Selasa, 31 Januari 2017

Pemeran Pembantu - Sayyidatul Imamah


Oleh : Sayyidatul Imamah

Akhir-akhir ini aku sering berpikir. Mencoba menggerakkan mesin di otakku yang sudah lama berdebu. Aku tidak tahu apa penyebabnya, tapi ini dimulai saat aku menonton film di salah satu bioskop Jakarta. Aku masih ingat judul film itu Despicable Me. Ya, siapa sekarang yang tidak kenal Minions? Dengan warna kuning, bentuk imut, suara lucu, dan suka pisang itu. Tapi aku tidak akan menceritakan tentang film ini, melainkan sejarahnya.
Mungkin banyak orang yang menyadari kalau awalnya di film Despicable Me, Minions bukanlah pemeran utamanya. Melainkan bapak tua yang bercita-cita ingin jadi penjahat yang terhebat, dan 3 anak kecil yang mampu merngubah bapak tua ini. Siapa sangka? Minions yang cuma muncul pada saat-saat tertentu di film ini malah lebih mendapat perhatian dari penonton.
Aku juga berpikir bahwa Minions ini tidak pantas dijadikan pemeran pembantu. Hingga akhirnya pihak Illumination dan Universal menyadari hal itu lalu mereka merebranding Minions untuk Despicable Me 2, dan tentu saja film kedua lebih sukses dari yang pertama. Kenapa? Karena penonton lebih suka pada Minions daripada tokoh utama di Despicable Me.
            Pemikiran tentang film Despicable Me aku hubungkan dengan kehidupanku, kalau dipikir-pikir mungkin di dunia ini bahkan di hidupku, aku bukanlah tokoh utama. Sebuah film atau cerita biasanya berpusat pada karakter protagonis utama yang akan melewati hidupnya, melawan tokoh antagonis dan sebagainya. Lalu, untuk memperkaya alur cerita biasanya akan ditambah karakter figuran atau pemeran pembantu dan di sinilah aku sebagai pemeran pembantu itu. Ya, aku mungkin terlihat menyedihkan. Namun inilah kenyataannya. Aku bukanlah tokoh utama di kehidupanku sendiri.
            Aku punya saudara kembar yang lahir 11 menit lebih awal dariku. Mungkin saja, karena dia lahir duluan maka dia mengambil semua gen baik ayah dan ibuku. Dia terlahir sempurna dan tumbuh dengan sangat baik, wajah cantik, pintar dan kepribadian yang disenangi orang-orang. Sedangkan aku, karena aku lahir belakangan maka aku mungkin hanya mengambil sisa gen ayah dan ibuku yang tidak terlalu baik. Aku terlahir sehat dan tumbuh sehat, hanya saja aku tidak cantik, tidak pintar dan memiliki kepribadian yang bisa dibilang menyebalkan. Aku bisa memaklumi kalau dalam kehidupanku yang menjadi tokoh utama adalah kakakku. Dia sangat cocok menjadi tokoh utama.
            Aku sadar, seharusnya aku bangkit dan membuktikan kalau aku lebih pantas menyandang tokoh utama di kehidupanku. Namun, kau tahu kata “Takut”? suatu perasaan yang membuatmu ragu-ragu dan tidak berani untuk melakukan suatu hal. Aku mengalaminya, aku takut. Aku takut kalau aku menjadi tokoh utama aku akan menjadi seperti Hanna kakak kembarku. Dia baik, sangat baik. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia adalah monster atau sebagainya. Namun, karena itulah aku takut berubah menjadi dia. yaitu terlalu baik. Semua orang suka seseorang yang baik, tapi terlalu baik bisa menyakiti dirimu sendiri kan?
            Saat aku berumur 12 tahun, kakakku Hanna mengikuti perlombaan menari untuk anak seusianya. Dia menang dan dapat banyak cubitan di pipinya karena semua juri gemes melihat wajah imutnya. Itu membuatku merinding dan tidak ingin terlihat imut. Karena hal itulah aku merubah penampilanku menjadi tidak imut. Hanna menjadi tokoh utama sejak kami kecil, ayah dan ibuku terlihat lebih sayang padanya.
Seperti saat aku mendapat penghargaan karate dan mewajibkan orang tuaku harus datang ke sekolah untuk mendampingiku. Namun mereka lebih memilih datang ke rumah sakit karena Hanna terkena cacar. Aku tidak menangis atau marah pada orang tuaku karena lebih mementingkan Hanna. Aku hanya berpikir, mengapa orang tuaku lebih memilih Hanna? Padahal kalau dibandingkan, penghargaan karateku lebih penting. Atau menurut kacamata orang tuaku, menjenguk Hanna yang Cuma sakit cacar ke rumah sakit tanpa mengkhawatirkan aku itu lebih penting.


