Asma Nadia adalah salah satu tokoh
wanita Indonesia yang berkiprah di bidang kepenulisan. Berbagai macam
penghargaan telah diterimanya. Dimulai dari Harian
Republika yang memberikan anugerah kepadanya sebagai Tokoh Perubahan 2010,
lalu IKAPI yang menyematkan penghargaan kepadanya sebagai Tokoh Perbukuan Islam
di tahun 2011, sampai pada tahun 2012, perempuan kelahiran tahun 1972 ini juga
termasuk dalam daftar The 500 Most Influential Muslim di dunia. Beberapa
karyanya pun telah difilmkan, di antaranya Emak
Ingin Naik Haji, Rumah Tanpa Jendela,
dan 17 Catatan Hati Ummi –yang ketika difilmkan berganti judulUmmi Aminah. Namun, siapa sangka, ibu
yang dikaruniadua orang anak ini juga pandai menipu dalam novelnya yang
berjudul Asslamualaikum, Beijing!.
Sebenarnya, Assalamualaikum, Beijing! Bukanlah sebuah novel yang berkisah tentang penipuan ataupun tipu menipu dalam
kehidupan. Novel ini lebih bercerita tentang kisah cinta antara dua sejoli yang
cenderung klise di kalangan anak muda zaman sekarang.
Dewa menuntun Ra berdiri, persis di
tempat empat tahun lalu gadis itu mengangguk hingga kuncir satunya bergoyang.
Wajah Ra yang biasanya tenang, saat itu sedikit tersipu. Semburat samar di pipi
yang kemudian menjelma tawa, melihat betapa kocak kelakuan Dewa yang langsung
melonjak dan berputar-putar kegirangan seperti anak kecil, setelah mendengar
jawaban Ra.
Pemandangan indah, kenangan yang tak
mungkin dilupakan Dewa, detik Ra menerima cintanya.
(Asma Nadia, 2013: 1)
Diawali dengan alur yang mudah ditebak,
novel ini menjadi bacaan yang ringan untuk dipahami isinya.
Novel ini berisi dua cerita yang berbeda
–“awalnya”. Cerita pertama berkisah tentang hubungan antara Dewa dengan Ra yang
sudah berpacaran lebih kurang empat tahun lamanya. Dewa dan Ra memutuskan untuk
segera melangsungkan pernikahan. Undangan pernikahannya pun sudah dicetak dan
siap disebar. Akan tetapi, perkara terjadi. Kisah cinta antara Dewa dengan Ra
harus berakhir pilu karena Dewa membuat kesalahan fatal dengan meniduri wanita
lain bernama Anita hingga wanita itu berbadan dua (hamil). Akhirnya, sebagai
pria dewasa yang bertanggung jawab, Dewa mau tidak mau harus menikahi Anita dan
meninggalkan kenangan indah bersama Ra, kekasih tercintanya. Namun, sekali
lagi, sebagaimana kisah cinta dalam sinetron-sinetron Indonesia yang klise,
kehidupan pernikahan antara Dewa dengan Anita tidak pernah bahagia bahkan bisa
dibilang hanya formalitas saja sampai jabang bayi yang dikandung Anita lahir ke
dunia. Begitulah batas cerita pertama di novel tersebut.
Beralih ke kisah berikutnya, cerita
kedua pada novel ini berkisah tentang Asma, seorang wanita yang lincah yang
mendapat tugas dari kantornya untuk pergi ke Beijing meliput beberapa hal yang
berkaitan dengan kota tersebut. Kembali seperti kisah cinta klise pada sinetron
Indonesia, pembaca akan dihadapkan pada suatu adagium lama yang berbunyi: love at the first sight–cinta pada
pandangan pertama. Ya! Asma bertemu dengan seorang lelaki Cina bernama
Zhongwen. Mereka mulai berkenalan dan mengobrol singkat. Lalu, lama-lama saling
memendam rasa rindu. Dan, akhirnya saling jatuh cinta kemudian menikah walau
sempat terpisah dan memutuskan hubungan selama beberapa bulan karena jarak dan
agama yang berbeda.
Memang, awalnya saya mengira bahwa ada
dua cerita yang berdiri sendiri dan berakhir dengan satu tema yang sama tentang
sebuah hidayah untuk tokoh utamanya. Pendapat saya terus berlanjut, hingga
tiba-tiba kecurigaan saya muncul ketika mulai membaca beberapa narasi yang
menyiratkan bahwa kedua cerita itu sebenarnya adalah satu atau paling tidak saling
berhubungan bukan hanya secara tema tetapi alur dan juga tokohnya. Tanda-tanda
yang pertama ada pada narasi di bawah ini.
