“Suamimu
dan nelayan yang lain sudah sampai.”
Mendengar
perkataan tersebut, sesuatu di dalam diri Harun membuat matanya terang benderang
dan beranjak. Ia melihat ibunya dan seorang laki-laki berjalan ke arah bibir
pantai.
Segaris
senyum tergurat di wajah Harun. Dia tidak sabar untuk mengatakan permintaannya
kepada bapaknya. Harun bergegas menyusul ibunya.
Banyak
sekali orang yang berada di bibir pantai pada malam itu. Harun sendiri merasa
heran, sebab biasanya tidak seramai ini. Mungkin saja hasil tangkapan bapaknya
dan nelayan lain berlimpah, hingga banyak tengkulak yang ingin membelinya.
Ah,
itu dia. Harun juga melihat bapaknya Seno berdiri di antara kerumunan orang.
Harun berlari mencari keberadaan ibunya. Tubuhnya yang kecil berdesakan dengan
tubuh yang lebih besar dan tinggi. Hingga ujung matanya menangkap sesuatu yang
ganjal.
Kapal
yang bapak naiki itu memang kapal kecil. Tapi aneh, kapal itu kini menjadi tak
utuh. Banyak bagian kayunya yang retak dan patah.
Apa
mereka membawa ikan yang sangat besar, hingga kapal mereka seperti ini?
Harun
masih berada di dalam dunianya. Itu berarti ikan yang sangat besar itu pasti
akan menghasilkan uang tambahan.
Mata
Harun masih menyelinap dan meraba keberadaan ibu dan bapaknya. Dan saup-sayup
di tengah suara angin malam dan ombak yang liar, sebuah isakan memecah atmosfer
pada malam itu. Dengan sigap Harun mencari sumber suara tersebut dan berdesakan
dengan orang-orang.
Tubuh
Harun yang kecil berhasil menyelinap di antara tubuh-tubuh yang besar itu.
Matanya sekarang dapat melihat dengan jelas. Nanap. Begitulah matanya saat
melihat apa yang ada di depan matanya. Segaris senyum yang terukir di wajahnya
kini lesap. Kedua tangan Harun bergetar, tidak, tapi seluruh tubuhnya bergetar.
Sesuatu
seperti memenuhi dadanya yang kecil. Rasanya ingin memuntahka sesuatu.
“Bapaaaak!”
Harun berteriak, memecahkan tangisan ibunya yang matanya sudah berwarna merah. Begitu
juga wajahnya.
Harun
berlari ke arah bapaknya yang terlentang di atas pasir dengan tubuh yang sangat
basah. Harun sadar bapaknya tidak sedang melihat bintang, seperti yang kadang
mereka lakukan bersama saat langit sedang terang-terangnya.
Luluh
semua air mata Harun hingga turut membasahi tubuh bapaknya.
“Bapak,
bangun! Aku punya permintaan untuk bapak,” rengek Harun. Ibunya merangkul bahu
Harun dan menepuknya pelan. Orang yang lain menatap dengan iba.
Bukan
hanya Harun dan ibunya yang tenggelam dalam ratapan mereka, begitu pula dengan
beberapa keluarga laki-laki dewasa mereka yang pergi mencari ikan dengan kapal
yang sebagian sisinya hancur itu.
Seseorang
bilang kalau kapal itu menghantam karang saat badai sore tadi. Hal itu membuat
seluruh nelayan meninggal sebab tak dapat menghindari ganasnya ombak. Harun
masih benci mendengar orang yang berkasak-kusuk dengan topik tersebut.
Dan
pada suatu petang yang cerah, Harun berdiri di bibir pantai. Matanya lurus
menatap lautan yang luas dan berkilauan akibat pantulan matahari yang berwarna
oranye. Seorang nelayan yang baru merapat, bertanya mengenai hal yang dilakukan
Harun.
Tanpa
melihat ke arah nelayan tersebut, Harun dengan yakin menjawab, “Menunggu bapak
pulang melaut.”
TAMAT
Biodata penulis :
Nama: Astri Kumala
Pengiat UKM Kajian Ilmu dan Apresasi Sastra di Universitas PGRI Semarang.
No telepon: 085799170203
Alamat: Jalan Durian Raya blok C-1 no. 23 Perum Kaliwungu Indah, Kec. Kaliwungu Selatan, Kab. Kendal 51372
Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Kirimkan karyamu ke sastraindonesiaorg@gmail.com.
Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Kirimkan karyamu ke sastraindonesiaorg@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.