            Semakin lama, semakin aku mendalami peran pembantuku. Aku pernah baca di koran, kalau orang tua memiliki anak kembar maka mereka harus berlaku adil pada keduanya. Tapi sepertinya ayah dan ibuku tidak membaca koran itu, mereka jauh lebih baik pada Hanna daripada aku. Dan bila aku berpikir kenapa? Maka otakku akan terpental dan terjebak di jalan buntu. Aku tidak mengerti kenapa orang tuaku berlaku demikian. Aku menjadi manusia yang datar dan berperilaku seperti pemeran pembantu. Yaitu muncul hanya pada saat dibutuhkan.
Seperti saat Hanna ulang tahun maka aku harus hadir karena otomatis  kalau Hanna ulang tahun aku juga atau saat ibuku perlu bantuan dengan mencabuti ubannya. Selebihnya aku tidak muncul dan tidak menjadi sorotan. Kehidupanku mungkin memang terlihat menyedihkan namun aku menyukainya. Aku suka saat orang tuaku tidak terlalu mengekangku untuk menjadi gadis baik seperti Hanna. Aku memang pemeran pembantu namun aku bukan robot.
            Kehidupanku berjalan seperti biasanya, aku dengan peranku yang sebagai pemeran pembantu untuk membantu Hanna dalam menjalankan karakternya. Hanya Hanna dan untuk Hanna karena dialah tokoh utamanya. Seperti dalam kebanyakan film, tokoh utama selalu mempunyai masalah dan bisa diselesaikan lalu hidup bahagia, jarang ditemukan tokoh utama mati atau berakhir dengan mengenaskan. Yang ada hanya pemeran pembantu yang bisa saja hanya muncul sebentar untuk menambah alur lalu dibuat mati.
Mungkin kehidupanku seperti itu juga, Hanna selalu punya penyelesaian di setiap masalahnya dan selalu berakhir menyenangkan. Sedangkan aku selalu menyerah dan berakhir menjadi orang yang menyebalkan. Aku tidak pernah ingin merubah keadaan ini, aku terlalu malas untuk mengubah takdir, meskipun katanya takdir bisa diubah asal kau punya kemauan dan berusaha.
Namun, apakah kau ingat film Despicable Me? Tentang minions yang berubah menjadi tokoh utama padahal awalnya hanya pemeran pembantu. Bukankah minions itu menjadi tokoh utama karena yang memproduksinya menyadari kalau minions lebih menarik banyak perhatian penonton? Apakah aku hanya harus membuat orang-orang di sekitarku menyukaiku? Agar aku menjadi tokoh utama? Jawabannya TIDAK. Aku tidak akan menjadi tokoh utama, ingat kan? Aku suka menjadi pemeran pembantu.
“Maaf, apa kau duduk sendiri?” Aku hampir saja membentak orang di depanku karena telah membuyarkan lamunanku, namun kuurungkan saat melihat wajahnya. Bule, itu hal pertama yang kupikirkan saat melihatnya. Si bule berdehem dan bertanya lagi apa kursi di depanku kosong karena semua meja di Cafe ini sudah penuh. Aku hanya mengangguk dan kembali meminum kopi yang sudah dingin ini. Oke sampai dimana kita tadi? Oh ya, tentang aku yang menyukai sebagai pemer ….
“Dex.” Lagi, pria bule ini membuyarkan lamunanku. Dia mengulurkan tangannya padaku, aku membalas uluran tangannya dan berpikir apa dia bule yang pintar bahasa indonesia? Namanya saja Dex itu artinya bukan hanya penampilannya yang bule kan? Oke lupakan, kenapa juga aku memikirkan pria bule bernama Dex ini yang ngomong-ngomong memiliki wajah tampan dengan mata sebiru es, rambut pirang dan senyuman manis yang menggoda.
Oh apa yang kupikirkan? Sampai di mana kita tadi? Ya ya aku sangat suka dengan pemeran pembantu karena itu akan membuatku menjadi diri sendiri dan tak perlu merubah diri agar terlihat menyenangkan di mata or ....
“By the way namamu siapa?” Ingin sekali kutuang kopi yang dingin ini pada wajah pria bule di depanku, namun kuurungkan karena wajahnya terlalu tampan untuk itu. Aku menggelengkan kepala karena memikirkan hal aneh lagi, si pria bule mengernyit dan menanyakan namaku lagi.
“Bukan urusanmu.” Kataku dengan nada dingin dan bersiap untuk melamun lagi. Tapi gagal karena suara merdu pria bule ini membuyarkan lamunanku lagi.
“Oke nona ‘Bukan urusanmu’ salam kenal,katanya dengan menekankan kata ‘Bukan urusanmu’. Aku hanya memutar bola mata dan kembali fokus untuk memikirkan kehidupanku, tentang sukanya aku dengan pemeran pembantu.


