Berbicara mengenai puisi perjuangan, Chairil Anwar maestronya. Puisi
cinta? Sapardi Joko Damono berenang-renang di atasnya. Puisi rakyat? Orang
kecil nan pinggiran? Hm… jika kata ‘puisi’ disandingkan dengan ‘rakyat’, di
Indonesia ini, maka yang mencuat paling pertama hanyalah satu nama: Wiji
Thukul.
Bahwa hilangnya Wiji hingga hari ini adalah kenyataan pahit bagi dunia
sastra pada khususnya dan bagi Indonesia pada khususnya, bolehlah dibahas oleh
orang yang lebih ahli. Lebih mengerti lagi mumpuni, di tulisan-tulisan lain
yang akan kau cari setelah tulisan ini. Toh, aku juga masih ingusan bersinglet
warna-warni sewaktu Wiji dengan lantang mengobarkan semangat rakyat, buruh,
kelas bawah, dan semua pihak yang merasa tertindas oleh pemerintah saat itu.
Saat itu lho ya. Marilah kita disini, dengan meminta izin pada Wiji Thukul dan
keluarganya, dimanapun berada, mengupas dan menelaah mengenai bagaimana kita
bisa membuat karya puisi mengenai rakyat.
Perkembangan perpuisian di Indonesia itu pesat sekali, kawan. Tak
mati-mati ditelan zaman. Zaman saja mungkin sudah capek menelan. Didukung
sosial media yang semakin memfasilitasi penggunanya mengekspresikan diri,
ditambah film-film romantis yang membuat semua wanita ingin mendapat jodoh
lelaki pintar berpuisi semacam Rangga, puisi di Indonesia seperti meses dalam
roti. Penaburnya –pembuat puisi, semakin banyak pula bermunculan. Tentu hal ini
merupakan kebanggaan bagi Indonesia, dengan harapan kedepannya kualitas
karya-karya sastra Indonesia akan semakin diperhitungkan di kancah dunia. Namun
satu pertanyaan yang patut dilontarkan: apakah puisi kita hanya akan membahas
itu lagi itu lagi? Ambillah sebuah buku puisi, atau koran, atau ikuti satu akun
atau individu yang memuat puisi. Bisa ditebak akan banyak kata-kata semacam:
hujan, jingga, rindu, senja, rintik, dan cinta dan cinta dan kasih dan sayang
dan (maaf) menye-menye lainnya.
Oh, tentu tidak salah jika kita membuat puisi semacam itu. Aku juga
buat. Sapardi juga buat. Tapi bagaimana jika kita ‘berwisata’ sejenak? Lupakan
dahulu senja dan jingga. Masuklah pada kata-kata yang lebih umum, lebih
merakyat, lebih dekat dengan keseharian kita-kita, semacam: tikus, puskesmas,
baju loak, bakso, kontrakan, dan lain sebagainya. Joko Pinurbo melakukan ini,
sebenarnya. Dan banyak juga nama lain. Tetapi dan tetapi, hanya Wiji Thukul
yang hingga sekarang mumpuni untuk menggerakkan rakyat kelas bawah, yang
biasanya dibelai angin satu arah kipas angin rusak hingga masuk angin,
mencintai puisi pula.
Wiji lahir di Solo, keluarga tukang becak, tidak tamat SMK. Semenjak
mahir berpuisi, ia dengan konsisten menciptakan puisi-puisi yang dekat dengan
rakyat, menyentuh nasib rakyat, menyenggol bahu-bahu buruh, menciptakan gempita
bagi semua kalangan. Ah, tentu kalau diteruskan bisa-bisa melenceng perjalanan
kita. Maka beberapa poin berikut yang didapat dari pendalaman dangkal,
penghayatan sambil-lalu dan kontemplasi seadanya dari puisi-puisi Wiji Thukul,
kiranya mampu menginspirasi kita semua untuk sesekali banting setir dari
pujangga/penyair/penulis tentang cinta menjadi puisi bertema rakyat.
1.
Menjadi
‘rakyat’.
Tidak bisa dipungkiri, sebagian dari kita tak pernah berobat di
puskesmas (Reportase di Puskesmas, Wiji Thukul, 1986), atau menjadi abang atau lahir
di keluarga tukang becak yang mesti berhutang pada lintah darat, bank plecit,
dan tukang kredit (Nyanyian Abang Becak, Wiji Thukul, 1984). “Maka
dari itu, sulit ‘kan, membuat puisi rakyat! Aku kan tidak pernah kebagian peran
hidup jadi orang susah!” Nah, hal
itu salah besar, jeung, sist. Senyaman apapun hidup kita, ada banyak sederhana
yang tetap membuat kita menjadi ‘rakyat’. Tak perlulah sampai observasi
kehidupan pengamen, pengemis, atau profesi lain yang secara kurang ajar kita
sematkan label rakyat dan miskin. Mulailah dari kehidupan sehari-hari yang
dialami semua kalangan, rakyat atau gedongan, banyak duit atau banyak utang.
