Jamur Kehidupan - Amaliya Khamdanah |
Bumi?
Aku pernah mendengarnya sekali, nama yang sangat cantik. Kuyakin penghuni planet
Bumi juga sangat cantik dan tampan bahkan sangat menawan seperti namanya—Bumi.
Aku terdiam di teras rumah, pandanganku jatuh tepat mengenai taman di seberang
jalan.
“Zero, kau melamunkan apa?” sapanya
melihatku. Pandanganku masih sama—jatuh pada taman di seberang jalan, “kau
melamunkan jamur raksasa itu?” sambungnya berkata lirih seolah-olah tahu hal
yang sedang mengganggu pikiranku. Aku mengangguk.
“Kakak,” balasku pelan. Sosok
bayangan putih dengan dengan telinga sedikit menjulang keatas dan memiliki
sayap itu melihatku lalu tersenyum, “benarkan Bumi itu ada?” tanyaku lagi
padanya. Sosok bayangan itu adalah kakaku, wujudku pun sama dengannya hanya
saja aku sedikit pendek darinya.
Aku menunggu penjelasannya, didetik
berikutnya kami saling berdiam diri dan tak sepetah kata pun keluar dari
mulutnya. Aku menghela napas perlahan.
“Aku ingat dulu sekali,” ujarnya
setelah beberapa menit terdiam. Kuyakin, selama itu kakak sedang memikirkan
pertanyaan sederhana dariku. Aku menoleh kearahnya, menatap kedua bolamatanya
yang bening itu. “ketika Papa belum ditugaskan di taman pusat Kota,” lanjutnya
seakan menerawang ke masa lalu.
“Papa tergabung dalam misi
penyelamatan planet ini, Dik.” ucapannya kini terdengar pelan, bahkan aku yang
tengah duduk di sampingnya terdengar samar-samar.
“Apa? Misi penyelamatan planet ini,
Kak?” balasku mengulang ucapannya lagi. Sosok bayangan putih itu mengangguk.
Aku melihat ada sedikit cairan bening yang keluar dari sudut matanya, “lalu
bagaimana, Kak, setelahnya?” lanjutku, kupasang telinga tinggi-tinggi agar
pendengaranku tak bermasalah.
“Dalam misi itu Papa ditugaskan
untuk pergi ke planet Bumi, Dik, mencari tanaman sebagai penawar untuk planet
kita agar tetap terjaga.” terangnya lagi. Aku melihatnya lagi, cairan bening
perlahan meluncur dari sudut matanya, “tapi…”
***
“Papa!” Sosok bayangan putih kecil
itu setengah berlari, kakinya terseok-seok, terlihat lemah. Sosok bayangan
lainnya berlarian mencari tempat perlindungan, puluhan meteor jatuh
berkali-kali menimpa banyak rumah bahkan beberapa sosok bayangan putih bersayap
lainnya juga mati terkena meteor.
“Cepat masuk Zee, lepaskan anakmu!”
teriak sosok bayangan putih bersayap berperawakan gagah itu dari dalam pesawat,
“cepatlah, kita harus segera mencari perlindungan dari planet lain, tak ada
waktu untuk bersedih, Zee!” lanjutnya.
Sosok
bayangan putih bersayap berperawakan gagah itu adalah pimpinan dari misi
penyelamatan planet Zet. Sayap putihnya tampak sedikit retak, karena beberapa
kali terbang menyelamatkan sosok-sosok lainnya yang terjebak dalam rumah.
“Papa!”
teriak sosok bayangan putih kecil itu lagi, ia berlari terseok-seok, sayap
kecilnya belum bisa terbang sosok seumuran seperti yang lainnya—ia cacat.
Brugh!
Sosok
bayangan putih kecil itu terjatuh, pingsan di tengah-tengah keramaian
sosok-sosok lainnya yang tengah berlarian tak menentu.
“Zei!”
sosok lainnya menghampiri penuh kekhawatiran, lantas menggendongnya sekuat
tenanga menuju tempat yang paling aman—menurutnya.
“Kau
akan aman di sini, Nak,” lirihnya setelahnya sosok bayangan putih bersayap itu
melangkah pergi, mencari sesuatu yang tentunya bisa dimakan.
Hujan
meteor telah terjadi beberapa akhir tahun ini, pasalnya hanya ada satu meteor
yang jatuh setahun sekali. Namun, beberapa tahun belakangan setiap bulan bahkan
minggu puluhan meteor jatuh mengenai planet Zet. Penduduk sekitar mulai was-was
karena ada mitos-mitos yang berkembang di planet Zet baru-baru ini, tentang
hancurnya planet bayangan.
“Harus
ada penyelamat!” ujar sosok bayangan putih bersayap yang tengah duduk bersila
di beranda rumah.
“Kau
yakin atas ucapanmu itu, Pak Tua?” balas yang lain.
Sosok
bayangan putih bersayap itu adalah tetua dari planet Zet, di yakini adalah
turunan pertama dari penemu planet bayangan—Zet. Pak Tua itu hanya mengangguk,
kedua matanya memejam, seolah-olah menerawang menuju masa depan dan nasib-nasib
yang akan menimpa planet bayangan.
“Segeralah
membentuk gabungan penyelamat planet Zet, dan segeralah pergi ke planet Bumi.”
Pak Tua itu membuka matanya, seakan-akan sudah mendapat jawaban atas ritual
singkatnya beberapa menit yang lalu.
“Planet
Bumi? Di manakah itu, Pak Tua?” tanya sosok bayangan putih bersayap tinggi
kurus itu. Pak Tua terdiam sesaat, seolah-olah mencoa mengingat perkataan
kakeknya dulu.
“Kau
harus terbang jauh kearah timur, hingga menemukan batas dimensi yang
menyilaukan, dan disana kau akan melihat planet Bumi. Lekaslah kesana,
anak-anak muda! Meteor lainnya akan segera turun dan menghancurkan planet
kita.” terang Pak Tua lagi, “jangan tunda waktu lagi.” tutupnya.
Hujan
meteor berulang kali berjatuhan, ucapan Pak Tua seminggu yang lalu benar terjadi
meteor lainnya akan segera turun dan
menghancurkan planet kita. Sosok-sosok bayangan putih bersayap dengan
telinga sedikit menjulang telah mempersiapkan banyak hal termasuk pesawat dan
alat-alat pendukung lainnya. Sosok-sosok bayangan bersayap putih telah
merencanakan penyelamatan untuk planet Zet agar tidak hancur dan hilang dari
jagad raya.
Hujan
meteor semakin hari semakin banyak yang berjatuhan, nyawa sosok bayangan putih
banyak yang telah mati. Darurat!
***
BERSAMBUNG ke Jamur Kehidupan 2
Biodata Penulis :
Amaliya Khamdanah |
Amaliya Khamdanah, lahir di Demak 7 Agustus
1998. Beberapa tulisannya dimuat dalam buku antologi terbitan Penerbit Indie.
Jangan lupa kunjungi juga blog absurdnya
di amaliyakhamdanah.blogspot.com
Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Kirimkan karyamu ke sastraindonesiaorg@gmail.com.
0 Response to "Jamur Kehidupan - Amaliya Khamdanah"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.