Bersambung ke Pemeran Pembantu 2


BIODATA


Sayyidatul Imamah

            Penulis adalah seorang gadis yang lahir lima belas tahun silam, bercita-cita menjadi seorang polwan dan penulis. Dayuk, begitu orang memanggilnya, lengkapnya Sayyidatul Imamah. Penulis lahir di Pasongsongan, Serreh Soddara pada tanggal 18 April 2001. Sekarang penulis ngekost di jl. Guntur No 2. Penulis merupakan alumni SMPN 1 PASONGSONGAN, dan sekarang tercantum sebagai siswi SMAN 1 SUMENEP. Jika ingin menghubungi penulis bisa lewat account facebook dengan nama Hiku Nara Hatsune atau email sayyidatul.imamah18@gmail.com , bisa juga dengan no telpon penulis yaitu 082334928808.


Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Kirimkan karyamu ke sastraindonesiaorg@gmail.com.

Mendung Kerinduan - Novia Fauziyah Kurnia Setiawan



Oleh : Novia Fauziyah Kurnia Setiawan

Sayup-sayup angin mengiringi irama sang mentari
Matahari kali ini tak secerah biasanya
Awan mendung itu terus bersemayam di langit biruku hari ini
Angin terus meniup hingga dedaunan pun ikut menari

Kali ini,mendung menghadirkan kerinduan masa kecilku
Dengan torehan-torehan indah yang sudah kuukir
Ku berlari menggapai kerinduan, tapi ia pergi entah ke mana
Haruskah aku berteriak meminta ingin kembali?

Tapi kurasa itu tak akan mungkin terjadi
Segenggam takdir itu terus berjalan mengikuti alur ke mana harusnya ia pergi
Diriku tak henti berlari dan mengejar takdir tersebut
Tak bisa! Diriku tak bisa! Tuhan, bisakah Kau menolongku lagi?

Aku sangat merindukan tawa yang selalu beriringan dengan tangisan
Rindu nada-nada bocah kecil riang tanpa rasa beban di sela tawanya
Aku sendu,gelisah,lelah dengan segala kedewasaanku ini
Tak bisakah segelintir satu kembali itu Kau hadirkan kembali?



BIODATA PENULIS :

Nama penulis Novia Fauziyah Kurnia Setiawan. Penulis berasal dari Kota Bandung, lahir pada 12 november 1997. Kini ia menjadi seorang mahasiswi jurusan Bimbingan Konseling Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Jika ingin berkomunikasi dengannya, bisa melewati facebook yakni Novia Fauziyah Setiawan ataupun lewat email noviathefirst@gmail.com ia sangat menyukai dunia sastra sejak SD, karena menurutnya sastra ialah dunia yang penuh imajinasi dan menarik tentunya.


Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Kirimkan karyamu ke sastraindonesiaorg@gmail.com.

