Didedikasikan untuk saudari saya-Fonny Lestari dan suaminya- Abang Yudi Kadariansyah.
-True Story-
Kadang aku melihat mereka bagaikan sepasang kelinci kecil yang memiliki daya tarik sendiri. Aku seolah induk dari kelinci-kelinci itu. Ketika mereka merasa lapar, aku menyuapinya satu persatu. Tiba saatnya mereka kenyang, halaman rumah yang menghijau oleh rerumputan halus, menjadi tempat ternyaman bagi tapak-tapak lembut milik mereka. Mereka bermain, bercanda dan aku terhibur. Riang yang mereka rasakan, kian menghanyutkan bagai gelombang yang mengantarkan permainan mereka pada suatu senja. Meski bergurau bagi sepasang kelinci ini, tidak akan pernah mencapai pada puncak kepuasan, tapi mereka harus segera kutarik ke kandang.
Bukanlah aku Ibu yang tak tau diri. Mengibaratkan dua wajah polos bagaikan sepasang binatang yang kurang akal lagi budi. Hanya saja aku senang menganggap mereka seolah binatang lucu dan menggemaskan seperti seekor kelinci. Yah, mungkin akan ada yang tak sejalur dengan jalan pikiranku ini. Namun biarlah aku terus menjelajahinya, sebab hanya batinku yang tau maksud sebenarnya.
Hari ini. Kelinciku yang paling tua terlihat tak bersemangat. Bagaikan sepotong rantai yang menjerat kedua kakinya, langkahnya terlihat begitu gontai. Kulihat lagi redup rembulan di kedua matanya. Tatapnya begitu sayu, bahkan hampir kosong. Hatiku semakin tak menentu. Kuraih tangannya dan kurasakan bagai membeku. Dingin.
"Naufal, Kau kenapa, Nak?" tanyaku dan dia membisu.
Aku memeluknya. Kuarahkan jemariku pada keningnya. Berbeda dengan kebekuan di tangannya tadi. Di bagian ini aku menemukan hawa yang membara.
"Kau demam. Suhu badanmu tinggi," bisikku padanya, seolah ia peduli. Tapi ia masih terdiam selanjutnya terlelap.
Aku mencari-cari suamiku hingga ke seluruh penjuru rumah. Kudapati ia sedang menggendong kelinciku yang kedua. Dengan wajah polos tak berdosa dan dua kelopak mata yang mengatup, ia tertidur pulas di dekapan ayahnya.
"Bang ..., suhu badan Naufal sangat tinggi. Dia demam. Kita bawa ke Rumah Sakit saja, ya? Aku takut jikalau ...,"
"Jangan berbicara yang bukan-bukan. Itu pamali. Sekarang bersiaplah! Aku memanaskan mobil dulu." Suamiku memotong ucapanku dengan nada arogan. Selanjutnya ia pergi dari hadapanku setelah memindahkan 'Nazwa', kelinci kedua kami ke dalam gendonganku.
Sejam telah berlalu dan kini aku dan suamiku sudah berada di depan seorang dokter spesialis anak. Bagai mengirimkan sebuah telepati, aku sudah bisa menebak raut wajahnya saat kami berhadapan kini.
Benar sudah. Sanggahan suamiku dirumah tadi tak berarti apa-apa dibandingkan ketakutan dan rasa was-wasku. Apa yang kutakutkan kini terjadi sudah. Naufal menderita DBD.
Rasa bagai dihantam sebuah bongkahan kayu berdamar. Dadaku kini sesak dengan napas yang tak beraturan. Pikiranku menghantarkan pada kejadian seminggu yang lalu. Kejadian yang menimpa tetangga sebelah rumah kami. Anaknya pulang ke hadapan Ilahi, sebab dari penyakit ini.
Aku meneteskan air mata. Suamiku tak juga tenang. Ia sama sepertiku. Kita berada pada dua kemungkinan, sembuh dan tidak. Tapi sungguh, dalam kondisi buruk, hal yang paling ditakutkanlah sangat dominan memenuhi ruang otak. Apa yang bisa memperkuat jiwa selain doa dan usaha? Setelah itu tidak ada. Tapi harapan baik, tentu selalu dikedepankan. Semoga Bang Naufal segera sembuh.
Melalui siang dan malam untuk ke sekian kali. Kondisi Bang Naufal, si kelinci kecilku tak kunjung membaik. Badannya kian kurus, tulang rusuk menyembul dari sisi perutnya. Sungguh membuat hati bagai teriris.
Hari ini adalah hari ke tujuh. Kondisinya memgalami sedikit perubahan dari sejak pagi tadi. Ia terlihat tertarik pada buah-buahan ranum yang ayahnya beli dari pasar. Kulihat ia semangat mengunyahnya, kemudian menelannya. Ia tampak seperti kelinci kelaparan.
Hari merangkak hingga senja. Di sampingnya aku masih duduk, melihat kedua matanya yang mengatup.
Tiba-tiba kudengar rintihan lirih memanggil namaku.
"Ma ... Ma ... Ma ...."
Aku melihat ke arahnya. Sebab dari ia suara itu berasal. Selanjutnya aku menyadari, saat melihat keringat yang mengalir di pelipisnya. Kurasakan dingin di kedua kaki dan tanganya. Aku memanggil suamiku, bahkan meneriakinya.
Suamiku berada di sisiku kini. Kami mengira ia hanya mengeluh kesakitan. Kian lama, napasnya kian berhembus tak seirama. Lirih desahannya juga terdengar. Hingga sampai pada waktunya aku dan suamiku tak mendapati udara yang berhembus dari kedua rongga hidungnya. Dadanya juga terlihat kaku. Kini aku benar-benar takut.
Apa daya dalam upaya. Jika Allah sudah menorehkan tintanya, lalu adakah mahluk yang bisa menghapusnya? Tidak, tentu tidak akan ada yang bisa.
Masuknya dokter setelah dipanggil. Hanya memberikan kabar duka yang mendalam bagi kami. Bang Naufal sudah menyerah dengan sakit yang ia hadapi. Di usianya yang baru tiga tahun ini, Allah telah menjemput amanahnya untuk kami dan menempatkannya di tempat baru, yaitu Surga.
Jangan lagi ditanyakan, bagaimana rasanya seorang induk kehilangan anaknya. Semua itu tak akan bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mau tidak mau, insan yang ditinggal diberikan waktu untuk meratap. Hingga waktu mengikis kesedihan itu, menjadi sebuah kenangan.
Sekadau, januari 2017
Biodata Penulis:
Memiliki nama asli Tri Rukmini dan nama pena Trie R.M. Lahir di Batu Ampar, Kalimantan Barat pada 3 November 1989.
Riwayat pendidikan:
SD Negeri 11 Batu Ampar
SMP Negeri 1 Belitang Hilir
SMA Negeri 1 Sekadau
STKIP PGRI Pontianak.
Riwayat pendidikan:
SD Negeri 11 Batu Ampar
SMP Negeri 1 Belitang Hilir
SMA Negeri 1 Sekadau
STKIP PGRI Pontianak.
Salam sastra!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.