Sabtu, 04 Februari 2017

Bapak Belum Pulang Melaut 1 - Astri Kumala

Bapak Belum Pulang Melaut - Astri Kumala

Wajah Harun bersengut saat berjalan pulang sehabis sekolah. Dia membanting tas birunya yang sudah lusuh ke atas kursi—yang kaki-kakinya sebagian dimakan rayap—setibanya di rumah. Tanpa mengganti pakaiannya, Harun berjalan menghampiri ibunya yang sedang membereskan jemuran ikan asin, sebab langit mulai merapal mendung.
Melihat Harun hanya berdiri sambil meremas-remas ujung seragamnya yang sudah tidak rapi, Ibunya mendengus kesal.
“Cepat bantu Ibu sebelum hujan turun!”
Tubuh Harun seperti tersentak dan bergegas membantu ibunya. Hujan pun benar-benar turun saat mereka selesai memasukkan semua ikan asin ke dalam rumah. Sekarang seluruh sudut rumah itu menguarkanaroma ikan, ditambah aroma lembab tanah dan angin laut yang menampar.
Sesaat setelah Harun mengganti pakaiannya,dia melihat sang ibu sedang meracik bumbu untuk makan siang. Rasanya enggan dia berbicara dengan ibunya, sebab takut kalau ibunya akan marah. Tapi cerita di sekolah tadi membuat sesuatu yang ada di dalam diri Harun bergejolak hingga mendenguskan napas kesal.
“Kemarin aku baru dibelikan bapakku sepedakeluaran terbaru ini sebagai hadiah ulang tahun,” ujar Seno, seorang anak tengkulak ikan di daerah pesisir tempat Harun tinggal sesaat setelah bel pulang sekolah memekakkan telinga mereka.
“Keren! Sekarang kamu tidak perlu lelah berjalan ke sekolah.” Salah satu teman Harun menanggapi dengan antusias.
“Pantas tadi ibumu bilang kamu sudah berangkat.” Harun menimpali obrolan kecil itu dengan sesisip rasa kecewa.
Jarak rumah ke sekolah dasar paling dekat memang jaraknya kira-kira 3km. Anak-anak yang bersekolah harus berjalan kaki, termasuk Harun. Mulanya Harun menghampiri rumah Seno sebelum mereka menyusuri jalan bersama. Begitulah rutinitas mereka yang menikmati sepanjang jalan yang bau asinnya tak kunjung lebur, hingga di sekolah. Tapi sekarang Seno tak perlu berjalan lagi, sebab dia mulai mengayuh sepeda barunya.
Perjalanan ke sekolah akan terasa lebih menyenangkan dan tidak terasa apabila berjalan bersama. Tapi semenjak Seno memiliki sepeda, dia akan lebih dulu berangkat. Tersentil di pikiran Harun apabila bapaknya mau membelikan sepeda, dia masih akan bisa tetap berangkat ke sekolah bersama Seno.


“Bu, tadi Seno berangkat naik sepeda. Aku juga minta beli sepeda seperti punya Seno.” Harun memulai ucapannya dengan nada yang terbata.
Ibunya yang tengah asyik nguleg cabai merah tak menanggapi perkataan Harun. Melihat gelagat ibunya yang acuh tak acuh dan tak memberi kepastian, Harun mengulangi lagi permintaannya. Kali ini ia berhasil membuat ibunya mengucapkan sesuatu, hanya saja bukan jawab seperti itu yang Harun harapkan.
“Tunggu, ya. Bapak belum pulang melaut.”
“Kenapa menunggu Bapak, Bu? Kenapa bukan Ibu saja yang membelinya?”
Mendengar pertanyaan Harun, ibu lantas menghentikan aktivitasnya dan menatap Harun yang saat itu langsung menundukkan wajahnya karena takut.
“Nanti kalau Bapak pulang, kamu bisa minta apa saja. Doakan saja semoga ikan tangkapan Bapak hari ini banyak, Le.”
Harun mendesah panjang. Ia hanya mengangguk dan menyeret kakinya untuk pergi ke kamarnya. Dari jendela kamarnya, Harun menatap lautan yang menggulung ombak dengan liar. Dia juga abai pada derau hujan yang mulai membasahi seprai bergambar tim sepak bola kesayangannya, MU.
Harun berharap bapaknya akan membawa ikan yangsangat banyak dari lautan hari ini, dan dia akan mengatakan permintaannya kepada sang bapak. Begitu yakinnya Harun jika bapaknya pasti akan mengabulkan, sebab ia sudah menjadi anak yang bisa membanggakan dengan nilai-nilainya yang selalu memuaskan.
Sambil terus memandangi lautan yang ombaknya tak kunjung reda dan juga terpaan rintik hujan yang membasahi wajahnya, Harun bisa membayangkan dia bersama Seno mengayuh sepeda sambil tertawa atau bahkan bermain balapan sepeda.
“Harun, tutup jendelanya kalau tidak mau kamarmu berubah jadi kolam renang!”
Lamunan Harun buyar mendengar suara ibunya yang tegas. Dia lantas menutup jendela rapat-rapat. Tidak ada salahnya juga jika dia punya kolam renang pribadi di dalam kamarnya, tapi hal itu pasti akan membuat ibunya kerepotan.
Beranjak petang, hujan mulai reda. Air laut tampak mulai naik, dan bapak masih belum pulang. Harun tengah melihat ibunya berdiri di depan pintu sambil meremas-remas kedua tangannya bergantian.
“Kenapa bapak belum pulang, Bu?” tanya Harun menyibak keresahan di wajah ibunya.
Tanpa menoleh ke arah Harun, Ibunya menjawab, “Mungkin sebentar lagi. Kamu makan saja dulu.”
Harun menurut. Begitu pula ketika ibu menyuruhnya untuk tidur setelah belajar, ia menurut. Tapi yang Harun tangkap dari balik mata ibunya adalah sebuah keresahan yang tak terbendung lagi. Bapaknya belum pernah pulang selarut ini.

Di tengah-tengah kesadarannya, Harun mendengar seseorang mengetuk pintu dan memanggil nama ibu dengan keras.


Biodata penulis : 


Nama: Astri Kumala
Pengiat UKM Kajian Ilmu dan Apresasi Sastra di Universitas PGRI Semarang.
No telepon: 085799170203
Alamat: Jalan Durian Raya blok C-1 no. 23 Perum Kaliwungu Indah, Kec. Kaliwungu Selatan, Kab. Kendal 51372


Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Kirimkan karyamu ke sastraindonesiaorg@gmail.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.