Kamis, 30 Maret 2017

Namida - Andreas Agil Munarwidya



Tutuplah matamu, Namida
dan rasakan apa yang membuncah di hatiku
Ketika hujan menambah,
kau mendekat untuk mengabarkan
: janji yang tak kan ditepati
Luruh...
Kota yang ditolong pembangunan itu
menyisakan kenangan yang aku yakin
entah bisa lupa atau tidak walau waktu menelan
Dan,
Sesuai namamu, Namida
: kamu hanya akan membuat air mata


Magelang, Maret 2017

Biodata Penulis:

Bernama lengkap Andreas Agil Munarwidya, pria ini biasa dipanggil Agil sedari kecil. Dilahirkan di Cilacap, 13 November 1990, pria ini kini tengah mencari pendamping hidup yang sholehah dan mau dengannya. Sekarang tinggal di asrama SMK Islam Terpadu Ihsanul Fikri Magelang sekaligus menjadi pengajar di sana. Mempunyai akun facebook dengan nama yang cukup alay, yaitu: Akh Andre Al-Agiel. Pria ini dapat dihubungi lewat email dengan alamat wawfbs@gmail.com dan nomor handphone/WA: 08995042240.

Rabu, 29 Maret 2017

Cucu Soleh Untuk Ibu - Mahmudiah



Selendang berbahan sutera mengitari kepala
Sebuah ucapan kalimat  mengalun syahdu
Saksi menganggukkan kepala segera
Aku dengannya telah sah untuk dipadu

Berbanding sakura setahun yang lalu
Menyelimuti ruangan kamar yang biru
Dia hadir ditengah kehidupan baru
Lengkap sudah sebagai penyatu

Doa dalam kalbu kulukiskan
Doa dalam jiwa mu kusemaikan
Doa dalam hati mu kutanamkan
Agar nanti kau menjadi anak yang beriman

Cahaya kokoh berbanding beton
Menyaksikan kemilau dari raut wajah mu
Doa kokoh dari hati sebagai harapan
Semoga kemilau iman menyinari mu wahai anak ku

Ketika nafas telah berhenti
Urat nadi tak lagi berdetak
Panggilan ilahi mengambil roh ku untuk pergi
Saat itu hanya iman yang mampu berkutik

Roh ini telah diangkat wahai anak ku
Pupus sudah harapanku, Untuk selalu mendoakan ibu ku
Engkau anak ku yang berbakti
Hadiahkan selalu doa untuk nenekmu dengan penuh arti


Baca Juga: Sajak Kelaparan - Inot 

Biodata Penulis:


Penulis bernama Mahmudiah, kelahiran tahun 1996 tepat pada tanggal 22 juli di Meunasah leubok, Lhoknibong, Kecamatan Pante Bidari, Kabupaten Aceh Timur. Penulis asal aceh timur, saat ini penulis berdomisili di Banda Aceh, provinsi aceh, sedang menempuh pendidikan di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), fakultas Ilmu Sosial dan Politik(Fisip), jurusan S1 Ilmu Pemerintahan, leting 2014.

Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, akun media sosial penulis diantaranyayaitu,Instagram:MahmuCaroline,Facebook:Mahmudiah,Twitter:0813mahmudiah, Idline:mahmudiah,Blog:www.ImpianSangPenulis.blogspot.com,FanspageFacebook: Impiansangpenulis, Nomor hp: 082352330137.

Jumat, 24 Maret 2017

Sajak Kelaparan - Inot




Terdengar siulan dari perut kempis
Melengking dengan menyesakkan jiwa
Dalam denyut nadi nusantara
Tempat peluh membanjiri kota raga

Nasib mengundang airmata
Terbiarkan jerit menafsirkankan
Dengan ronta telunjuk mengeras
Racun-racun bursa pahit jiwa tertuang
Pada bingkai matanya yang mulai kotor
Terserah kau,
Marah, dipersilahkan.
Demi tubuh kurus tanpa pelapis
Demi perut kempis yang terus bersiulan
Aku relakan kau hempas nafasku

Lihat tubuhku,
Kau hanya lepaskan gigimu
Tertampak batang putih di mulutmu
Mencemooh tubuhku yang menjerit
Dengan segala rintihan tanpa nafas

