Oleh Rahmaleni |
Pagi ini kota
Payakumbuh berembun seperti biasa. Bias cahaya matahari masih nampak malu untuk
menampakkan dirinya. Hamparan sawah hijau sendu terpapar kabut pagi. Burung
burung mulai ramai bersiul. Pagi itu Anida masih harus menyelesaikan laporan
deadline kantornya yang sudah bertumpuk semenjak seminggu lalu. Project
pekerjaannya sebagai Program Manager social-entrepreneur memaksa dia traveling
ke beberapa remote area penjuru negeri.
Kali ini Anida
bertugas selama lebih kurang 4 bulan di salah satu nagari di wilayah Limah
puluh Kota Sumbar, kampung halaman sang Ayah. Anida sangat menikmati
pekerjaannya sebagai manager project lapangan. Ia paling cuma sekali 6 bulan
menyambani hiruk pikuk ibu kota dengan keramainnya karena meeting dengan pihak
donor. Ada suka duka yang terselip di hati Anida sebagai sosok seorang gadis
muda yang bepergian sendirian. Hatinya tersekat dengan dinamika hidup yang
sedang dijalaninya saat ini.
Menjalani
hidup secara mandiri sudah menjadi pilihan Anida semenjak dia duduk di bangku
kuliah. Anida sudah terbiasa travelling sendiri. Terkadang dia menikmati libur
akhir tahun dengan teman-teman dekatnya. Menyambangi pedalaman rimba belantara
hingga kawasan pegununan dan tak lupa area tepi pantai menjadi pilihan yang
selalu dipilihnya. Setiap travelling Anida selalu mencoba berbagai hal.
Makanan tradisional dan kopi khas daerah menjadi menu pilihan utama yang selalu
diincarnya.
Entah mengapa akhir-akhir ini Anida begitu sering menikmati Kopi Kawa Daun di salah satu kedai kopi
di sudut kota Payakumbuh. Setiap selesai melakukan briefing dan rapat dengan
wali nagari, Nida bakal samperin langung kedai kopi Milik Pak Chaniago. Kedai
itu berasitektur bangunan Minang. Ada empat rangkiang yang menjadi ciri khas
bangunan atap di atasnya. Bangunan kedai berwarna cokelat dan terbuat dari kayu
menambah kesan cultural eksotism budaya Minang yang kental. Atap yang
bergonjong 4 rangkiang itu di tutup dengan daun
rumbai. Pemandangan didalam disuguhi beberapa tempat duduk dan meja kopi.
Meski
berasitektur berbudaya kental, kedai kopi itu sudah menyediakan WIFI dan
beberapa fasilitas lainnya. Biasanya anak muda di sana lebih memilih spot teras
belakang menikmati seduhan Kopi Kawa Daun dengan batok kelapa sembari menatap pemandangan
rimbun rimba pehohonan hijau.
“Ah ... Kopi Kawa Daun ...,”
gumannya menikmati kesendirian di tengah keramaian. Ada banyak hal yang ia
pikirkan dan renungkan setiap menikmati setenguk demi setenguk kopi itu.
Konon
katanya kopi kawa Daun mulai tecipta di daerah Sumatera Barat semenjak jaman
penjajahan Belanda dahulu kala. Kesusahan masyarakat di zaman itu terjadi ketika
semua biji kopi tidak boleh dinikmati oleh masyarakat di sekitar. Semua biji
kopi berkualitas baik dimonolopi oleh pihak Belanda dijadikan komoditi ekspor. Meskipun
begitu, orang minang yang “banyak
akal, banyak ide” membuat penduduk setempat berusaha untuk mencari jalan
lain untuk menikmati kopi. Tidak bisa menikmati biji kopi, daunnya pun jadi.
Sore itu Nida membawa
laptopnya ke kedai kopi. Menikmati seduhan racikan Kopi Kawa Daun dicampur
dengan segelas susu hangat dan beberapa potong ubi goreng panas. Kesegaran hawa
angin sudut kota Payakumbuh membuat Nida memilih duduk di teras belakang kedai
kopi. Sambil menatap jauh ke dalam rimba belantara hijau perbukitan. Suara
suara monyet bersahutan satu sama lain. Ah
ada sepotong kisah yang kembali terungkap di hati Anida.
