Jumat, 10 Februari 2017

Wiji Thukul: Bagaimana Berpuisi Bersama Rakyat - Sastrawady


Berbicara mengenai puisi perjuangan, Chairil Anwar maestronya. Puisi cinta? Sapardi Joko Damono berenang-renang di atasnya. Puisi rakyat? Orang kecil nan pinggiran? Hm… jika kata ‘puisi’ disandingkan dengan ‘rakyat’, di Indonesia ini, maka yang mencuat paling pertama hanyalah satu nama: Wiji Thukul.

Bahwa hilangnya Wiji hingga hari ini adalah kenyataan pahit bagi dunia sastra pada khususnya dan bagi Indonesia pada khususnya, bolehlah dibahas oleh orang yang lebih ahli. Lebih mengerti lagi mumpuni, di tulisan-tulisan lain yang akan kau cari setelah tulisan ini. Toh, aku juga masih ingusan bersinglet warna-warni sewaktu Wiji dengan lantang mengobarkan semangat rakyat, buruh, kelas bawah, dan semua pihak yang merasa tertindas oleh pemerintah saat itu. Saat itu lho ya. Marilah kita disini, dengan meminta izin pada Wiji Thukul dan keluarganya, dimanapun berada, mengupas dan menelaah mengenai bagaimana kita bisa membuat karya puisi mengenai rakyat.

Perkembangan perpuisian di Indonesia itu pesat sekali, kawan. Tak mati-mati ditelan zaman. Zaman saja mungkin sudah capek menelan. Didukung sosial media yang semakin memfasilitasi penggunanya mengekspresikan diri, ditambah film-film romantis yang membuat semua wanita ingin mendapat jodoh lelaki pintar berpuisi semacam Rangga, puisi di Indonesia seperti meses dalam roti. Penaburnya –pembuat puisi, semakin banyak pula bermunculan. Tentu hal ini merupakan kebanggaan bagi Indonesia, dengan harapan kedepannya kualitas karya-karya sastra Indonesia akan semakin diperhitungkan di kancah dunia. Namun satu pertanyaan yang patut dilontarkan: apakah puisi kita hanya akan membahas itu lagi itu lagi? Ambillah sebuah buku puisi, atau koran, atau ikuti satu akun atau individu yang memuat puisi. Bisa ditebak akan banyak kata-kata semacam: hujan, jingga, rindu, senja, rintik, dan cinta dan cinta dan kasih dan sayang dan (maaf) menye-menye lainnya.

Oh, tentu tidak salah jika kita membuat puisi semacam itu. Aku juga buat. Sapardi juga buat. Tapi bagaimana jika kita ‘berwisata’ sejenak? Lupakan dahulu senja dan jingga. Masuklah pada kata-kata yang lebih umum, lebih merakyat, lebih dekat dengan keseharian kita-kita, semacam: tikus, puskesmas, baju loak, bakso, kontrakan, dan lain sebagainya. Joko Pinurbo melakukan ini, sebenarnya. Dan banyak juga nama lain. Tetapi dan tetapi, hanya Wiji Thukul yang hingga sekarang mumpuni untuk menggerakkan rakyat kelas bawah, yang biasanya dibelai angin satu arah kipas angin rusak hingga masuk angin, mencintai puisi pula.

Wiji lahir di Solo, keluarga tukang becak, tidak tamat SMK. Semenjak mahir berpuisi, ia dengan konsisten menciptakan puisi-puisi yang dekat dengan rakyat, menyentuh nasib rakyat, menyenggol bahu-bahu buruh, menciptakan gempita bagi semua kalangan. Ah, tentu kalau diteruskan bisa-bisa melenceng perjalanan kita. Maka beberapa poin berikut yang didapat dari pendalaman dangkal, penghayatan sambil-lalu dan kontemplasi seadanya dari puisi-puisi Wiji Thukul, kiranya mampu menginspirasi kita semua untuk sesekali banting setir dari pujangga/penyair/penulis tentang cinta menjadi puisi bertema rakyat.

1.       Menjadi ‘rakyat’.
Tidak bisa dipungkiri,  sebagian dari kita tak pernah berobat di puskesmas (Reportase di Puskesmas, Wiji Thukul, 1986), atau menjadi abang atau lahir di keluarga tukang becak yang mesti berhutang pada lintah darat, bank plecit, dan tukang kredit (Nyanyian Abang Becak, Wiji Thukul, 1984).  “Maka dari itu, sulit ‘kan, membuat puisi rakyat! Aku kan tidak pernah kebagian peran hidup jadi orang susah!”  Nah, hal itu salah besar, jeung, sist. Senyaman apapun hidup kita, ada banyak sederhana yang tetap membuat kita menjadi ‘rakyat’. Tak perlulah sampai observasi kehidupan pengamen, pengemis, atau profesi lain yang secara kurang ajar kita sematkan label rakyat dan miskin. Mulailah dari kehidupan sehari-hari yang dialami semua kalangan, rakyat atau gedongan, banyak duit atau banyak utang. Misal: macet, jalan berlubang, banjir KRL penuh, barang KW, dsb.. Jika sudah menemui satu tema unik, maka masuk tahap selanjutnya.