Senin, 30 Januari 2017

Aku Bukan Dia - Natalia Dennoupa




Pandangan mata itu tak juga teralih. Gugup. Pipi ini merona seketika, jantung tiba-tiba memompa dengan cepat. Tanpa berani membalas, aku hanya menunduk layaknya si bodoh. Dan dia semakin mendekat, membawa tatapan yang sama. Kumohon jangan pandang begitu, sebab hatiku mulai risih.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya dia lembut. "Kenapa tak menjawab? Sekarang tatap mataku!" mengangkat daguku hingga kedua mata kami beradu pandang.

Batinku terus mengeluh. Mengeluh pada sikap jual mahal, yang tak ingin sedikit pun ditawar. Apa susahnya membalas tatapan itu dengan kode cinta? Tapi aku tak bisa.

"Kata para sahabatmu, kau memilik mata hazel yang sama seperti Kara. Sekarang tatap mataku dengan cinta yang kau punya."

"Maaf," lirihku, "tapi tatapan cinta tak semudah itu aku sampaikan padamu."

Kini tangannya beralih pada pinggang ini, semakin mendekat. Harumnya kini melekat pada hidungku. Tapi tunggu, dia memelukku. Astaga, apa yang sebenarnya dia inginkan?


"Apa yang kau mau, Li?" memberontak dari dekapannya. "Lepaskan!"

Dia mendekat, dengan suara serak berbisik, "Berikan tatapan cintamu. Baru aku akan melepasmu." 

Tak ada yang bisa kulakukan. Semua mata kini memandang. Terpaksa aku mengangguk dengan ragu. Dia begitu lekat menatap mata ini, seperti terbuai. Apakah karna cinta yang kini terungkap lewat tatap? Apa dia memiliki rasa yang sama seperti diriku?

"Terima kasih, Prill. Kau izinkan aku menatap matamu yang penuh cinta. Tatap ini persis seperti Kara. Terima kasih karna membiarkan aku merasakan kembali tatap itu."

Persis seperti Kara? Hatiku tercabik. Jadi, dengan susah payah ia meminta aku menatapnya hanya untuk melihat mata hazel yang sama seperti Kara. Dia telah pergi, tapi kenapa Ali tak pernah sedikit pun melupakan tatapannya? Aku bukan dia, Li. Aku Prilly bukan Kara! Haruskah mata ini jadi pemuas rindumu?

 -Tamat- 

Natalia Dennooupa

Biodata : Natalia Dennoupa. Penulis kelahiran 23 September 2001. Lahir dan besar di Singkawang, Kalimantan Barat. Bisa menghubungi lewat akun facebook Natalia Dennoupa dan e-mail ndennoupa@gmail.com


Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Kirimkan karyamu ke sastraindonesiaorg@gmail.com.

Elegi Penantian - Zarsi Sendhari Ady Suwito



Tanya itu tak kunjung terjawab
 berteriak dalam hening
 dalam isak yang kian dielukan

Masih tentang tanya yang belum terjawab
tentang penantiang yang tak kunjung usai 
aku masih di sini,
mengorek sejumlah teka-teki kehidupan yang bersembunyi di balik garis2 globe yang tak mungkin kusatukan

Masih pada kehidupan yang penuh carut marut
di punggung bumi tempat kuberpijak
tak lagi ada yang perlu kumiliki
karna yang tersisa hanya secuil keyakinan
sebagai pembingkai hati yang diam-diam merapuh

Mungkin doa yang kumohonkan terlampau hebat
hingga waktu diperintah untuk menataku lebih dan lebih

Agar sang penggenggam takdir berkata pantas,
pada semua doa yang pernah terlangitkan

Oleh: Zarsi Sendhari Ady Suwito

Tentang Penulis :
Hai sahabat sastra, masih seperti kemarin lagi, tidak ada hal istimewa yang aku miliki, selain nama sebagai hadiah perkenalan. Cukup panggil aku Izza, sang penyuka warna ungu, pecinta senja, hujan dan keheningan. untuk menjalin silaturahmi denganku, aku bisa dijumpai di akun Fb Izzatul Ady Suwito Sekian 😊

Salam hangat penuh cinta dari penulis Elegi Penantian di belahan bumi ranah minang.


Ingin karyamu dimuat di sastraindonesia.org? Kirimkan karyamu ke sastraindonesiaorg@gmail.com.