Malang, 12 November 2016


Biodata Penulis:


Inot, nama pena dari Misnoto asal Madura yang menetap di Kota Malang. Kesukaannya dalam menulis puisi saat ia menginjakkan diri di Forum Intelektual Santri (FITRI) Nurul Islam dan juga di Sanggar AKSARA Nurul Islam. Saat ini penulis aktif di UPKM El-Ma’rifah Ma’had Sunan Ampel Al-‘Aly Malang, Komunitas Pena KOMA Malang, Mahasiswa Intelektual (MANTEK) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dan juga Laskar Pujangga Malang.

Kamis, 23 Maret 2017

Seperca Kisah Hujan - Wnt_Tyas & Ainia Praba


Telah kutitipkan seperca kisah
Terselip di setiap tetes basah
Sebuah cerita yang mulai entah
Tentang jalinan menjelma patah

Aroma basah yang mencumbu
Melarutkan pilu jua sendu
Rintiknya jatuh memecah resah
Kemudian di pelupuk ia merekah

Kuhapus wajah di antara rinai
Agar hati tak lagi mengandai
Sebab hujan telah memekik
Meratap sarak tak berbalik

Kularung kenangan dalam deras
Biar jejak-jejak pun terlepas
Lebur bersama pelukan hujan
Terkubur dingin dan terlupakan

GunungKidul-Kota Petir, 27022017


Tentang Penulis:




Widjayanti Ning Tyas, lahir di Gunungkidul, 8 Januari 1994. Tinggal di Gunungkidul, Jogja.Saya harap ini adalah langkah awal dalam menyalurkan bakat terpendam saya. Terimakasih.
Facebook Rhierhie Tarhie
Email: wnt_tyas@yahoo.com




Ainia Praba (nama pena), lahir di kota Jepara Bumi Kartini, 18 November. Penyuka cappuccino dan cokelat. Hobi nomor satu menonton film. Karyanya dimuat di majalah Story tahun 2011 dan di beberapa buku antologi.
Akun FB Ainia Praba

Email haibara_ai20@yahoo.co.id

Senin, 20 Maret 2017

Kelinci Tua - Trie R.M




Didedikasikan untuk saudari saya-Fonny Lestari dan suaminya- Abang Yudi Kadariansyah.

-True Story-

Kadang aku melihat mereka bagaikan sepasang kelinci kecil yang memiliki daya tarik sendiri. Aku seolah induk dari kelinci-kelinci itu. Ketika mereka merasa lapar, aku menyuapinya satu persatu. Tiba saatnya mereka kenyang, halaman rumah yang menghijau oleh rerumputan halus, menjadi tempat ternyaman bagi tapak-tapak lembut milik mereka. Mereka bermain, bercanda dan aku terhibur. Riang yang mereka rasakan, kian menghanyutkan bagai gelombang yang mengantarkan permainan mereka pada suatu senja. Meski bergurau bagi sepasang kelinci ini, tidak akan pernah mencapai pada puncak kepuasan, tapi mereka harus segera kutarik ke kandang.

Bukanlah aku Ibu yang tak tau diri. Mengibaratkan dua wajah polos bagaikan sepasang binatang yang kurang akal lagi budi. Hanya saja aku senang menganggap mereka seolah binatang lucu dan menggemaskan seperti seekor kelinci. Yah, mungkin akan ada yang tak sejalur dengan jalan pikiranku ini. Namun biarlah aku terus menjelajahinya, sebab hanya batinku yang tau maksud sebenarnya.

Hari ini. Kelinciku yang paling tua terlihat tak bersemangat. Bagaikan sepotong rantai yang menjerat kedua kakinya, langkahnya terlihat begitu gontai. Kulihat lagi redup rembulan di kedua matanya. Tatapnya begitu sayu, bahkan hampir kosong. Hatiku semakin tak menentu. Kuraih tangannya dan kurasakan bagai membeku. Dingin.

"Naufal, Kau kenapa, Nak?" tanyaku dan dia membisu.

Aku memeluknya. Kuarahkan jemariku pada keningnya. Berbeda dengan kebekuan di tangannya tadi. Di bagian ini aku menemukan hawa yang membara.

