umumnya, terkhusus
remaja-remaja masa kini yang mulai mengarah pada tren hedonis dan sekuler. Kata-kata
yang indah dalam karya sastra mampu membius khalayak ramai untuk terus dan
terus hanyut dalam alur ceritanya. Bayangkan saja bila cerita yang dihadirkan
dalam karya sastra tersebut syarat akan makna tauhidullah, maka perubahan menuju perbaikan tentu merupakan sebuah
keniscayaan. Mengapa? Karena dakwah yang dibalut dengan sastra itu akan mudah
masuk dan membentuk kepribadian serta alam bawah sadar pembaca, yang pada
akhirnya berujung pada perubahan mental bangsa yang semakin baik dari hari ke
hari. Dan, inilah sebenarnya tujuan awal terciptanya sastra pesantren. Jadi,
bila kemungkaran tidak bisa dicegah lewat mimbar-mimbar masjid, ada sastra
pesantren yang akan mengatasinya. Kalau begitu, “Ayo, sama-sama bangkitkan!” Wallahu a’lam bish showab.
Biodata:
Bernama lengkap Andreas Agil
Munarwidya, pria ini biasa dipanggil Agil sedari kecil. Dilahirkan di Cilacap,
13 November 1990. Sekarang tinggal di asrama SMK Islam Terpadu Ihsanul Fikri
Magelang sekaligus menjadi pengajar di sana. Mempunyai akun facebook
dengan nama Akh Andre Al-Agiel. Adapun nomor handphone yang dapat
dihubungi, yaitu: 08995042240.
0 Response to "Sastra Pesantren dan Kaitannya dengan Dakwah Media - Andreas Agil Munarwidya"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.