Kamis, 02 Maret 2017

Cinta yang Klise dan Tipuan ala Asma Nadia dalam Novel Assalamualaikum, Beijing!




Asma Nadia adalah salah satu tokoh wanita Indonesia yang berkiprah di bidang kepenulisan. Berbagai macam penghargaan telah diterimanya. Dimulai dari Harian Republika yang memberikan anugerah kepadanya sebagai Tokoh Perubahan 2010, lalu IKAPI yang menyematkan penghargaan kepadanya sebagai Tokoh Perbukuan Islam di tahun 2011, sampai pada tahun 2012, perempuan kelahiran tahun 1972 ini juga termasuk dalam daftar The 500 Most Influential Muslim di dunia. Beberapa karyanya pun telah difilmkan, di antaranya Emak Ingin Naik Haji, Rumah Tanpa Jendela, dan 17 Catatan Hati Ummi  –yang ketika difilmkan berganti judulUmmi Aminah. Namun, siapa sangka, ibu yang dikaruniadua orang anak ini juga pandai menipu dalam novelnya yang berjudul Asslamualaikum, Beijing!.
Sebenarnya, Assalamualaikum, Beijing! Bukanlah sebuah novel yang berkisah tentang penipuan ataupun tipu menipu dalam kehidupan. Novel ini lebih bercerita tentang kisah cinta antara dua sejoli yang cenderung klise di kalangan anak muda zaman sekarang.

Dewa menuntun Ra berdiri, persis di tempat empat tahun lalu gadis itu mengangguk hingga kuncir satunya bergoyang. Wajah Ra yang biasanya tenang, saat itu sedikit tersipu. Semburat samar di pipi yang kemudian menjelma tawa, melihat betapa kocak kelakuan Dewa yang langsung melonjak dan berputar-putar kegirangan seperti anak kecil, setelah mendengar jawaban Ra.
Pemandangan indah, kenangan yang tak mungkin dilupakan Dewa, detik Ra menerima cintanya.
(Asma Nadia, 2013: 1)

Diawali dengan alur yang mudah ditebak, novel ini menjadi bacaan yang ringan untuk dipahami isinya.
Novel ini berisi dua cerita yang berbeda –“awalnya”. Cerita pertama berkisah tentang hubungan antara Dewa dengan Ra yang sudah berpacaran lebih kurang empat tahun lamanya. Dewa dan Ra memutuskan untuk segera melangsungkan pernikahan. Undangan pernikahannya pun sudah dicetak dan siap disebar. Akan tetapi, perkara terjadi. Kisah cinta antara Dewa dengan Ra harus berakhir pilu karena Dewa membuat kesalahan fatal dengan meniduri wanita lain bernama Anita hingga wanita itu berbadan dua (hamil). Akhirnya, sebagai pria dewasa yang bertanggung jawab, Dewa mau tidak mau harus menikahi Anita dan meninggalkan kenangan indah bersama Ra, kekasih tercintanya. Namun, sekali lagi, sebagaimana kisah cinta dalam sinetron-sinetron Indonesia yang klise, kehidupan pernikahan antara Dewa dengan Anita tidak pernah bahagia bahkan bisa dibilang hanya formalitas saja sampai jabang bayi yang dikandung Anita lahir ke dunia. Begitulah batas cerita pertama di novel tersebut.
Beralih ke kisah berikutnya, cerita kedua pada novel ini berkisah tentang Asma, seorang wanita yang lincah yang mendapat tugas dari kantornya untuk pergi ke Beijing meliput beberapa hal yang berkaitan dengan kota tersebut. Kembali seperti kisah cinta klise pada sinetron Indonesia, pembaca akan dihadapkan pada suatu adagium lama yang berbunyi: love at the first sight–cinta pada pandangan pertama. Ya! Asma bertemu dengan seorang lelaki Cina bernama Zhongwen. Mereka mulai berkenalan dan mengobrol singkat. Lalu, lama-lama saling memendam rasa rindu. Dan, akhirnya saling jatuh cinta kemudian menikah walau sempat terpisah dan memutuskan hubungan selama beberapa bulan karena jarak dan agama yang berbeda.
Memang, awalnya saya mengira bahwa ada dua cerita yang berdiri sendiri dan berakhir dengan satu tema yang sama tentang sebuah hidayah untuk tokoh utamanya. Pendapat saya terus berlanjut, hingga tiba-tiba kecurigaan saya muncul ketika mulai membaca beberapa narasi yang menyiratkan bahwa kedua cerita itu sebenarnya adalah satu atau paling tidak saling berhubungan bukan hanya secara tema tetapi alur dan juga tokohnya. Tanda-tanda yang pertama ada pada narasi di bawah ini.