"Kau demam. Suhu badanmu tinggi," bisikku padanya, seolah ia peduli. Tapi ia masih terdiam selanjutnya terlelap.

Aku mencari-cari suamiku hingga ke seluruh penjuru rumah. Kudapati ia sedang menggendong kelinciku yang kedua. Dengan wajah polos tak berdosa dan dua kelopak mata yang mengatup, ia tertidur pulas di dekapan ayahnya.

"Bang ..., suhu badan Naufal sangat tinggi. Dia demam. Kita bawa ke Rumah Sakit saja, ya? Aku takut jikalau ...,"

"Jangan berbicara yang bukan-bukan. Itu pamali. Sekarang bersiaplah! Aku memanaskan mobil dulu." Suamiku memotong ucapanku dengan nada arogan. Selanjutnya ia pergi dari hadapanku setelah memindahkan  'Nazwa', kelinci kedua kami ke dalam gendonganku.

Sejam telah berlalu dan kini aku dan suamiku sudah berada di depan seorang dokter spesialis anak. Bagai mengirimkan sebuah telepati, aku sudah bisa menebak raut wajahnya saat kami berhadapan kini.

Benar sudah. Sanggahan suamiku dirumah tadi tak berarti apa-apa dibandingkan ketakutan dan rasa was-wasku. Apa yang kutakutkan kini terjadi sudah. Naufal menderita DBD.

Rasa bagai dihantam sebuah bongkahan kayu berdamar. Dadaku kini sesak dengan napas yang tak beraturan. Pikiranku menghantarkan pada kejadian seminggu yang lalu. Kejadian yang menimpa tetangga sebelah rumah kami. Anaknya pulang ke hadapan Ilahi, sebab dari penyakit ini.

Aku meneteskan air mata. Suamiku tak juga tenang. Ia sama sepertiku. Kita berada pada dua kemungkinan, sembuh dan tidak. Tapi sungguh, dalam kondisi buruk, hal yang paling ditakutkanlah sangat dominan memenuhi ruang otak. Apa yang bisa memperkuat jiwa selain doa dan usaha? Setelah itu tidak ada. Tapi harapan baik, tentu selalu dikedepankan. Semoga Bang Naufal segera sembuh.

Melalui siang dan malam untuk ke sekian kali. Kondisi Bang Naufal, si kelinci kecilku tak kunjung membaik. Badannya kian kurus, tulang rusuk menyembul dari sisi perutnya. Sungguh membuat hati bagai teriris.

Hari ini adalah hari ke tujuh. Kondisinya memgalami sedikit perubahan dari sejak pagi tadi. Ia terlihat tertarik pada buah-buahan ranum yang ayahnya beli dari pasar. Kulihat ia semangat mengunyahnya, kemudian menelannya. Ia tampak seperti kelinci kelaparan.

Hari merangkak hingga senja. Di sampingnya aku masih duduk, melihat kedua matanya yang mengatup.

Tiba-tiba kudengar rintihan lirih memanggil namaku.

"Ma ... Ma ... Ma ...."

Aku melihat ke arahnya. Sebab dari ia suara itu berasal. Selanjutnya aku menyadari, saat melihat keringat yang mengalir di pelipisnya. Kurasakan dingin di kedua kaki dan tanganya. Aku memanggil suamiku, bahkan meneriakinya.

Suamiku berada di sisiku kini. Kami mengira ia hanya mengeluh kesakitan. Kian lama, napasnya kian berhembus tak seirama. Lirih desahannya juga terdengar. Hingga sampai pada waktunya aku dan suamiku tak mendapati udara yang berhembus dari kedua rongga hidungnya. Dadanya juga terlihat kaku. Kini aku benar-benar takut.

Apa daya dalam upaya. Jika Allah sudah menorehkan tintanya, lalu adakah mahluk yang bisa menghapusnya? Tidak, tentu tidak akan ada yang bisa.

Masuknya dokter setelah dipanggil. Hanya memberikan kabar duka yang mendalam bagi kami. Bang Naufal sudah menyerah dengan sakit yang ia hadapi. Di usianya yang baru tiga tahun ini, Allah telah menjemput amanahnya untuk kami dan menempatkannya di tempat baru, yaitu Surga.