Jakarta, 5 Tahun lalu
Tepat pada hari itu,
dia teringat bagaimana perjuangannya mendapatkan beasiswa studi S1. Anida cuma
anak dari kalangan biasa-biasa saja. Dulu ketika sang Ayah masih menjadi
seorang pengusaha furniture, memang kehidupan Anida berjalan semanis bak
laksana kopi mochacinno. Ada rasa perpaduan lezat antara kopi dan harumnya dari
biji cokelat. Semua terasa manis pada kadarnya. Semua kebutuhan Nida kecil dan
sodaranya ada secukupnya. Ketika Nida ingin nonton bioskop menonton film
Dinosaurus, eh ternyata akhir pekan berikutnya sang ayah langsung mengajak ke
21. Pas satu pasang sepatu kaka Nida hilang, pas sekali sang Ibu pulang
membawakan sepasang sepatu baru untuk kakaknya.
Waktu terempas bak
roda berbalik arah. Kehidupan bahagia keluarga Nida berubah bagai hitam pekat penuh
dengan pahitnya kehidupan bak sepekat secangkir kopi expresso. Nida yang waktu itu masih duduk di bangku SMP
kehilangan sosok sang Ayah. Ayah Nida ditemukan meninggal akibat terjatuh
disenggol mobil berkecepatan tinggi ketika mengendarai sepeda motor. Nida dan
sang kakak terguncang hebat. Hanya Ibu yang terlihat tegar tenang menghadapi
semua. Hari-hari Nida mulai dihiasi senyuman murung dan hati yang hampa karena
ia kehilangan cinta pertamanya, sang Ayah.
Ada banyak hal yang ia
dapat dari sang ayah. Bagaimana Nida kecil memandang sosok Ayahnya yang
bijaksana dalam menjalani hidup. Bagimana solusi kreatif sang Ayah berikan
ketika Nida ingin sekali beli baju pesta. Bagaimana Ayahnya mendorong Nisa
untuk bertanggung jawab menjalani pilihannya sendiri. Nida kecil telah
diajarkan sang Ayah untuk memiliki pola pikir dewasa. Bahwa hidup tidak hanya
sekedar hidup, kehidupan sosok anak manusia akan dipenuhi setiap cerita lika
likunya. Tergantung bagaimana kita menjalaninya bagaimana. Seberapapun
kesulitan yang kita hadapi dalam menapaki setiap jalan kehidupan, selagi kita
mampu menikmatinya dan menemukan solusi dengan jalan kreatif pasti tujuan yang
hendak dicapai akan kita raih. Begitu bincang terakhir bersama sang ayah ketika
menikmati seduhan Kopi Kawa Daun di pojok area kedai kopi kampung halaman Ayah Nida.
“Seperti makna yang
tersimpan di balik seduhan Kopi Kawa Daun ini ...,” gumannya mengingat saat saat
terakhirnya bersama sang Ayah beberapa tahun silam, sembari memegang batok
kelapa kopi di depannya.
Air rebusan dari daun kopi aia kawa daun menghasilkan
rasa seduhan unik yang sulit diungkap dengan kata-kata. Rasa liat di lidah
dipadu-padankan dengan gula aren atau gula pasir membuat kopi ini memiliki
keunikan tersendiri. Ada sejuta memori yang tersimpan setiap menikmati Kopi
Kawa Daun di hati Nida. Laksana sejarah terciptanya kopi Aia Kawa Daun dahulu kala,
bagaimana perjalanannya hidupnya sampai titik saat ini sebenarnya adalah
bagaimana cara ia kreatif menikmati sepotong kesulitan didalam kisah perjalanan
hidupnya.
Nida di waktu SMA
masih seperti anak anak ABG pada umumnya. Namun Nida tahu, perjuangan sang Ibu
yang hanya PNS golongan biasa tak membuat dia terlena dengan kehidupan hura-hura. Nida muda di kala itu selalu rajin membaca buku sehabis jam sekolah. Ada
banyak koleksi buku yang ingin dimilikinya. Namun sayang, uang jajan yang
terbatas membuat Nida urung untuk meminta lebih kepada sang Ibu.
Ah tidak
seperti dulu waktu Ayah masih ada. Setiap akhir pekan mereka bertiga pasti akan
diajak ayah ke toko buku pusat kota untuk membeli beberapa buku cerita baru.
Ayah sudah pasti tahu bagaimana Nida suka mengkoleksi beberapa novel RL.Stine
yang terkenal itu. Ayah juga bakal mengajak melihat koleksi enskilopedia
geografi untuk dibawa pulang.
Bersambung ....
Biodata Penulis :
Penulis mencintai
dunia menulis sejak kelas 2 SMP. Sejak kecil penulis menyukai novel dan cerpen.
Tiada hari tanpa aktivitas membaca bagi penulis. Saat ini penulis aktif membuat
karya karya cerpen selain bergelut di bidang blogger.
Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Simak ketentuannya di sini
Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Simak ketentuannya di sini
0 Response to "Di Balik Seduhan Kopi Kawa Daun - Rahmaleni"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.