“Sudah beberapa waktu Asma tak lagi menghiraukan rangkaian kalimat manis laki-laki kepadanya...” (Asma Nadia, 2013: 85)

“... Jika boleh menyimpulkan, dua kali patah hati yang dia alami rata-rata karena salah menelusuri kedalaman hati seseorang. Keliru menilai kadar perasaan kekasih yang dicintai.Perceraian Papa dan Mama memang tidak menjadikannya anak broken home, tetapi cukup mendorongnya diam-diam membangun benteng khusus.” (Asma Nadia, 2013: 86)


Sedangkan, tanda-tanda kedua ada pada alur yang dibangun pada halaman 133 sampai 143. Sampai pada titik ini, saya berhenti membaca dan mengira-ngira serta mulai berpikiran bahwa Asma Nadia sudah menjalankanmakarnya.
Saya mengira bahwa hubungan antara kisah Dewa, Ra, dan Anita dengan Asma adalah seperti ini: Setelah Dewa dan Anita melahirkan anak pertamanya, Dewa menceraikan Anita. Akhirnya, Anita sendirilah yang mengasuh anaknya. Dan, anak dari Dewa dengan Anita adalah Asma itu sendiri. Ini sejalan dengan narasi pada novel yang saya kutipkan di atas tadi. Oleh karena itu, yang dimaksud “dua kali patah hati” pada halaman 86 menuju pada kisah cinta Dewa (Papa dari  Asma) dengan Anita (Mama dari Asma) serta Asma dengan Zhongwen di awal-awal cerita. Namun, perkiraan dan pendapat saya ini patah setelah menemukan dialog ini di novel tersebut.

“Jadi, mau dikasih nama siapa, Mas, bayi kita?” Pertanyaan pertama Anita setelah sadar.
“Menurutmu?”
“Dia laki-laki, kita beri nama Dewa, ya... nggak apa kalau Ibu marah. Nanti nama pasaran dari Ibu digandeng sebagai nama belakangnya.”
(Asma Nadia, 2013: 220)

Benarlah! Penipuan ala Asma Nadia berlangsung sangat apik dan unik. Setelah dimulainya halaman 9, Asma Nadia yang berguru pada Helvy Tiana Rosa sebenarnya sudah mulai menipu kita (red: saya –dan mungkin para pembaca kebanyakan) dengan seolah-olah mengalihkan cerita dengan alur dan penokohan yang berbeda padahal alur dan tokoh Ra dan Asma dalam novel tersebut sebenarnya sama dan sejalan.

“Itu karena Dewa dan Asmara memang ditakdirkan bersama.”
Orang-orang memanggilnya Asma.
Hanya pemuda itu yang hingga saat ini bersikeras memanggil dengan dua huruf di belakang namanya: Ra.
(Asma Nadia, 2013: 288)


Asma dan Ra sebenarnya adalah satu tokoh dengan nama Asmara. Asma dan Ra terpisah oleh makar (baca: penipuan) dari Asma Nadia selaku penulis novel tersebut. Inilah yang saya maksud dengan penipuan ala Asma Nadia. Pada dasarnya, penipuan dengan berkedok pemenggalan nama tokoh utama kerap dilakukan oleh beberapa penulis sastra ternama. Akan tetapi, baru pada novel inilah, penipuan seorang penulis sastra terlihat sangat elegan dan tidak terkesan memaksakan. Hal mendasari pendapat saya tersebut adalahpengungkapan Asma dan Ra adalah orang yang sama tidak dilakukan diakhir cerita dan seolah-olah sekedar tempelan saja karena kisah yang dibangun saat pengungkapan tokoh Asmara adalah lebih kepada sudut pandang Ra yang harus kehilangan penglihatannya karena penyakit APS yang dideritanya –padahal di awal cerita,yang mengidap penyakit APS adalah Asma.
Asma Nadia sukses membuat pembaca tidak bereaksi berlebihan dengan penipuannya serta cinta klisenya pada tokoh-tokoh di novel Assalamualaikum, Beijing!. Karena setelah diketahui bahwa Asma dan Ra adalah satu tokoh yang sama, maka cerita kembali berjalan layaknya air yang mengalir, syahdu, tanpa menggurui dan sungguh menyegarkan.
Cerita ini pun berlanjut. Dewa yang merasa terpukul dan tidak sanggup bila harus bersama dengan (Asma)Ra karena penyakitnya itu, akhirnya mundur perlahan dan mulai memperhatikan Anita dan jabang bayi mereka.
Kisah romantis antara Asma(Ra) dengan Zhongwen pun kembali pada muaranya. Zhongwen yang memutuskan untuk memeluk agama Islam, bersedia membagi suka dukanya dengan Asma(Ra), gadis yang ditemuinya di Beijing, yang selalu dipanggil “Ashima” oleh Zhongwen sendiri. Sedikit tambahan, cerita ini menjadi sangat mengharukan karena Asma(Ra) harus kehilangan ingatan setelah stroke-nya yang kedua karena penyakit APS yang dideritanya, sehingga Zhongwen pun harus kembali membina cintanya dari awal dengan berusaha mengajak Asma(Ra) ke tempat-tempat kenangan di mana mereka berdua pertama kali bertemu dan menjalin komunikasi.