Jangan lagi ditanyakan, bagaimana rasanya seorang induk kehilangan anaknya. Semua itu tak akan bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mau tidak mau, insan yang ditinggal diberikan waktu untuk meratap. Hingga waktu mengikis kesedihan itu, menjadi sebuah kenangan.

Sekadau, januari 2017

Biodata Penulis:


Memiliki nama asli Tri Rukmini dan nama pena Trie R.M. Lahir di Batu Ampar, Kalimantan Barat pada 3 November 1989.
Riwayat pendidikan:
SD Negeri 11 Batu Ampar
SMP Negeri 1 Belitang Hilir
SMA Negeri 1 Sekadau
STKIP PGRI Pontianak.
Salam sastra!

Sabtu, 18 Maret 2017

Mereka Adalah Aku - Alodia Jovita




Jika kau lihat sebuah bianglala musim panas, itu adalah aku
Aku berdiri sendirian di dalam kenyataan
Menunggu hangatnya mentari Agustus
Angin laut hanyalah temanku seorang

Jika kau lihat seonggok batu karang di tepi pantai, itu adalah aku
Berlagak seolah – olah diriku adalah si kuat
Yang sekejap menjadi lemah berdetik – detik berikutnya dihempas lautan
Sudahlah, pada akhirnya aku hanya ingin terus berada di sana

Jika kau lihat seekor burung camar yang terkurung dalam sangkar, itu adalah aku
Aku hanya bisa menatap birunya lautan dari balik abu
Aku hanya bisa berharap pada kerasnya logam
Dan hanya menunggu ikan – ikan untuk membebaskanku

Jika kau lihat seorang gadis bermain pasir, itu adalah aku
Terima kasih alas kakinya, tapi aku tidak membutuhkannya
Yang aku butuhkan adalah cinta dari sang rembulan
Mengalungkanku rasi bintang untuk kubawa dalam mimpi

Jika kau lihat seorang gadis menatap lautan, itu adalah aku
Aku terlahir di sebelah Utara tanah ini
Menari di antara angin laut, bernafaskan aroma musim panas
Aku sedang menunggumu kemari


Biodata:


Nama saya terlalu panjang, Alodia Jovita lengkapnya. Panggil saja Jo atau Jovia, sekaligus memberikan inisial yang pas untuk tulisan saya. Saya lahir dan tinggal di Semarang. Tahun ini saya berusia 21 tahun dan saat ini sedang menempuh pendidikan di universitas. Saya tidak tahu mengapa saya suka menulis – mungkin karena saya tidak pandai berbicara –.  Menulis adalah hal yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh saya. Entah kenapa, suatu hari saya ingin mencorat – coret dan mengarang sesuatu, dan terbentuklah satu halaman penuh yang apabila dibaca sekilas seperti curhatan atau buku diary. Saya biasanya menulis dalam bahasa Inggris dan telah membuat blog sendiri, semata – mata hanya untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris saya. Inspirasi utama saya adalah tempat tinggal saya yang dekat dengan laut. Yang pasti, menulis membuat saya lebih menyadari tentang dunia luar dan alam ini.



Jumat, 17 Maret 2017

Barbie, Keju, dan Singkong (2) - Ferry Fansuri



“Sarmin itu anak ibu kantin Keela. Menurut info temanku, ia sering di sana karena bantu-bantu emaknya,” jelas Kantil memberi info tentang siapa itu Sarmin.

“Dia itu anak yatim. Bapaknya meninggal 3 tahun yang lalu,” tambahnya.

“Kalau kau lihat orangnya … aduh, nggak deh!” geli Mikeela. Memang ia tak pilih-pilih teman. Tapi, kalau jorok? No way!
“Wajarlah! Kan Sarmin anak Singkong. Bukan seperti Penta yang makan keju!” kekeh Kantil.

Memang benar kata Kantil. Sarmin bukan orang kaya seperti Penta atau berwajah tampan. Tapi, kenapa ia bisa juara? Rasa penasaran itu terus menggebu.

“Aku harus tahu rahasianya!”

