“Sarmin itu anak
ibu kantin Keela. Menurut info temanku, ia sering di sana karena bantu-bantu
emaknya,” jelas Kantil memberi info tentang siapa itu Sarmin.
“Dia itu anak
yatim. Bapaknya meninggal 3 tahun yang lalu,” tambahnya.
“Kalau kau lihat
orangnya … aduh, nggak deh!” geli Mikeela. Memang ia tak pilih-pilih teman. Tapi,
kalau jorok? No way!
“Wajarlah! Kan
Sarmin anak Singkong. Bukan seperti Penta yang makan keju!” kekeh Kantil.
Memang benar
kata Kantil. Sarmin bukan orang kaya seperti Penta atau berwajah tampan. Tapi,
kenapa ia bisa juara? Rasa penasaran itu terus menggebu.
“Aku harus tahu
rahasianya!”
Esok harinya, ia
datang kembali ke Kantin dan dilihatnya Sarmin sedang membantu seorang ibu
separuh baya berjualan gado-gado.
Mikeela
memberanikan diri untuk mendekat.
“Hai, aku
Mikeela.” Tanda perkenalan pertama sambil mengacungkan tangan kanannya.
“Hei, kamu cewek
yang kemarin?” Tawa riang si Sarmin keluar tanpa membalas salam Mikeela.
“Aduh, nih cowok
emang tengil banget!” ujar Mikeela dalam hati.
“Duduklah, Mikeela.
Santai saja,” Sarmin menyilakan Mikeela duduk di bangku kantin.
“Mau minum apa?
Aku yang traktir, gratis,” kekeh lagi si Sarmin
“Nggak usah,
Min. Aku cuma pengen ngobrol.”
“Baik, silakan
kalau gitu,” sahut Sarmin sambil mengacak-ngacak rambutnya.
Dari situlah
percakapan ringan mulai mengalir, Mikeela merasa Sarmin enak diajak ngobrol
mulai dari hal enteng sampai berat. Banyak gurauan dan guyonan yang membuat
Mikeela tertawa. Cowok seperti Sarmin baru kali ini ditemui.
Mikeela merasakan
kenyamanan yang tidak didapat dari Penta, cowoknya sendiri. Akhirnya, Sarmin
dan Mikeela bertemu setiap hari secara intens dan bahkan tidak mengacuhkan
Penta sendiri.
Pernah suatu
malam, Sarmin tiba-tiba datang ke rumah Mikeela dengan membawa kejutan.
“Hei Keela, lagi
ngapain?. Nih, aku bawa martabak buat kamu,” kekeh Sarmin yang sudah di depan
pintu rumah.
“Min, kok kamu
tahu rumahku?” tanya Mikeela heran.
Sarmin tiak
menjawab, tapi langsung duduk di beranda rumah Mikeela.
“Biasanya
seorang cowok kasih ke cewek bunga atau boneka. Tapi aku ngasih martabak saja.
Jika kamu tak mau, yah aku makan sendiri. Jadi aku nggak rugi. Hahaha …,” tawa
Sarmin.
Hari demi hari
dilalui Mikeela dan Sarmin. Akhirnya mereka jadian juga meski tanpa kata-kata.
“Aku tahu kamu
punya pacar, Mikeela. Dia nggak marah kan jika aku datang ke sini? Kan aku
bukan saingannya.”
Mikeela memang
merasa Sarmin bukan saingan Penta. Namun, sisi lain keunikan Sarmin telah
membuatnya jatuh hati. Bisa membuat Mikeela tertawa dan comfort bersamanya. Kantil memperingatkan Mikeela untuk tidak
bermain api karena sudah punya Penta.
Namun, dalam
hati Mikeela merasa gundah dan bingung. Secara status, memang Penta
menjadikannya ratu. Dimanjakan Penta dengan naik mobil, nonton di bioskop, atau
makan di restoran. Tapi semua itu sudah biasa. Namun bersama Sarmin, ia merasa
lain. Sarmin bukanlah orang kaya, tapi berwawasan luas, pintar, dan humoris.
Mikeela malah
lebih intim dengan Sarmin daripada Penta. Dengan Sarmin bisa sharing segala
sesuatu dan ditanggapi Sarmin dengan cerdas.
Di sisi lain,
kata hati Mikeela mengatakan, “Apakah aku harus mendua?”
Ada sebuah tanda
tanya di sana
Pilih Keju atau
Singkong?
Tebing Tinggi, Maret 2017
Biodata Penulis :
Ferry Fansuri kelahiran Surabaya adalah travel writer, fotografer dan entreprenur lulusan Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Pernah bergabung dalam teater Gapus-Unair dan ikut dalam pendirian majalah kampus Situs dan cerpen pertamanya "Roman Picisan" (2000) termuat. cerpen "pria dengan rasa jeruk" masuk antalogi cerpen senja perahu litera (2017). Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional. Dalam waktu dekat menyiapkan buku antalogi cerpen dan puisi tunggal.
0 Response to "Barbie, Keju, dan Singkong (2) - Ferry Fansuri"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.