2.       Bebaskan kata-kata, perluas wawasan
“Penyair haruslah berjiwa ‘bebas dan aktif’, … memperluas wawasan dan cakrawala pemikiran akan sangat menunjang kebebasan jiwanya dalam berkarya.” (Nyanyian Akar Rumput: Kumpulan Lengkap Puisi Wiji Thukul, 2014)
Seperti kata Wiji diatas, perluaslah wawasan, namun bebaskan kata-kata. Mengapa kedua hal ini penting disandingkan? Karena kata-kata tanpa wawasan hanyalah omong besar. Dan wawasan tanpa dibebaskan dengan kata-kata adalah omong kosong. Hal itu berlaku pula dalam puisi.

Misal kita akan membuat puisi tentang kemacetan. Lalu pikiran kita melayang pada polisi lalu lintas tidak becus dan pemerintah lebih tidak becus. Padahal, di depan sedang ada karnaval kemenangan tim Indonesia dalam piala AFF (Seandainya tidak kalah dari Thailand. Haha).  Jika kita langsung menuduh pemerintah ini-itu, tentu puisi kita hanya akan terbatas pada macet dan pemerintah. Namun jika kita tahu bahwa hari itu di jalan itu bakal ada karnaval, tentu puisi kita akan lebih bercorak. Kita bisa dapat dua, tiga, bahkan lima kata kunci: macet, karnaval, polisi, sepakbola, pemerintah. Bahkan jika wawasan kita lebih luas lagi, bisa mengenai sejarah jalan yang kita lewati tersebut, atau bagaimana keadaannya di hari biasa, atau bagaimana biasanya anak punk sering nongkrong disitu, tentu kosakata akan melimpah ruah. Sejauh ini bakal ada sepuluh kosakata: macet, karnaval, polisi, sepakbola, pemerintah, Tebet, hari Rabu, punk, ngamen, lancar.

3.       Rangkai kata-katamu!
Wiji Thukul adalah seniman, penyair pula dari SD. Masuk grup Teater Jagat sejak SMP. Dengan latar belakang kehidupannya, bisa dibilang pengetahuan mengenai nasib rakyat sudah khatam dalam otaknya. Ditambah keterampilannya memilih-milih kata yang relevan semacam: siapa mau/disamakan dengan tikus/didudukkan/di kursi terdakwa/dituding tuan jaksa/ingin menggulingkan negara (Tikus, Wiji Thukul, 1997) atau favorit pribadi: mimpi-mimpi bagusku kubunuh dengan kenyataan/tinggal tubuh kurus kering dan cericit tikus/ketika kuterbaring tidur di tikar dan bantal/yang banyak bangsatnya (Dalam Kamar 6 x 7 Meter, Wiji Thukul). Tentu kata-kata semacam itu tidak hanya bisa dituangkan oleh Wiji Thukul seorang. Jika kita bisa merangkai senja dan jingga dan hujan menjadi puisi, kenapa tidak bagi macet, polisi, sepakbola? Yang paling penting di poin ini adalah, jangan takut untuk merangkai kata. Lihatlah, kata-kata semacam tikus serta tidur di tikar dan bantal adalah kata-kata yang tidak atau kurang memiliki nilai estetik. Tapi oleh Wiji, dirangkai saja menjadi puisi. Ditambahi sedikit ini-itu dan pemenggalan disini-situ, menjadi sebuah puisi yang bukan hanya dekat dengan rakyat, namun indah dan nikmat sekali dibaca. Dan poin terakhir.

4.       Bertanggung jawab dengan apa yang kau tulis.
Sekarang ini media sosial bagai pisau bermata dua, harimau jinak-jinak galak. Salah-salah, kita sendiri bisa terkena akibatnya jika mengeluarkan kata-kata yang tidak pada tempatnya. Dan berpuisi tentang rakyat tak harus melulu protes pada penguasa, kok. Jangan lupa, kekasihku/jika kau ditanya siapa mertuamu/jawablah: yang menarik becak itu/itu bapakmu, kekasihku (Jangan Lupa, Kekasihku, Wiji Thukul, 1988). Yang paling penting tetap menjaga etika dari estetika berpuisi tersebut agar tak ada yang merasa terhina. Kalaupun ingin menyasar pada suatu pihak, alangkah baiknya dicermati dulu, apakah puisi yang akan dibagikan bisa menyakiti hati orang lain? Ataukah puisi tersebut salah-salah malah jadi tiket masuk bui?

Namun tentu saja, terlepas dari semuanya, tulislah kata-katamu, rangkailah jadi puisi, berikan arti, berikan seni. Karena seperti kata Wiji, jangan kaupenjarakan ucapanmu!


*sumber: Wiji Thukul, 2014, Nyanyian Akar Rumput: Kumpulan Lengkap Puisi, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. 


Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Kirimkan karyamu ke sastraindonesiaorg@gmail.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.