Mikeela begitu
populer di sekolahnya, seorang gadis menjelang 17 tahun berpostur tinggi
semampai, rambut lurus tergerai, dan wajah indo begitu mencolok di antara teman
putih abu-abunya. Layaknya Barbie, Mikeela jadi pusat perhatian dan magnet tiap
cowok di SMA Sanata Dharma. Biarpun ter kenal dikalangan murid-murid, Mikeela
bukan cewek sombong yang pilih-pilih teman dalam pergaulan. Ia sangat ramah dan
mudah bergaul. Teman dan guru-gurunya menyukainya, seperti kisah roman anak
sekolah sang Barbie pasti ada pasangan. Penta juga termasuk cowok terpopuler,
bertampang ganteng, atletis, jago basket, dan kaya. Ia bagaikan Ken bersanding
dengan Mikeela sang Barbie
Tapi dari semua
itu, ada yang membuat mata Mikeela terus memandang penasaran. Itulah Sarmin,
sebuah nama kampungan entah dari mana asalnya. Ini berawal pengumuman hasil
semester seluruh sekolah. Di peringkat paling atas ada nama Sarmin.
“Siapa itu
Sarmin, Keela? Kok aku baru tahu, anak kelas berapa?” tanya Kantil teman
sebangku Mikeela.
“Nggak tahu, Kan.
Kok ada di rangking pertama, yah?” jawab Mikeela penasaran.
“Wah, si Sarmin
ini mengalahkan kamu. Hihihi …,” kekeh Kantil lagi
Mikeela tidak
membalas sindiran Kantil. Matanya menerawang ke jendela kelas. Mikeela tergolong
anak pintar di kelas. Selalu rangking satu. Pelajaran matematika, fisika, dan
biologi jadi favoritnya. Cita-citanya ingin jadi dokter. Otak yang encer itu
terbukti ketika ujian semester pertama. Ia menduduki peringkat 1.
Teman-temannya mengira bahwa Mikeela akan melanjutkan tradisi itu semester
berikutnya. Tapi, si Sarmin mematahkan semua itu. Siapa dia?
“Sarmin pasti
seorang kutu buku, berkacamata tebal, dan senang menyendiri di perpustakaan untuk
tenggelam bersama buku-buku tebal,” goda Kantil.
Ini yang membuat
Mikeela penasaran. Kenapa ia bisa kalah dengan si Sarmin? Apakah ini kurang
belajar atau kurang keras untuk menyimak pelajaran? Otaknya berkecamuk dengan
pikiran.
“Aku harus tahu tentang
Sarmin ini!” bisik Mikeela dalam hati.
Mulai ia
menjelajah dan berburu info sekitar sekolah. Bertanya pada tukang kebun, satpam,
atau bagian TU. Mereka hanya menunjukkan jika mencari Sarmin, carilah ke kantin.
Tapi mereka tidak menerangkan ciri-ciri si Sarmin.
Setiba di
kantin, Mikeela seperti anjing pelacak, mengendus mencari bau si Sarmin.
Mungkin omongan Kantil ada benarnya. Sarmin berkacamata tebal dan introvert yang suka mojok di ujung
kantin.
Mikeela menanyai
setiap orang yang berkacamata dan membaca buku tebal.
“Apakah kamu
Sarmin?”
“Kamu Sarmin?”
“Tahu nggak
namanya Sarmin?”
Semua cowok yang
berkacamata hanya menggeleng kepala tanda tidak tahu atau bukan Sarmin.
Baca Juga: Di Balik Sentuhan Kopi Kawadaun - Rahmaleni
Mikeela jadi
tontonan seantero kantin. Saat ia mulai lelah mencari, ada yang menepuk
pundaknya.
“Hai, kamu
mencari aku? Kenalkan, namaku Sarmin.”
Terpampang seorang
cowok dengan rambut agak sedikit gondrong, kulit sawo matang, dan mulutnya selalu
nyengar-nyengir seperti cowok urakan tak tahu sopan santun. Tidak berkacamata
seperti yang dikira selama ini.
“Ih, nih cowok
jorok banget!” kata Mikeela dalam hati. Ilfeel ketika melihat cowok di depannya
berbicara sambil ngupil. Mikeela tidak menjawab, malah ngibrit dari kantin.
Gambaran Sarmin
sangatlah berbeda. Orang tengil begitu kok rangking 1? Aih, alamak!
(Bersambung)
Biodata Penulis :
Ferry Fansuri kelahiran Surabaya adalah travel writer, fotografer dan entreprenur lulusan Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Pernah bergabung dalam teater Gapus-Unair dan ikut dalam pendirian majalah kampus Situs dan cerpen pertamanya "Roman Picisan" (2000) termuat. cerpen "pria dengan rasa jeruk" masuk antalogi cerpen senja perahu litera (2017). Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional. Dalam waktu dekat menyiapkan buku antalogi cerpen dan puisi tunggal.
0 Response to "Barbie, Keju, dan Singkong (1) - Ferry Fansuri"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.