Minggu, 05 Februari 2017

Bapak Belum Pulang Melaut 2 - Astri Kumala



Bapak Belum Pulang Melaut 2 - Astri Kumala

“Ada apa, Kang?”
“Suamimu dan nelayan yang lain sudah sampai.”
Mendengar perkataan tersebut, sesuatu di dalam diri Harun membuat matanya terang benderang dan beranjak. Ia melihat ibunya dan seorang laki-laki berjalan ke arah bibir pantai.
Segaris senyum tergurat di wajah Harun. Dia tidak sabar untuk mengatakan permintaannya kepada bapaknya. Harun bergegas menyusul ibunya.
Banyak sekali orang yang berada di bibir pantai pada malam itu. Harun sendiri merasa heran, sebab biasanya tidak seramai ini. Mungkin saja hasil tangkapan bapaknya dan nelayan lain berlimpah, hingga banyak tengkulak yang ingin membelinya.
Ah, itu dia. Harun juga melihat bapaknya Seno berdiri di antara kerumunan orang. Harun berlari mencari keberadaan ibunya. Tubuhnya yang kecil berdesakan dengan tubuh yang lebih besar dan tinggi. Hingga ujung matanya menangkap sesuatu yang ganjal.
Kapal yang bapak naiki itu memang kapal kecil. Tapi aneh, kapal itu kini menjadi tak utuh. Banyak bagian kayunya yang retak dan patah.
Apa mereka membawa ikan yang sangat besar, hingga kapal mereka seperti ini?
Harun masih berada di dalam dunianya. Itu berarti ikan yang sangat besar itu pasti akan menghasilkan uang tambahan.
Mata Harun masih menyelinap dan meraba keberadaan ibu dan bapaknya. Dan saup-sayup di tengah suara angin malam dan ombak yang liar, sebuah isakan memecah atmosfer pada malam itu. Dengan sigap Harun mencari sumber suara tersebut dan berdesakan dengan orang-orang.


Tubuh Harun yang kecil berhasil menyelinap di antara tubuh-tubuh yang besar itu. Matanya sekarang dapat melihat dengan jelas. Nanap. Begitulah matanya saat melihat apa yang ada di depan matanya. Segaris senyum yang terukir di wajahnya kini lesap. Kedua tangan Harun bergetar, tidak, tapi seluruh tubuhnya bergetar.
Sesuatu seperti memenuhi dadanya yang kecil. Rasanya ingin memuntahka sesuatu.
“Bapaaaak!” Harun berteriak, memecahkan tangisan ibunya yang matanya sudah berwarna merah. Begitu juga wajahnya.
Harun berlari ke arah bapaknya yang terlentang di atas pasir dengan tubuh yang sangat basah. Harun sadar bapaknya tidak sedang melihat bintang, seperti yang kadang mereka lakukan bersama saat langit sedang terang-terangnya.
Luluh semua air mata Harun hingga turut membasahi tubuh bapaknya.
“Bapak, bangun! Aku punya permintaan untuk bapak,” rengek Harun. Ibunya merangkul bahu Harun dan menepuknya pelan. Orang yang lain menatap dengan iba.
Bukan hanya Harun dan ibunya yang tenggelam dalam ratapan mereka, begitu pula dengan beberapa keluarga laki-laki dewasa mereka yang pergi mencari ikan dengan kapal yang sebagian sisinya hancur itu.
Seseorang bilang kalau kapal itu menghantam karang saat badai sore tadi. Hal itu membuat seluruh nelayan meninggal sebab tak dapat menghindari ganasnya ombak. Harun masih benci mendengar orang yang berkasak-kusuk dengan topik tersebut.
Dan pada suatu petang yang cerah, Harun berdiri di bibir pantai. Matanya lurus menatap lautan yang luas dan berkilauan akibat pantulan matahari yang berwarna oranye. Seorang nelayan yang baru merapat, bertanya mengenai hal yang dilakukan Harun.

Tanpa melihat ke arah nelayan tersebut, Harun dengan yakin menjawab, “Menunggu bapak pulang melaut.”

TAMAT

Biodata penulis : 


Nama: Astri Kumala
Pengiat UKM Kajian Ilmu dan Apresasi Sastra di Universitas PGRI Semarang.
No telepon: 085799170203
Alamat: Jalan Durian Raya blok C-1 no. 23 Perum Kaliwungu Indah, Kec. Kaliwungu Selatan, Kab. Kendal 51372


Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Kirimkan karyamu ke sastraindonesiaorg@gmail.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.