Add caption |
“Pak
Tua?” tanya lelaki paruh baya dengan jenggotnya panjang berwarna putih.
“Kami dari planet Zet, Tuan.” balas
sosok bayangan putih bersayap sedikit gugup.
Lelaki paruh baya itu terdiam,
mencoba mengingat lagi akan masa lalunya termasuk nama Pak Tua. Lelaki paruh
baya tinggal di dekat hutan belantara, hutan yang jarang di singgahi oleh
manusia, karena jarang di singgahi itulah tumbuh berbagai macam tanaman dari
berbagai belahan bumi bahkan planet lainnya dengan subur.
“Yaya, Aku adalah teman dekat dari
Pak Tua, ada gerangan apakah engkau dan kawananmu kemari?” tanya lelaki paruh
baya setelah kembali mengingat.
Sosok bayangan putih bersayap yang
tampak retak itu menjelaskan segalanya—hujan meteor—yang melanda planet Zet,
dan hancur jika tak segera di hentikan. Alasannya hanya satu, makhluk dari
planet Zet harus tetap menjaga sepenuh hati planetnya seperti pasan terakhir
penemu planet bayagan sebelum tiada.
Lelaki paruh baya itu
mengangguk-angguk, seutas senyum tua miliknya terukir indah bersamaan
guratan-guratan di wajahnya—tampak tua—dan pemikirannya tak setua wajahnya. “Carilah
tanaman yang bersinar di tengah hutan belantara.” ujarnya tanpa menatap
sosok-sosok bayangan putih bersayap. Lelaki paruh baya itu memejamkan mata sama
seperti yang dilakukan Pak Tua, “manusia menyebutnya jamur kuning keemasan,
ambillah tujuh jamur dan tanam di planet kalian, ingat hanya tujuh,” lanjutnya
dengan mata yang masih memejam. Sosok bayangan putih bersayap saling mengangguk
tak berani berkata.
“Ketujuh jamur akan menjadi
pelindung di planet mu, dan lihatlah keajaiban-keajaiban selanjutnya. Segeralah
mencari dan selamatkanlah nyawa-nyawa makhluk di planetmu.” Lelaki peruh baya
itu berucap dengan senyum kehangatan.
“Terima kasih, Tuan,” sosok bayangan
putih bersayap itu saling menyalami lelaki paruh baya sebelum akhirnya berjalan
jauh memasuki hutan belantara.
“Sampaikan salam hangatku pada Pak
Tua!” teriak lelaki paruh baya setelah sadar melupakan salam untuk teman
dekatnya. Sosok-sosok bayangan putih bersayap tersenyum lantas mengangguk.
***
“Tujuh jamur yang tumbuh di seberang
jalan sana adalah jamur kehidupan, Dik.” ujar Kakak menunjuk taman jamur di
seberang jalan. Ia tersenyum menatapnya. Aku masih melihat disudut matanya
masih ada cairan bening yang hampir melesat jatuh.
“Mungkin tanpa jamur-jamur itu kakak
dan yang lainnya tak akan hidup, dan kemungkinan besar kau tak akan lahir di
planet ini,” lirihnya. “karena ketujuh jamur itu planet kita aman dari serangan
meteor. Kau tahu, Dik? Di ujung Barat sana terdapat banyak hutan jamur, Papa
dan anggota Misi Penyelamat Planet yang mengelolanya.” Balasnya. Kali ini raut
mukanya berubah bersinar, bahkan cairan bening yang tak lain adalah air mata
miliknya itu telah sirna.
“Kakak pernah kesana?” tanyaku
penasaran, kedua bola mataku membulat, telingaku kembali meninggi seolah-olah
tak mau ketinggalan info terpenting tentang planet Zet.
“Ketika pertengahan bulan tiba,
semua jamur-jamur yang tumbuh di hutan jamur akan bercahaya dan ketujuh jamur
tersebut pun juga mengeluarkan cahaya keemasannya. Indah sekali.” jawabnya
dengan mata yang berkaca-kaca.
“Karena
cahaya keemasan dari jamur-jamur itu kita masih bisa hidup di planet Zet ini,
Dik.” lanjutnya tersenyum lebar, “pertengahan bulan Papa dan Mama mengajak kita
untuk menikmati keindahan jamur-jamur kehidupan.” tutupnya yang masih tersenyum
melihatku.
Aku
mengangguk paham. Aku masih menerka-nerka seperti apakah jamur-jamur bercahaya
keemasan itu. Aku kembali mengangguk seolah berdoa agar pertengahan bulan
segera terjadi.
TAMAT
Biodata penulis :
Amaliya
Khamdanah, lahir di Demak 7 Agustus 1998. Beberapa tulisannya dimuat dalam buku
antologi terbitan Penerbit Indie. Jangan lupa kunjungi juga blog absurdnya di
amaliyakhamdanah.blogspot.com
Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Kirimkan karyamu ke sastraindonesiaorg@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.