Laki-laki yang tak pernah lupa mendaratkan kecupan di keningnya sebelum Asma memejamkan mata di malam hari, sambil mengucapkan,
Woo xiaang nii!
Padahal mereka nyaris tak pernah berpisah. Namun, seperti lelaki itu, dia pun merasakan hal serupa. Lima tahun pernikahan, dengan kerinduan yang pekat.
Adalah berkah, dan anugerah mereka saling memiliki sampai saat ini. Maka kalimat yang setiap hari lahir dari bibirnya, bukan hanya jawaban refleks seorang istri, melainkan diiringi rasa yang tulus.
Woo yee xiaang nii!
I miss you too.
Setelah pengungkapan kasih setiap malam itu, keduanya akan saling bertatapan.
Dan, seperti yang sudah-sudah, mereka akan saling menunggu untuk tak memenjamkan mata lebih dulu.
(Asma Nadia, 2013: 336)


Selesai. Akhir yang bahagia.

Bagian yang Tidak Setuju...
Cerita yang ditawarkan Asma Nadia adalah cerita-cerita yang memang ringan walau pada satu kesempatan terkesan kurang detail dan kurang diterima akal perasaan. Dalam Asslamualaikum, Beijing!, kekurangdetailannya ada pada penceritaan Asma(Ra) yang didiagnosa menderita penyakit APS. Bila boleh menyinggung dengan karya sastra lain, Asma Nadia seharusnya dapat mengambil contoh kisah-kisah perjuangan seseorang yang terkena penyakit mematikan/akut, contohnya pada novel Surat Kecil untuk Tuhan atau drama Korea yang berjudul A Moment to Remember.
Adapun hal yang kurang diterima akal perasaan adalah ketika Dewa dengan mudahnya meniduri Anita –sehingga menyebabkan Anita hamil– padahal di awal penceritaan, tokoh Dewa digambarkan sebagai tokoh yang sangat mencintai Ra dan tidak mudah terpengaruh oleh bujuk rayu wanita lain. Namun, jika karya sastra memang dari dan untuk dunia nyata atau sosial kemasyarakatan yang ada, maka terperosoknya Dewa pada hubungan terlarang itu sebenarnya bisa jadi gambaran nyata yang ada di zaman globalisasi ini. Inilah pesan moral sekaligus pesan religius yang ingin disampaikan oleh Asma Nadia bahwa nafsu syahwat/seksual itu bisa menjebak siapapun tanpa pandang bulu. Oleh karena itu, peringatan bagi pria dan wanita lajang yang sedang asyik berdua-duaan, bisa jadi memang yang ketiga ada setan yang akan menjerumuskan kita kepada dosa dan penyelesalan seumur hidup kita.
Akhirnya, berdasarkan uraian yang sudah disampaikan di atas tadi, novel Assalamualaikum, Beijing! adalah tetap sebuah novel yang bagus untuk dibaca dan ditelaah makna-maknanya oleh semua penikmat sastra di mana saja. Penceritaannya yang sederhana, alurnya yang ringan untuk dicerna, serta tidak banyaknya istilah-istilah yang sulit, menjadikan novel ini layak mendapatkan tempat di hati kita semua.
    

Biodata



Bernama lengkap Andreas Agil Munarwidya, pria ini biasa dipanggil Agil sedari kecil. Dilahirkan di Cilacap, 13 November 1990, pria ini kini tengah mencari pendamping hidup yang sholehah dan mau dengannya. Sekarang tinggal di asrama SMK Islam Terpadu Ihsanul Fikri Magelang sekaligus menjadi pengajar di sana. Mempunyai akun facebook dengan nama yang cukup alay, yaitu: Akh Andre Al-Agiel. Pria ini dapat dihubungi lewat email dengan alamat wawfbs@gmail.com dan nomor handphone/WA: 08995042240.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.