Esok harinya, ia datang kembali ke Kantin dan dilihatnya Sarmin sedang membantu seorang ibu separuh baya berjualan gado-gado.

Mikeela memberanikan diri untuk mendekat.

“Hai, aku Mikeela.” Tanda perkenalan pertama sambil mengacungkan tangan kanannya.

“Hei, kamu cewek yang kemarin?” Tawa riang si Sarmin keluar tanpa membalas salam Mikeela.

“Aduh, nih cowok emang tengil banget!” ujar Mikeela dalam hati.

“Duduklah, Mikeela. Santai saja,” Sarmin menyilakan Mikeela duduk di bangku kantin.

“Mau minum apa? Aku yang traktir, gratis,” kekeh lagi si Sarmin

“Nggak usah, Min. Aku cuma pengen ngobrol.”

“Baik, silakan kalau gitu,” sahut Sarmin sambil mengacak-ngacak rambutnya.

Dari situlah percakapan ringan mulai mengalir, Mikeela merasa Sarmin enak diajak ngobrol mulai dari hal enteng sampai berat. Banyak gurauan dan guyonan yang membuat Mikeela tertawa. Cowok seperti Sarmin baru kali ini ditemui.

Mikeela merasakan kenyamanan yang tidak didapat dari Penta, cowoknya sendiri. Akhirnya, Sarmin dan Mikeela bertemu setiap hari secara intens dan bahkan tidak mengacuhkan Penta sendiri.

Pernah suatu malam, Sarmin tiba-tiba datang ke rumah Mikeela dengan membawa kejutan.

“Hei Keela, lagi ngapain?. Nih, aku bawa martabak buat kamu,” kekeh Sarmin yang sudah di depan pintu rumah.

“Min, kok kamu tahu rumahku?” tanya Mikeela heran.

Sarmin tiak menjawab, tapi langsung duduk di beranda rumah Mikeela.

“Biasanya seorang cowok kasih ke cewek bunga atau boneka. Tapi aku ngasih martabak saja. Jika kamu tak mau, yah aku makan sendiri. Jadi aku nggak rugi. Hahaha …,” tawa Sarmin.

Hari demi hari dilalui Mikeela dan Sarmin. Akhirnya mereka jadian juga meski tanpa kata-kata.

“Aku tahu kamu punya pacar, Mikeela. Dia nggak marah kan jika aku datang ke sini? Kan aku bukan saingannya.”

Mikeela memang merasa Sarmin bukan saingan Penta. Namun, sisi lain keunikan Sarmin telah membuatnya jatuh hati. Bisa membuat Mikeela tertawa dan comfort bersamanya. Kantil memperingatkan Mikeela untuk tidak bermain api karena sudah punya Penta.

Namun, dalam hati Mikeela merasa gundah dan bingung. Secara status, memang Penta menjadikannya ratu. Dimanjakan Penta dengan naik mobil, nonton di bioskop, atau makan di restoran. Tapi semua itu sudah biasa. Namun bersama Sarmin, ia merasa lain. Sarmin bukanlah orang kaya, tapi berwawasan luas, pintar, dan humoris.
Mikeela malah lebih intim dengan Sarmin daripada Penta. Dengan Sarmin bisa sharing segala sesuatu dan ditanggapi Sarmin dengan cerdas.

Di sisi lain, kata hati Mikeela mengatakan, “Apakah aku harus mendua?”

Ada sebuah tanda tanya di sana

Pilih Keju atau Singkong?

Tebing Tinggi, Maret 2017

Biodata Penulis :


Ferry Fansuri kelahiran Surabaya adalah travel writer, fotografer dan entreprenur lulusan Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Pernah bergabung dalam teater Gapus-Unair dan ikut dalam pendirian majalah kampus Situs dan cerpen pertamanya "Roman Picisan" (2000) termuat. cerpen "pria dengan rasa jeruk" masuk antalogi cerpen senja perahu litera (2017). Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional. Dalam waktu dekat menyiapkan buku antalogi cerpen dan puisi tunggal.

