Selasa, 28 Februari 2017

Di Balik Seduhan Kopi Kawa Daun - Rahmaleni



Oleh Rahmaleni

Pagi ini kota Payakumbuh berembun seperti biasa. Bias cahaya matahari masih nampak malu untuk menampakkan dirinya. Hamparan sawah hijau sendu terpapar kabut pagi. Burung burung mulai ramai bersiul. Pagi itu Anida masih harus menyelesaikan laporan deadline kantornya yang sudah bertumpuk semenjak seminggu lalu. Project pekerjaannya sebagai Program Manager social-entrepreneur memaksa dia traveling ke beberapa remote area penjuru negeri.

Kali ini Anida bertugas selama lebih kurang 4 bulan di salah satu nagari di wilayah Limah puluh Kota Sumbar, kampung halaman sang Ayah. Anida sangat menikmati pekerjaannya sebagai manager project lapangan. Ia paling cuma sekali 6 bulan menyambani hiruk pikuk ibu kota dengan keramainnya karena meeting dengan pihak donor. Ada suka duka yang terselip di hati Anida sebagai sosok seorang gadis muda yang bepergian sendirian. Hatinya tersekat dengan dinamika hidup yang sedang dijalaninya saat ini.  

Menjalani hidup secara mandiri sudah menjadi pilihan Anida semenjak dia duduk di bangku kuliah. Anida sudah terbiasa travelling sendiri. Terkadang dia menikmati libur akhir tahun dengan teman-teman dekatnya. Menyambangi pedalaman rimba belantara hingga kawasan pegununan dan tak lupa area tepi pantai menjadi pilihan yang selalu dipilihnya. Setiap travelling Anida selalu mencoba berbagai hal. Makanan tradisional dan kopi khas daerah menjadi menu pilihan utama yang selalu diincarnya.

Entah mengapa akhir-akhir ini Anida begitu sering menikmati Kopi Kawa Daun di salah satu kedai kopi di sudut kota Payakumbuh. Setiap selesai melakukan briefing dan rapat dengan wali nagari, Nida bakal samperin langung kedai kopi Milik Pak Chaniago. Kedai itu berasitektur bangunan Minang. Ada empat rangkiang yang menjadi ciri khas bangunan atap di atasnya. Bangunan kedai berwarna cokelat dan terbuat dari kayu menambah kesan cultural eksotism budaya Minang yang kental. Atap yang bergonjong 4 rangkiang itu di tutup dengan daun rumbai. Pemandangan didalam disuguhi beberapa tempat duduk dan meja kopi. 

Meski berasitektur berbudaya kental, kedai kopi itu sudah menyediakan WIFI dan beberapa fasilitas lainnya. Biasanya anak muda di sana lebih memilih spot teras belakang menikmati seduhan Kopi Kawa Daun dengan batok kelapa sembari menatap pemandangan rimbun rimba pehohonan hijau.

“Ah ... Kopi Kawa Daun ...,” gumannya menikmati kesendirian di tengah keramaian. Ada banyak hal yang ia pikirkan dan renungkan setiap menikmati setenguk demi setenguk kopi itu. 

Konon katanya kopi kawa Daun mulai tecipta di daerah Sumatera Barat semenjak jaman penjajahan Belanda dahulu kala. Kesusahan masyarakat di zaman itu terjadi ketika semua biji kopi tidak boleh dinikmati oleh masyarakat di sekitar. Semua biji kopi berkualitas baik dimonolopi oleh pihak Belanda dijadikan komoditi ekspor. Meskipun begitu, orang minang yang “banyak akal, banyak ide” membuat penduduk setempat berusaha untuk mencari jalan lain untuk menikmati kopi. Tidak bisa menikmati biji kopi, daunnya pun jadi.

Sore itu Nida membawa laptopnya ke kedai kopi. Menikmati seduhan racikan Kopi Kawa Daun dicampur dengan segelas susu hangat dan beberapa potong ubi goreng panas. Kesegaran hawa angin sudut kota Payakumbuh membuat Nida memilih duduk di teras belakang kedai kopi. Sambil menatap jauh ke dalam rimba belantara hijau perbukitan. Suara suara monyet bersahutan satu sama lain.  Ah ada sepotong kisah yang kembali terungkap di hati Anida.