“Sudah beberapa waktu Asma tak lagi
menghiraukan rangkaian kalimat manis laki-laki kepadanya...” (Asma Nadia, 2013:
85)
“... Jika boleh menyimpulkan, dua kali patah hati yang dia alami
rata-rata karena salah menelusuri kedalaman hati seseorang. Keliru menilai
kadar perasaan kekasih yang dicintai.Perceraian Papa dan Mama memang tidak
menjadikannya anak broken home,
tetapi cukup mendorongnya diam-diam membangun benteng khusus.” (Asma Nadia,
2013: 86)
Sedangkan, tanda-tanda kedua ada pada
alur yang dibangun pada halaman 133 sampai 143. Sampai pada titik ini, saya
berhenti membaca dan mengira-ngira serta mulai berpikiran bahwa Asma Nadia
sudah menjalankanmakarnya.
Saya mengira bahwa hubungan antara kisah
Dewa, Ra, dan Anita dengan Asma adalah seperti ini: Setelah Dewa dan Anita
melahirkan anak pertamanya, Dewa menceraikan Anita. Akhirnya, Anita sendirilah
yang mengasuh anaknya. Dan, anak dari Dewa dengan Anita adalah Asma itu
sendiri. Ini sejalan dengan narasi pada novel yang saya kutipkan di atas tadi.
Oleh karena itu, yang dimaksud “dua kali patah hati” pada halaman 86 menuju
pada kisah cinta Dewa (Papa dari Asma)
dengan Anita (Mama dari Asma) serta Asma dengan Zhongwen di awal-awal cerita.
Namun, perkiraan dan pendapat saya ini patah setelah menemukan dialog ini di
novel tersebut.
“Jadi, mau dikasih nama siapa, Mas, bayi
kita?” Pertanyaan
pertama Anita setelah sadar.
“Menurutmu?”
“Dia laki-laki, kita beri nama Dewa,
ya... nggak apa kalau Ibu marah. Nanti nama pasaran dari Ibu digandeng sebagai
nama belakangnya.”
(Asma Nadia, 2013: 220)
Benarlah! Penipuan ala Asma Nadia
berlangsung sangat apik dan unik. Setelah dimulainya halaman 9, Asma Nadia yang
berguru pada Helvy Tiana Rosa sebenarnya sudah mulai menipu kita (red: saya
–dan mungkin para pembaca kebanyakan) dengan seolah-olah mengalihkan cerita
dengan alur dan penokohan yang berbeda padahal alur dan tokoh Ra dan Asma dalam novel tersebut sebenarnya sama dan sejalan.
“Itu karena Dewa dan Asmara memang
ditakdirkan bersama.”
Orang-orang memanggilnya Asma.
Hanya pemuda itu yang hingga saat ini
bersikeras memanggil dengan dua huruf di belakang namanya: Ra.
(Asma Nadia, 2013: 288)
Asma dan Ra sebenarnya adalah satu tokoh
dengan nama Asmara. Asma dan Ra terpisah oleh makar (baca: penipuan) dari Asma
Nadia selaku penulis novel tersebut. Inilah yang saya maksud dengan penipuan ala Asma Nadia. Pada dasarnya,
penipuan dengan berkedok pemenggalan nama tokoh utama kerap dilakukan oleh
beberapa penulis sastra ternama. Akan tetapi, baru pada novel inilah, penipuan
seorang penulis sastra terlihat sangat elegan dan tidak terkesan memaksakan.
Hal mendasari pendapat saya tersebut adalahpengungkapan Asma dan Ra adalah
orang yang sama tidak dilakukan diakhir cerita dan seolah-olah sekedar tempelan
saja karena kisah yang dibangun saat pengungkapan tokoh Asmara adalah lebih
kepada sudut pandang Ra yang harus kehilangan penglihatannya karena penyakit
APS yang dideritanya –padahal di awal cerita,yang mengidap penyakit APS adalah
Asma.
Asma Nadia sukses membuat pembaca tidak
bereaksi berlebihan dengan penipuannya serta cinta klisenya pada tokoh-tokoh di
novel Assalamualaikum, Beijing!.
Karena setelah diketahui bahwa Asma dan Ra adalah satu tokoh yang sama, maka
cerita kembali berjalan layaknya air yang mengalir, syahdu, tanpa menggurui dan
sungguh menyegarkan.
Cerita ini pun berlanjut. Dewa yang
merasa terpukul dan tidak sanggup bila harus bersama dengan (Asma)Ra karena
penyakitnya itu, akhirnya mundur perlahan dan mulai memperhatikan Anita dan
jabang bayi mereka.