Kamis, 16 Maret 2017

Barbie, Keju, dan Singkong (1) - Ferry Fansuri




Mikeela begitu populer di sekolahnya, seorang gadis menjelang 17 tahun berpostur tinggi semampai, rambut lurus tergerai, dan wajah indo begitu mencolok di antara teman putih abu-abunya. Layaknya Barbie, Mikeela jadi pusat perhatian dan magnet tiap cowok di SMA Sanata Dharma. Biarpun ter kenal dikalangan murid-murid, Mikeela bukan cewek sombong yang pilih-pilih teman dalam pergaulan. Ia sangat ramah dan mudah bergaul. Teman dan guru-gurunya menyukainya, seperti kisah roman anak sekolah sang Barbie pasti ada pasangan. Penta juga termasuk cowok terpopuler, bertampang ganteng, atletis, jago basket, dan kaya. Ia bagaikan Ken bersanding dengan Mikeela sang Barbie

Tapi dari semua itu, ada yang membuat mata Mikeela terus memandang penasaran. Itulah Sarmin, sebuah nama kampungan entah dari mana asalnya. Ini berawal pengumuman hasil semester seluruh sekolah. Di peringkat paling atas ada nama Sarmin.
“Siapa itu Sarmin, Keela? Kok aku baru tahu, anak kelas berapa?” tanya Kantil teman sebangku Mikeela.

“Nggak tahu, Kan. Kok ada di rangking pertama, yah?” jawab Mikeela penasaran.

“Wah, si Sarmin ini mengalahkan kamu. Hihihi …,” kekeh Kantil lagi

Mikeela tidak membalas sindiran Kantil. Matanya menerawang ke jendela kelas. Mikeela tergolong anak pintar di kelas. Selalu rangking satu. Pelajaran matematika, fisika, dan biologi jadi favoritnya. Cita-citanya ingin jadi dokter. Otak yang encer itu terbukti ketika ujian semester pertama. Ia menduduki peringkat 1. Teman-temannya mengira bahwa Mikeela akan melanjutkan tradisi itu semester berikutnya. Tapi, si Sarmin mematahkan semua itu. Siapa dia?

“Sarmin pasti seorang kutu buku, berkacamata tebal, dan senang menyendiri di perpustakaan untuk tenggelam bersama buku-buku tebal,” goda Kantil.

Ini yang membuat Mikeela penasaran. Kenapa ia bisa kalah dengan si Sarmin? Apakah ini kurang belajar atau kurang keras untuk menyimak pelajaran? Otaknya berkecamuk dengan pikiran.

“Aku harus tahu tentang Sarmin ini!” bisik Mikeela dalam hati.

Mulai ia menjelajah dan berburu info sekitar sekolah. Bertanya pada tukang kebun, satpam, atau bagian TU. Mereka hanya menunjukkan jika mencari Sarmin, carilah ke kantin. Tapi mereka tidak menerangkan ciri-ciri si Sarmin.

Setiba di kantin, Mikeela seperti anjing pelacak, mengendus mencari bau si Sarmin. Mungkin omongan Kantil ada benarnya. Sarmin berkacamata tebal dan introvert yang suka mojok di ujung kantin.

Mikeela menanyai setiap orang yang berkacamata dan membaca buku tebal.

“Apakah kamu Sarmin?”

“Kamu Sarmin?”

“Tahu nggak namanya Sarmin?”

Semua cowok yang berkacamata hanya menggeleng kepala tanda tidak tahu atau bukan Sarmin.

Mikeela jadi tontonan seantero kantin. Saat ia mulai lelah mencari, ada yang menepuk pundaknya.

“Hai, kamu mencari aku? Kenalkan, namaku Sarmin.”

Terpampang seorang cowok dengan rambut agak sedikit gondrong, kulit sawo matang, dan mulutnya selalu nyengar-nyengir seperti cowok urakan tak tahu sopan santun. Tidak berkacamata seperti yang dikira selama ini.

“Ih, nih cowok jorok banget!” kata Mikeela dalam hati. Ilfeel ketika melihat cowok di depannya berbicara sambil ngupil. Mikeela tidak menjawab, malah ngibrit dari kantin.


Gambaran Sarmin sangatlah berbeda. Orang tengil begitu kok rangking 1? Aih, alamak!