Jakarta, 5 Tahun lalu

Tepat pada hari itu, dia teringat bagaimana perjuangannya mendapatkan beasiswa studi S1. Anida cuma anak dari kalangan biasa-biasa saja. Dulu ketika sang Ayah masih menjadi seorang pengusaha furniture, memang kehidupan Anida berjalan semanis bak laksana kopi mochacinno. Ada rasa perpaduan lezat antara kopi dan harumnya dari biji cokelat. Semua terasa manis pada kadarnya. Semua kebutuhan Nida kecil dan sodaranya ada secukupnya. Ketika Nida ingin nonton bioskop menonton film Dinosaurus, eh ternyata akhir pekan berikutnya sang ayah langsung mengajak ke 21. Pas satu pasang sepatu kaka Nida hilang, pas sekali sang Ibu pulang membawakan sepasang sepatu baru untuk kakaknya.

Waktu terempas bak roda berbalik arah. Kehidupan bahagia keluarga Nida berubah bagai hitam pekat penuh dengan pahitnya kehidupan bak sepekat secangkir kopi expresso.  Nida yang waktu itu masih duduk di bangku SMP kehilangan sosok sang Ayah. Ayah Nida ditemukan meninggal akibat terjatuh disenggol mobil berkecepatan tinggi ketika mengendarai sepeda motor. Nida dan sang kakak terguncang hebat. Hanya Ibu yang terlihat tegar tenang menghadapi semua. Hari-hari Nida mulai dihiasi senyuman murung dan hati yang hampa karena ia kehilangan cinta pertamanya, sang Ayah.

Ada banyak hal yang ia dapat dari sang ayah. Bagaimana Nida kecil memandang sosok Ayahnya yang bijaksana dalam menjalani hidup. Bagimana solusi kreatif sang Ayah berikan ketika Nida ingin sekali beli baju pesta. Bagaimana Ayahnya mendorong Nisa untuk bertanggung jawab menjalani pilihannya sendiri. Nida kecil telah diajarkan sang Ayah untuk memiliki pola pikir dewasa. Bahwa hidup tidak hanya sekedar hidup, kehidupan sosok anak manusia akan dipenuhi setiap cerita lika likunya. Tergantung bagaimana kita menjalaninya bagaimana. Seberapapun kesulitan yang kita hadapi dalam menapaki setiap jalan kehidupan, selagi kita mampu menikmatinya dan menemukan solusi dengan jalan kreatif pasti tujuan yang hendak dicapai akan kita raih. Begitu bincang terakhir bersama sang ayah ketika menikmati seduhan Kopi Kawa Daun di pojok area kedai kopi kampung halaman Ayah Nida.

“Seperti makna yang tersimpan di balik seduhan Kopi Kawa Daun ini ...,” gumannya mengingat saat saat terakhirnya bersama sang Ayah beberapa tahun silam, sembari memegang batok kelapa kopi di depannya. 

Air rebusan dari daun kopi aia kawa daun menghasilkan rasa seduhan unik yang sulit diungkap dengan kata-kata. Rasa liat di lidah dipadu-padankan dengan gula aren atau gula pasir membuat kopi ini memiliki keunikan tersendiri. Ada sejuta memori yang tersimpan setiap menikmati Kopi Kawa Daun di hati Nida. Laksana sejarah terciptanya kopi Aia Kawa Daun dahulu kala, bagaimana perjalanannya hidupnya sampai titik saat ini sebenarnya adalah bagaimana cara ia kreatif menikmati sepotong kesulitan didalam kisah perjalanan hidupnya.  

Nida di waktu SMA masih seperti anak anak ABG pada umumnya. Namun Nida tahu, perjuangan sang Ibu yang hanya PNS golongan biasa tak membuat dia terlena dengan kehidupan hura-hura. Nida muda di kala itu selalu rajin membaca buku sehabis jam sekolah. Ada banyak koleksi buku yang ingin dimilikinya. Namun sayang, uang jajan yang terbatas membuat Nida urung untuk meminta lebih kepada sang Ibu. 

Ah tidak seperti dulu waktu Ayah masih ada. Setiap akhir pekan mereka bertiga pasti akan diajak ayah ke toko buku pusat kota untuk membeli beberapa buku cerita baru. Ayah sudah pasti tahu bagaimana Nida suka mengkoleksi beberapa novel RL.Stine yang terkenal itu. Ayah juga bakal mengajak melihat koleksi enskilopedia geografi untuk dibawa pulang. 


Bersambung ....

Biodata Penulis :

Penulis mencintai dunia menulis sejak kelas 2 SMP. Sejak kecil penulis menyukai novel dan cerpen. Tiada hari tanpa aktivitas membaca bagi penulis. Saat ini penulis aktif membuat karya karya cerpen selain bergelut di bidang blogger.

Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Simak ketentuannya di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.