Misal: macet, jalan berlubang, banjir KRL penuh, barang KW, dsb.. Jika sudah
menemui satu tema unik, maka masuk tahap selanjutnya.
2.
Bebaskan
kata-kata, perluas wawasan
“Penyair haruslah berjiwa ‘bebas dan aktif’, …
memperluas wawasan dan cakrawala pemikiran akan sangat menunjang kebebasan
jiwanya dalam berkarya.” (Nyanyian Akar Rumput: Kumpulan Lengkap Puisi Wiji
Thukul, 2014)
Seperti kata Wiji diatas, perluaslah wawasan,
namun bebaskan kata-kata. Mengapa kedua hal ini penting disandingkan? Karena
kata-kata tanpa wawasan hanyalah omong besar. Dan wawasan tanpa dibebaskan
dengan kata-kata adalah omong kosong. Hal itu berlaku pula dalam puisi.
Misal kita akan membuat puisi tentang
kemacetan. Lalu pikiran kita melayang pada polisi lalu lintas tidak becus dan
pemerintah lebih tidak becus. Padahal, di depan sedang ada karnaval kemenangan
tim Indonesia dalam piala AFF (Seandainya tidak kalah dari Thailand. Haha). Jika kita langsung menuduh pemerintah
ini-itu, tentu puisi kita hanya akan terbatas pada macet dan pemerintah. Namun
jika kita tahu bahwa hari itu di jalan itu bakal ada karnaval, tentu puisi kita
akan lebih bercorak. Kita bisa dapat dua, tiga, bahkan lima kata kunci: macet,
karnaval, polisi, sepakbola, pemerintah. Bahkan jika wawasan kita lebih luas
lagi, bisa mengenai sejarah jalan yang kita lewati tersebut, atau bagaimana
keadaannya di hari biasa, atau bagaimana biasanya anak punk sering nongkrong disitu, tentu kosakata akan melimpah ruah.
Sejauh ini bakal ada sepuluh kosakata: macet, karnaval, polisi, sepakbola,
pemerintah, Tebet, hari Rabu, punk, ngamen,
lancar.
3.
Rangkai
kata-katamu!
Wiji Thukul adalah seniman, penyair pula dari
SD. Masuk grup Teater Jagat sejak SMP. Dengan latar belakang kehidupannya, bisa
dibilang pengetahuan mengenai nasib rakyat sudah khatam dalam otaknya. Ditambah
keterampilannya memilih-milih kata yang relevan semacam: siapa mau/disamakan dengan tikus/didudukkan/di kursi terdakwa/dituding
tuan jaksa/ingin menggulingkan negara (Tikus, Wiji Thukul, 1997) atau
favorit pribadi: mimpi-mimpi bagusku
kubunuh dengan kenyataan/tinggal tubuh kurus kering dan cericit tikus/ketika
kuterbaring tidur di tikar dan bantal/yang banyak bangsatnya (Dalam Kamar 6
x 7 Meter, Wiji Thukul). Tentu kata-kata semacam itu tidak hanya bisa
dituangkan oleh Wiji Thukul seorang. Jika kita bisa merangkai senja dan jingga dan hujan menjadi
puisi, kenapa tidak bagi macet, polisi,
sepakbola? Yang paling penting di poin ini adalah, jangan takut untuk
merangkai kata. Lihatlah, kata-kata semacam tikus
serta tidur di tikar dan bantal adalah
kata-kata yang tidak atau kurang memiliki nilai estetik. Tapi oleh Wiji,
dirangkai saja menjadi puisi. Ditambahi sedikit ini-itu dan pemenggalan
disini-situ, menjadi sebuah puisi yang bukan hanya dekat dengan rakyat, namun
indah dan nikmat sekali dibaca. Dan poin terakhir.
4.
Bertanggung
jawab dengan apa yang kau tulis.
Sekarang ini media sosial bagai pisau bermata
dua, harimau jinak-jinak galak. Salah-salah, kita sendiri bisa terkena
akibatnya jika mengeluarkan kata-kata yang tidak pada tempatnya. Dan berpuisi
tentang rakyat tak harus melulu protes pada penguasa, kok. Jangan lupa, kekasihku/jika kau ditanya siapa mertuamu/jawablah: yang
menarik becak itu/itu bapakmu, kekasihku (Jangan Lupa, Kekasihku, Wiji
Thukul, 1988). Yang paling penting tetap menjaga etika dari estetika berpuisi
tersebut agar tak ada yang merasa terhina. Kalaupun ingin menyasar pada suatu
pihak, alangkah baiknya dicermati dulu, apakah puisi yang akan dibagikan bisa
menyakiti hati orang lain? Ataukah puisi tersebut salah-salah malah jadi tiket
masuk bui?
Namun tentu saja, terlepas dari semuanya, tulislah kata-katamu,
rangkailah jadi puisi, berikan arti, berikan seni. Karena seperti kata Wiji, jangan kaupenjarakan ucapanmu!
*sumber: Wiji Thukul, 2014, Nyanyian
Akar Rumput: Kumpulan Lengkap Puisi, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.