(Bersambung)

Biodata Penulis :


Ferry Fansuri kelahiran Surabaya adalah travel writer, fotografer dan entreprenur lulusan Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Pernah bergabung dalam teater Gapus-Unair dan ikut dalam pendirian majalah kampus Situs dan cerpen pertamanya "Roman Picisan" (2000) termuat. cerpen "pria dengan rasa jeruk" masuk antalogi cerpen senja perahu litera (2017). Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional. Dalam waktu dekat menyiapkan buku antalogi cerpen dan puisi tunggal.

Rabu, 15 Maret 2017

Sebuah Cerita Cinta, Tapi Bukan Love Story - Ferry Fansuri



Buku               : Celia Dan Gelas-Gelas Di Kepalanya
Penulis            : Lugina W.G dkk
Hal                  : 256 hlm
ISBN               : 978-602-391-147-9
Cetakan 1       : Mei 2016

Penerbit          : DIVA Press

Merawat Tradisi itulah didengungkan Edi AH Iyubenu-Rektor Kampus Fiksi, buku antologi “Celia dan Gelas-gelas di Kepalanya” ini termasuk bagian tersebut. Sebuah “Nexus” yang telah dirintis dari angkatan pertama dan sekarang angkatan tiga, layaknya kumpulan cerpen terbaik Kompas. Dikampus fiksi dijadikan tempat candradimuka para penulis muda yang ingin mengeluti dunia literasi.

Di dalam antologi ini terdapat 13 cerpen pilihan dari lulusan kampus fiksi, kita disuguhkan kata-kata absurd dan permainan diksi dalam imaji kepala kita. Tapi benang merah ada pada feminis dan cinta yang jadi penyambung bunga rampai ini. Salah satu terlihat pada “Lelaki yang menyatakan Cinta dengan menjadi Bayangan” menceritakan seorang lelaki beraroma gaharu rela menjadi kacung pada wanita yang dicintai biarpun ia hanya dimanfaatkan untuk sebuah ketenaran. Bahkan rela menjadi bayangan dan menghantui pacar yang tak mencintainya itu

“Menanggalkan seluruh pakaiannya dan menenggelamkan diri. Bayangan memeluknya. “Aku akan menjadi bayanganmu”bisik lelaki beraroma kayu gaharu” hal 73
Bayangan itu dan aroma gaharu itu membuat sang pacar rela mengiris hidungnya sendiri karena tak tahan siksaan tersebut. Begitu setianya yang lelaki ini untuk mantan pacarnya, iapun berbisik sekali lagi untuk menentramkan pacarnya.

“Semua orang mengaku mendengar bisikan, “Tolonglah. Jangan biarkan kekasihku kehilangan hidung sendirian” hal 75

Cinta mati akan membuat gila dan tidak masuk akal itu juga diperlihatkan pada “Yang menunggu di dalam Cermin”, disini percakapan seorang pria, wanitaku dan ibuku. Bahwa dalam satu rumah dalam khayalan pria ini ada wanita yang ia dicintai dan ibuku yang ia sayangi

“Ibu dan wanitaku sama-sama mendampingiku dengan cara mereka masing-masing” hal 217

Namun khayalan pria ini membuat ibunya sedih hingga memanggil dokter untuk mengecek kesehatan sang putera kesayangan. Tapi kenyataan pahit diterima sang ibu melihat sosok anaknya menjadi wanita yang ia cintai selama ini.

“Kubuka laci dan kukeluarkan sekotak kosmetik.aku mulai merias wajahku sendiri.Memolesbedak,lispstik, perona pipi, perona mata dan sedikit bayangan di rahang untuk menghaluskan garisnya.Kupasang pula bulu mata palsu yang lentik” hal 227

Beberapa dari cerpen dalam antologi terinspirasi akan khazanah sastra yang telah ada sebelumnya. Puisi contohnya, ini terlihat di “Cintalah yang Membuat Diri Betah untuk Sesekali Bertahan” ini merupakan penggalan dari “Melodia” karya Umbu Landu Paranggi dalam Manifes, Antologi Puisi 9 Penyair Yogya (1968).