Kisah romantis antara Asma(Ra) dengan
Zhongwen pun kembali pada muaranya. Zhongwen yang memutuskan untuk memeluk
agama Islam, bersedia membagi suka dukanya dengan Asma(Ra), gadis yang
ditemuinya di Beijing, yang selalu dipanggil “Ashima” oleh Zhongwen sendiri.
Sedikit tambahan, cerita ini menjadi sangat mengharukan karena Asma(Ra) harus
kehilangan ingatan setelah stroke-nya yang kedua karena penyakit APS yang
dideritanya, sehingga Zhongwen pun harus kembali membina cintanya dari awal
dengan berusaha mengajak Asma(Ra) ke tempat-tempat kenangan di mana mereka
berdua pertama kali bertemu dan menjalin komunikasi.
Laki-laki yang tak pernah lupa
mendaratkan kecupan di keningnya sebelum Asma memejamkan mata di malam hari,
sambil mengucapkan,
“Woo
xiaang nii!”
Padahal mereka nyaris tak pernah
berpisah. Namun, seperti lelaki itu, dia pun merasakan hal serupa. Lima tahun
pernikahan, dengan kerinduan yang pekat.
Adalah berkah, dan anugerah mereka
saling memiliki sampai saat ini. Maka kalimat yang setiap hari lahir dari
bibirnya, bukan hanya jawaban refleks seorang istri, melainkan diiringi rasa
yang tulus.
“Woo
yee xiaang nii!”
I miss you too.
Setelah pengungkapan kasih setiap malam
itu, keduanya akan saling bertatapan.
Dan, seperti yang sudah-sudah, mereka
akan saling menunggu untuk tak memenjamkan mata lebih dulu.
(Asma Nadia, 2013: 336)
Selesai. Akhir yang bahagia.
Bagian yang Tidak Setuju...
Cerita yang ditawarkan Asma Nadia adalah
cerita-cerita yang memang ringan walau pada satu kesempatan terkesan kurang
detail dan kurang diterima akal perasaan. Dalam Asslamualaikum, Beijing!, kekurangdetailannya ada pada penceritaan
Asma(Ra) yang didiagnosa menderita penyakit APS. Bila boleh menyinggung dengan
karya sastra lain, Asma Nadia seharusnya dapat mengambil contoh kisah-kisah
perjuangan seseorang yang terkena penyakit mematikan/akut, contohnya pada novel
Surat Kecil untuk Tuhan atau drama
Korea yang berjudul A Moment to Remember.
Adapun hal yang kurang diterima akal
perasaan adalah ketika Dewa dengan mudahnya meniduri Anita –sehingga
menyebabkan Anita hamil– padahal di awal penceritaan, tokoh Dewa digambarkan
sebagai tokoh yang sangat mencintai Ra dan tidak mudah terpengaruh oleh bujuk
rayu wanita lain. Namun, jika karya sastra memang dari dan untuk dunia nyata
atau sosial kemasyarakatan yang ada, maka terperosoknya Dewa pada hubungan
terlarang itu sebenarnya bisa jadi gambaran nyata yang ada di zaman globalisasi
ini. Inilah pesan moral sekaligus pesan religius yang ingin disampaikan oleh
Asma Nadia bahwa nafsu syahwat/seksual itu bisa menjebak siapapun tanpa pandang
bulu. Oleh karena itu, peringatan bagi pria dan wanita lajang yang sedang asyik
berdua-duaan, bisa jadi memang yang ketiga ada setan yang akan menjerumuskan
kita kepada dosa dan penyelesalan seumur hidup kita.
Akhirnya, berdasarkan uraian yang sudah
disampaikan di atas tadi, novel Assalamualaikum,
Beijing! adalah tetap sebuah novel yang bagus untuk dibaca dan ditelaah makna-maknanya oleh semua penikmat sastra di mana saja.
Penceritaannya yang sederhana, alurnya yang ringan untuk dicerna, serta tidak
banyaknya istilah-istilah yang sulit, menjadikan novel ini layak mendapatkan
tempat di hati kita semua.
Biodata
Bernama lengkap Andreas Agil Munarwidya, pria ini biasa dipanggil Agil
sedari kecil. Dilahirkan di Cilacap, 13 November 1990, pria ini kini tengah
mencari pendamping hidup yang sholehah dan
mau dengannya. Sekarang tinggal di asrama SMK Islam Terpadu Ihsanul Fikri
Magelang sekaligus menjadi pengajar di sana. Mempunyai akun facebook
dengan nama yang cukup alay, yaitu:
Akh Andre Al-Agiel. Pria ini dapat dihubungi lewat email dengan alamat wawfbs@gmail.com dan nomor handphone/WA:
08995042240.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.