Kamis, 02 Februari 2017

Hari yang Tak Terdaftar - Dhimas Ardhyyo Prantoko



Oleh :Dhimas Ardhyyo Prantoko

Senyum kecil dari bibir Enorcher seakan meliarkan aura gelap menyelimuti tubuhnya, yang duduk terpasung pada sebuah kursi khusus bagi para terdakwa yang sedang menjalani proses interogasi. Dari tatapan matanya yang lugas, menunjukkan sikap percaya diri yang tak terbantah, tanpa dia mengatakannya. Sebenarnya dia membalas tatapan mata Marxes yang merasa menang lima puluh satu persen bahwa dia berhasil menangkap pria dengan kemampuan membunuh misterius, buronan bintang tiga bulan ini.

Didampingi Kalvaki, penjaga ruang interogasi dari kepolisian yang berbadan kekar di sebelah kanan, dan Agen Intelejen Rogias di sebelah kirinya, Marxes memulai interogasi.

“Aku kagum dengan caramu membunuh. Kau seperti mengendalikan korban, tanpa harus membunuhnya langsung. Metode apa yang kau gunakan?” Marxes sambil melangkah pelan menghampiri Enorcher yang terpasung pada kursinya.

“Apa kau percaya kalau aku bisa berpindah tempat semauku, Detektif Marxes?”

“Memesan taxi?”

“Maksudku pindah dari tempat asal ke tempat yang kutuju dalam hitungan detik.”

“Orang ini blak-blakan,” kata Kalvaki lirih ke Rogias.

“Dan sangat  tenang,” balas Rogias.

“Aku punya masalah. Seorang detektif tidak menulis narasi fantastik pada laporannya. Bagaimana kalau ubah sudut pandangnya, menurut ilmu fisika atau psikologi misalnya?” kata Marxes.

“Aku pun tidak mengerti keahlianku termasuk dalam bidang apa. Tapi benar kalau aku bisa menghilang.”

“Apa kau belajar kimia, Rogias?” Tanya Kalvaki.

“Tidak,” jawab Rogias.

“Aku juga tidak,” sambung Kalvaki.

“Apa kau melakukannya sendirian?” Tanya Marxes.

“Aku melakukannya bersama diriku yang lain. Kadang kalau situasinya sangat sulit aku minta bantuan diriku yang lainnya lagi,” jawab Enorcher.

“Mungkin maksudnya seorang rekannya bernama Enorcher,” komentar Kalvaki.

“Yang kau maksud dua rekannya,” komentar Rogias.

“Lebih jelasnya?” Tanya Marxes.

“Aku bisa lebih dari satu,” jawab Enorcher.

“Sampai berapa banyak?” Tanya Marxes.

“Selama ini paling banyak tiga, tapi lebih sering berdua,” jawab Enorcher.

“Semacam jurus seribu bayangan?” Tanya Kalvaki pada Enorcher.

“Tidak sampai seribu,” jawab Enorcher.

“Cukup, langsung ke intinya! Bagaimana caramu membunuh?” Marxes jadi lebih serius.

“Baiklah, akan aku tunjukkan! Tapi aku tanya sekali lagi, apa kau percaya kalau aku bisa 
menghilang?”

“Tidak.”

“Aku tidak membunuh pada hari biasa, karena aku membunuh pada hari yang tidak terdaftar.”

“Hari apa itu?”

“Kadang di hari Versteta, Bihvolach dan Nascosta.”

“Hari apa itu?”

“Hari yang tak terdaftar.”

“Apa dua puluh empat jam satu harinya?”

“Tidak, aku tidak tahu pasti karena jumlah jamnya berubah-ubah. Kadang begitu cepat kadang begitu lambat.”

“Di mana hari itu di antara Minggu sampai Sabtu?”

“Tidak tentu.”

“Apa itu hari libur?”

“Bisa hari libur, bisa tidak.”

“Dalam minggu ini jatuh tanggal berapa hari itu?”

“Tanggal yang tidak terdaftar, kalau dalam minggu ini, setelah hari ini dan sebelum besok ada Hari Vesteta yang jatuh pada tanggal dua puluh kuevo.”

“Dua puluh kuevo? Apa kuevo itu angka? Bilangan ganjil, genap, prima?

“Semuanya tidak, tapi kuevo memang angka. Angka yang tak terdaftar.”

“Hhhs! Tak terdaftar, karena itu illegal.” Marxes kesal. “Sekarang buat aku percaya!”

“Baiklah. Pertama, lihat kedua rekanmu.” Yang dimaksud adalah Kalvaki dan Rogias. Marxes balik badan, kemudian dirinya terkejut dengan apa yang terjadi pada kedua rekannya. Sungguh tidak dapat dipercaya.

