"Sepertinya kau harus mulai
melupakannya." Ucapan Darsy mendesirkan hati. Meskipun begitu, tak
kuacuhkan perkataannya barusan.
Kuteruskan kegiatanku yang sebenarnya tak bisa
dibilang kegiatan. Aku hanya memandangi langit. Menggantungkan harapan pada
samudra yang menjingga. Harapan tentangnya, yang meninggalkanku dalam kehampaan
indah dan penantian tak membosankan.
Kudengar Darsy mendengus di sampingku. Mungkin
dia lelah setelah selama ini berusaha menghentikan kegalauanku.
"Ya, sudahlah. Jangan lupa kita ada seminar
setelah makan malam," katanya kemudian berlalu. Tentu saja aku tak lupa.
Walaupun terasa perih seluas langit, namun aku tak pernah mengabaikan tugas.
Kulirik kepergian Darsy dan menemukan seseorang
berdiri di sudut sana, dengan pandangan yang sama dengan Darsy. Laki-laki yang
sudah kuanggap seperti ayahku sendiri itu pun pasti berpikiran sama tentangku.
Kubaca rasa prihatin di pelupuk matanya. Hanya saja tak terucapkan seperti
Darsy.
Mungkin sudah lebih dari tujuh ratus hari
kulewatkan senja dengan menatap langit. Memeluk harap akan kehadirannya dari
sela-sela awan. Atau untuk sekedar mengabadikan bayang satu kenangan. Kenangan
di kala dia datang ke duniaku. Kelembutan mata, jiwa pelindung, dan keberaniannya
telah membuatku jatuh cinta. Meski ada setitik ragu mengingat kami berasal dari
dunia yang berbeda. Namun keraguan itu terhapus oleh janjinya yang akan
kembali. Janji yang terucap seiring kecupan di keningku sebelum dia meniti
jembatan itu, kembali ke langit. Janji yang belum ditepati hingga tahun-tahun
berganti
Senja itu mendung dan aku kacau. Berulang kali
kumasukkan angka-angka yang salah pada laporanku. Aku diam sejenak, menghirup
nafas dalam dan kuhembuskan perlahan. Rasa perih muncul di hembusan akhir.
Rindu itu telah merebak melahirkan luka. Namun aku tahu aku sanggup, harus
sanggup, karena aku sangat mencintainya.
Genangan di mataku hampir meleleh saat Darsy tergopoh-gopoh masuk
ke ruanganku. Wajahnya tampak nanap.
"Kau, kau tak akan percaya ini!"
Serunya kemudian menarik tanganku.
Aku terperangah melihat pemandangan itu. Di
langit, mendung itu memekat, membentuk lingkaran. Percikan petir menari-nari di
sekitar. Angin berhembus kencang meniupkan harapan. Bukan takut atau cemas akan
cuaca, namun justru senyuman yang terbentuk di bibirku. Genangan di mataku
akhirnya pecah, bukan karena lara, namun bahagia saat kutemukan sosok itu.
Kekasihku yang turun dari langit meniti jembatan pelangi secepat kilat,
mendarat di tengah lingkaran yang terukir serupa sihir. Dan sosok itu sekarang
berdiri di hadapanku, dengan senyum semanis madu.
"Kau merindukanku, Jane?" ucapnya.
Dan tiada lagi kata, kusandarkan tubuh ke
dadanya, bersembunyi di antara hangatnya pelukan tangan yang kekar.
Ya, tentu saja aku sangat merindukanmu, Thor.
Bisikku dalam hati.
New Mexico sebelah Depok, 140217
Tentang Penulis
Ainia Praba (nama
pena), lahir di kota Jepara Bumi Kartini, 18 November. Seorang ibu dari satu
anak laki-laki. Alumni SMAN I Bangsri. Sekarang tinggal di Depok. Lulus kuliah
tahun 2009. Penyuka cappuccino dan cokelat. Hobi nomor
satu menonton film. Menulis dominan puisi dan cerpen sejak SMP. Karyanya dimuat
di majalah Story tahun 2011 dan di beberapa buku antologi.
Akun FB Ainia Praba,
email haibara_ai20@yahoo.co.id
Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Simak ketentuannya di sini
Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Simak ketentuannya di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.