Bapak Belum Pulang Melaut - Astri Kumala |
Wajah Harun bersengut saat berjalan pulang sehabis sekolah. Dia membanting tas birunya yang sudah lusuh ke atas kursi—yang kaki-kakinya sebagian dimakan rayap—setibanya di rumah. Tanpa mengganti pakaiannya, Harun berjalan menghampiri ibunya yang sedang membereskan jemuran ikan asin, sebab langit mulai merapal mendung.
Melihat
Harun hanya berdiri sambil meremas-remas ujung seragamnya yang sudah tidak
rapi, Ibunya mendengus kesal.
“Cepat
bantu Ibu sebelum hujan turun!”
Tubuh
Harun seperti tersentak dan bergegas membantu ibunya. Hujan pun benar-benar
turun saat mereka selesai memasukkan semua ikan asin ke dalam rumah. Sekarang seluruh
sudut rumah itu menguarkanaroma ikan, ditambah aroma lembab tanah dan angin
laut yang menampar.
Sesaat
setelah Harun mengganti pakaiannya,dia melihat sang ibu sedang meracik bumbu
untuk makan siang. Rasanya enggan dia berbicara dengan ibunya, sebab takut
kalau ibunya akan marah. Tapi cerita di sekolah tadi membuat sesuatu yang ada
di dalam diri Harun bergejolak hingga mendenguskan napas kesal.
“Kemarin
aku baru dibelikan bapakku sepedakeluaran terbaru ini sebagai hadiah ulang
tahun,” ujar Seno, seorang anak tengkulak ikan di daerah pesisir tempat Harun tinggal
sesaat setelah bel pulang sekolah memekakkan telinga mereka.
“Keren!
Sekarang kamu tidak perlu lelah berjalan ke sekolah.” Salah satu teman Harun
menanggapi dengan antusias.
“Pantas
tadi ibumu bilang kamu sudah berangkat.” Harun menimpali obrolan kecil itu
dengan sesisip rasa kecewa.
Jarak
rumah ke sekolah dasar paling dekat memang jaraknya kira-kira 3km. Anak-anak
yang bersekolah harus berjalan kaki, termasuk Harun. Mulanya Harun menghampiri
rumah Seno sebelum mereka menyusuri jalan bersama. Begitulah rutinitas mereka
yang menikmati sepanjang jalan yang bau asinnya tak kunjung lebur, hingga di
sekolah. Tapi sekarang Seno tak perlu berjalan lagi, sebab dia mulai mengayuh
sepeda barunya.
Perjalanan
ke sekolah akan terasa lebih menyenangkan dan tidak terasa apabila berjalan
bersama. Tapi semenjak Seno memiliki sepeda, dia akan lebih dulu berangkat.
Tersentil di pikiran Harun apabila bapaknya mau membelikan sepeda, dia masih
akan bisa tetap berangkat ke sekolah bersama Seno.
“Bu,
tadi Seno berangkat naik sepeda. Aku juga minta beli sepeda seperti punya Seno.”
Harun memulai ucapannya dengan nada yang terbata.
Ibunya
yang tengah asyik nguleg cabai merah
tak menanggapi perkataan Harun. Melihat gelagat ibunya yang acuh tak acuh dan
tak memberi kepastian, Harun mengulangi lagi permintaannya. Kali ini ia
berhasil membuat ibunya mengucapkan sesuatu, hanya saja bukan jawab seperti itu
yang Harun harapkan.
“Tunggu,
ya. Bapak belum pulang melaut.”
“Kenapa
menunggu Bapak, Bu? Kenapa bukan Ibu saja yang membelinya?”
Mendengar
pertanyaan Harun, ibu lantas menghentikan aktivitasnya dan menatap Harun yang
saat itu langsung menundukkan wajahnya karena takut.
“Nanti
kalau Bapak pulang, kamu bisa minta apa saja. Doakan saja semoga ikan tangkapan
Bapak hari ini banyak, Le.”
Harun
mendesah panjang. Ia hanya mengangguk dan menyeret kakinya untuk pergi ke
kamarnya. Dari jendela kamarnya, Harun menatap lautan yang menggulung ombak
dengan liar. Dia juga abai pada derau hujan yang mulai membasahi seprai
bergambar tim sepak bola kesayangannya, MU.
Harun
berharap bapaknya akan membawa ikan yangsangat banyak dari lautan hari ini, dan
dia akan mengatakan permintaannya kepada sang bapak. Begitu yakinnya Harun jika
bapaknya pasti akan mengabulkan, sebab ia sudah menjadi anak yang bisa
membanggakan dengan nilai-nilainya yang selalu memuaskan.
Sambil
terus memandangi lautan yang ombaknya tak kunjung reda dan juga terpaan rintik
hujan yang membasahi wajahnya, Harun bisa membayangkan dia bersama Seno
mengayuh sepeda sambil tertawa atau bahkan bermain balapan sepeda.
“Harun,
tutup jendelanya kalau tidak mau kamarmu berubah jadi kolam renang!”
Lamunan
Harun buyar mendengar suara ibunya yang tegas. Dia lantas menutup jendela
rapat-rapat. Tidak ada salahnya juga jika dia punya kolam renang pribadi di
dalam kamarnya, tapi hal itu pasti akan membuat ibunya kerepotan.
Beranjak
petang, hujan mulai reda. Air laut tampak mulai naik, dan bapak masih belum pulang.
Harun tengah melihat ibunya berdiri di depan pintu sambil meremas-remas kedua
tangannya bergantian.
“Kenapa
bapak belum pulang, Bu?” tanya Harun menyibak keresahan di wajah ibunya.
Tanpa
menoleh ke arah Harun, Ibunya menjawab, “Mungkin sebentar lagi. Kamu makan saja
dulu.”
Harun
menurut. Begitu pula ketika ibu menyuruhnya untuk tidur setelah belajar, ia
menurut. Tapi yang Harun tangkap dari balik mata ibunya adalah sebuah keresahan
yang tak terbendung lagi. Bapaknya belum pernah pulang selarut ini.
Di
tengah-tengah kesadarannya, Harun mendengar seseorang mengetuk pintu dan
memanggil nama ibu dengan keras.
Bersambung di Bapak Belum Pulang Melaut 2
Biodata
penulis :
Nama:
Astri Kumala
Pengiat
UKM Kajian Ilmu dan Apresasi Sastra di Universitas PGRI Semarang.
No
telepon: 085799170203
Alamat:
Jalan Durian Raya blok C-1 no. 23 Perum Kaliwungu Indah, Kec. Kaliwungu
Selatan, Kab. Kendal 51372
Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Kirimkan karyamu ke sastraindonesiaorg@gmail.com.
Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Kirimkan karyamu ke sastraindonesiaorg@gmail.com.
0 Response to "Bapak Belum Pulang Melaut 1 - Astri Kumala"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.