Katakan Putus - Natalia Dennoupa |
"Bahkan si bisu aja dapat bilang cinta meski hanya dalam selembar kertas. Lalu dia? Yang bisa bicara tapi tak ingin sedikitpun memberanikan diri mengatakan cinta. Pantaslah disebut pecundang!"
Sindiran itu tak cukup mampu membuat dia peka. Malah berjalan santai tanpa menoleh dengan angkuhnya. Argh! Andai saja aku tak mencintaimu, ingin kupatahkahn ego dan gengsimu, Ritter. Biar perlu kubakar buku sejarah yang telah berani menjadi kekasih kedua.
"Haruskah kutarik telinganya itu agar sedikit mencerna apa yang kukatakan?"
"Sabar, Der. Bentar lagi peka, kok. Mungkin tadi pagi dia gak sarapan makanya waktu disindir rada budek."
"Lah, apa hubungannya?" Berta hanya mengeleng dengan senyum bodohnya.
Astaga, salah apa aku Tuhan? Hingga punya pacar dan teman yang buat darah ini mendidih tiap waktu.
"Pergi sebelum lemak yang ada ditubuhmu itu jadi pepes!"
Tanpa perlu menunggu lama segera Berta berlari menjauhiku. Dengan lari yang mengemaskan. Bagaimana tak gemas melihat tubuh gempalnya berlari dengan tumpukan lemak yang turun naik.
_____
Bel berbunyi memanggil kami seperti tahanan. Membisingkan. Kulihat dia ada di sana, sedang membaca buku sejarah tanpa berkedip. Saking cintanya pada buku tua itu hingga suara bel yang mirip petir saja tak terdengar.
"Baca aja tuh buku sejarah. Dari awal pacaran sampai sekarang cuma buku tua ini yang kamu perhatiin. Sedang aku? Harus nangis dulu biar dapat sebatang coklat, harus sakit baru kasih perhatian. Ritter, kamu itu niat gak sih, pacaran?"
Tak ada jawaban. Ah! Nasibmu Dera harus punya pacar yang punya suara tapi milih jadi si bisu. Dan mata empat yang selalu disibukkan pada kata-kata membosankan dilemparan usang.
"Riter!" suara ini sudah cukup kencang untuk membuat ia sadar bahwa aku ini sedang bicara padanya.
"Emh, ada apa, Der?" tersenyum menampilkan deretan gigi yang ia pagari dengan kawat bewarna merah. Mirip cabai yang tersangkut saat makan. Menjijikan!
"Jadi dari tadi kamu denger, gak?"
"Denger,kok," bangkit dari kursinya,"denger lalat lagi cuap-cuap manja di telinga. Itu aja, sih."
Kesabaranku kembali diuji. Jadi, suaraku hanya cuap-cuap manja si lalat?
"Emangnya kenapa?" lanjutnya.
"Bel masuk udah bunyi, Rit! Makanya telinga tuh dipake! Tau dah, punya hati, telinga, mulut, tapi gak ada yang sesuai fungsinya. Semua cuma terfokus pada buku sejarah."
Ritter hanya mangut-mangut. Kutarik saja tangannya agar segera berjalan menuju kelas yang berada di ujung dekat pohon ara.
_____
Di perjalanan menuju kelas tanpa terduga aku memikirkan sesuatu.
"Bagaimana kalo kita putus?"
"Kenapa putus?"
Respon ini yang kutunggu. Mungkin sebentar lagi akan merayu dengan gombalan ala anak remaja yang unyu-unyu.
"Aku mau putus, biar aku bisa pacaran lebih lama sama rumus fisika." alasan yang tak masuk akal ini kuutarakan agar bisa menjadi bahan candaan. Namun,dia balas tak kalah mencengangkan.
"Berarti kita putus mulai detik ini. Lagian aku juga mau fokus pacaran sama buku sejarah. Seengggaknya dia gak bawel kayak kamu. Gak perlu dirayu dan gak minta ini itu."
Kutatap dia dengan tatapan marah,"Seenggaknya rumus fisika gak sekaku kamu! Kita PUTUS!"
Detik ini juga kuhapus dia dari hatiku. Ah, siapa yang mau dengan lelaki yang begitu kaku? Jika bertemu dengannya lagi akan kurontokkan giginya dan patahkan kakinya. Tapi, aku lupa kami pasti akan terus bertemu karna sekelas. Biarlah. Yang penting aku tak ingin lagi menemukan pacar seperti dia.
_________
Tamat
Biodata :
Natalia Dennoupa |
Natalia Dennoupa. Penulis kelahiran 23 September 2001. Tinggal dan besar di Singkawang, Kalbar. Saat ini masih bersekolah di SMPN 14 Singkawang. Dapat menghubungi lewat akun facebook Natalia Dennoupa dan e-mail ndennoupa@gmail.com.
Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Kirimkan karyamu ke sastraindonesiaorg@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.