Selain ada cerita “Kisah yang Tak Perlu Dipercaya” ini terkesan menyoal ending dari film The Curious Case of Benjamin Button yang diperankan Brad Pitt. Sebuah kisah tentang pria yang lahir dengan kondisi ringkih layaknya kakek-kakek tapi akhirnya meninggal dengan kondisi menjadi bayi.

Antologi tidak melulu tentang cinta berbeda kelamin tapi ada sempalan cinta orangtua kepada anaknya. Terdapat 3 cerita akan hal tersebut, seperti “Black Butterfly” pelarangan orang tua untuk menonton konser yang diklaim sesat sebagai ajaran sesat tapi pada akhirnya anak itu membuat bangga orangtuanya dengan membunuh idolanya sendiri.

Lain halnya “Dokumenter tentang lelaki yang menyekap “Seandainya” dimulutnya” ini menggambarkan seorang anak yang rela mencuri uang orang tuanya demi festival film konyol, tapi mendapati pelajaran berharga setelah bertemu seorang tua renta yang berceritakan kehilangan keluarga dengan cara aneh.

Ini juga menyembul dalam cerpen pilihan utama “Celia dan Gelas-Gelas di Kepalanya” milik Lugiwa W.G. Khayalan perempuan kecil bernama Celia akan kucingnya yang selalu membuat gaduh rumahnya, tapi ia tidak menyadari yang memecahkan kaca itu bukanlah kucingnya tapi pertengkaran orang tuanya.

“Setahu Celia, tak ada kucing yang begitu serampangan seperti Puffin”

“Seingat Celia, dulu Puffin tak pernah bertingakah nakal. Hal 93

“Memasuki ruang tengah, ia menyaksikan gelas terbanting ke lantai dan berserakan. Ia melihat tangan Papa melayang dan Mama terhuyung ambruk di dekat sofa” hal 102
Semua didalam antologi ini mengkontruksi ulang akan makna cinta, bukanlah cinta monyet atau percintaan anak muda yang dimabuk cinta. Penulis-penulis muda didalam antologi menjabarkan dengan imaji dalam otaknya dengan berbeda. Fiksi yang diciptakan terdapat kritik sosial yang disisipkan untuk diambil hikmahnya.

Mengekor dari ucapan Lorrie Moore seorang cerpenis terbaik saat ini. Ia mengatakan dalam bahasa sederhana dan puitis “A short story is about love but it is not a love story” Moore menjelaskan sebuah cerita pendek tentang cinta belum tentu itu cerita cinta. Itu terlihat jelas dalam antologi ini, maka jika anda membaca cerita-cerita di dalamnya bisa membuat sketsa atau ilustrasi sendiri dalam pikiran sendiri.

Biodata Penulis :


Ferry Fansuri kelahiran Surabaya adalah travel writer, fotografer dan entreprenur lulusan Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Pernah bergabung dalam teater Gapus-Unair dan ikut dalam pendirian majalah kampus Situs dan cerpen pertamanya "Roman Picisan" (2000) termuat. Puisi-puisinya masuk dalam antologi puisi festival puisi Bangkalan 2 (2017) dan cerpen "pria dengan rasa jeruk" masuk antologi cerpen senja perahu litera (2017). Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional. Dalam waktu dekat menyiapkan buku antalogi cerpen dan puisi tunggal.

Selasa, 14 Maret 2017

Kemarau - Ainia Praba



Aku galau
Berkawan kemarau
Terik berderik
Pada rindu bergidik

Aku hampa
Diterpa cahaya
Panas menyebar lara
Retak hati jadinya

Aku rapuh
Kering melepuh
Damba seutas embun
Mengguyur ubun-ubun

Oh, kemarau
Aku kacau
Tanpa basah
Aku resah

Kota Petir, 13032017
07:58 am



Tentang Penulis:



Ainia Praba (nama pena), lahir di kota Jepara Bumi Kartini, 18 November. Seorang ibu dari satu anak laki-laki. Alumni SMAN I Bangsri. Penyuka cappuccino dan cokelat. Hobi nomor satu menonton film. Menulis dominan puisi dan cerpen sejak SMP. Karyanya dimuat di majalah Story dan di beberapa buku antologi cerpen dan puisi.
Akun FB Ainia Praba, email haibara_ai20@yahoo.co.id