“Kalvaki, Rogias! Marxes menghampiri keduanya yang tergeletak di belakang bangku interogasi. Marxes periksa nadi dan bebeapa bagian kulit mereka berdua. Pingsan, sedikit pun tidak ada luka pada tubuhnya, tidak ada racun atau obat pada mulut dan lubang hidung. Marxes memalingkan wajah ke Enorcher. Tapi pemandangan kali ini tidak kalah mencengangkan.

“Enorcher!” Mata Marxes menelusuri ke semua sudut ruang interogasi, percuma.
Bagaimana mungkin!? Enorcher tiba-tiba menghilang. Batin Marxes, lalu bergegas memeriksa pasung pada kursi penyekap Enorcher. Masih terkunci!? Bagimana bisa!?”
Tiba-tiba pandangan Marxes menjadi hitam, gelap.



=====
Perlahan, Marxes membuka matanya. Pandangannya yang buram jadi semakin jelas. Marxes sadar dia berada dalam kantor pribadinya. Dihadapan arahnya memandang, seorang wanita berpakaian formal khas kantoran membuka pintu, masuk ke ruangnya sambil membawa segelas minuman. Wanita itu menghampiri Sang Detektif.

“Bagaimana kabarmu, Detektif?”

“Baik, aku lebih dulu terbangun sebelum kau datang. Apa kau merasa aneh di hari ini, Svreena?”

“Tidak, mungkin hari yang aneh untukmu,” jawab Svreena sambil menaruh secangkir minuman yang dia bawa ke atas meja kerja Marxes. “Minumlah! Masih hangat.”

“Kopi bunga hope kesukaanku, terimakasih!” Marxes meminum sedikit kopi itu. “Apa yang aneh padaku hari ini?”

“Hmhm, Enorcher akan membunuhmu pada tanggal dua puluh kuevo, hari ini, Hari Vesteta.”

“Tapi sekarang Hari Rabu tanggal dua puluh tiga.”

“Tidak, kataku benar. Lihat kalendermu!”

Marxes melihat kepada kalender hari tunggal di sebelah kanan di atas meja kerjanya. Tidak begitu terkejut kali ini dengan yang dia lihat, hanya merasa aneh, kalender menunjukkan Hari Vesteta tanggal dua puluh kuevo yang tidak sedang tanggal merah. Marxes membolak-balik kalendernya ke tanggal sebelum dan sesudah tanggal aneh itu. Dua puluh tiga, dua puluh kuevo, dua puluh empat.

“Apa aku sedang bermimpi, Svreena?”

“Entahlah. Apa kau percaya adanya hari ini, Marxes?”

“Tidak bisa dipercaya, kecuali aku sedang bermimpi sekarang. Dan kopi bunga hope ini juga dalam mimpi, dan aku baru saja terbangun tapi masih dalam mimpi. Ugh!? Uuugh!?”
Marxes mendadak mual. “Kepalaku pusing, Svreena. Uuugh!? Kau salah membuatkanku kopi!”

“Tidak, itu kopi dari Enorcher. Dia tahu kau menyukainya.”

Marxes merasa detak jantungnya menjadi sangat kuat dan menyesakkan. Dadanya bersandar pada meja kerja transparan dengan posisi masih duduk, tubuhnya kejang, tatapan matanya menjadi kosong.
Inikah yang dia maksud …? Pandanganya mulai kabur hingga gelap sepenuhnya.

=====

TInggal Svreena seorang yang masih di situ ketika yang lain sudah pergi, bersimpuh sambil memegangi nisan yang bertuliskan nama Marxes Ruistan, 14/03/1990 – 24/01/2017. Tidak ada yang menghentikan kesedihan Svreena yang pipinya kebanjiran air mata sendiri.

“Sayang sekali, tanggal kematian di nisan itu salah,” kata seorang bersuara pria dari belakang Svreena.

Svreena menoleh ke belakang. Dia kenali sosok yang berdiri itu sambil tersenyum seolah aura gelap menyelimuti tubuhnya dengan liar.

DA_Prantoko

January Glory Dramatical, 30 Jan 2K17


Dhimas Ardhyyo Prantoko
BIODATA :

Nama lengkap penulis Dhimas Ardhyyo Prantoko. Meski pakai nama pena DA_Prantoko, lebih suka dipanggil Dhimas. Prinsip berkarya: antimainstream, original, self-styling. Mau lebih kenal bisa add akun facebook: Dhimas Ardhyyo

Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Kirimkan karyamu ke sastraindonesiaorg@gmail.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.